Jakarta (ANTARA) - Pakar perdagangan internasional dari Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, menyatakan bahwa langkah pelarangan impor merupakan hal yang tidak efektif karena sebenarnya masih banyak bahan baku impor yang dibutuhkan industri nasional.

"Sebanyak 90 persen impor untuk industri. Impor masih dibutuhkan oleh industri," kata Fithra Faisal dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi VI DPR RI, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, dengan situasi seperti itu, maka bila impor dihambat secara berlebihan, maka akan berpotensi terjadinya deindustrialisasi.

Apalagi, ia berpendapat pula bahwa potensi resesi global saat ini kemungkinan semakin besar terjadi dari sisi suplai atau pasokan.

Untuk itu, ujar Fithra, sangatlah penting dalam rangka menciptakan pasokan produksi yang berkualitas berdasarkan pembenahan kebijakan industri.

"Tidak apa-apa bila kita kebobolan, asalkan kita bisa membobol lebih banyak ke gawang lawan," ucapnya.

Ia juga mengemukakan bahwa Thailand dengan kebijakannya yang ingin menjadi hub regional, ternyata dapat menghasilkan nilai ekspor di sejumlah sektor produksi manufaktur lebih besar dibandingkan Malaysia yang lebih menitikberatkan kepada kebijakan substitusi impor.

Sebagaimana diwartakan, Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina menginginkan kebijakan terkait dengan sistem dan mekanisme impor dapat direformasi sehingga benar-benar memberikan manfaat yang meluas bagi seluruh rakyat di Nusantara.

"Ada persoalan mendasar yang perlu diselesaikan dalam jangka panjang, yakni pengendalian impor yang dilakukan secara sistemik sehingga semua kebijakan yang keluar akan berpihak pada masyarakat," kata Nevi Zuairina.

Menurut politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, reformasi terhadap sistem impor menjadi sangat penting dilakukan dalam rangka membangun sebuah regulasi menciptakan iklim usaha yang sehat sampai pada tingkat paling kecil, yakni usaha mikro yang beraset di bawah Rp50 juta dengan omset di bawah Rp300 juta per tahun.

Sebelumnya, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan industrialisasi menjadi salah satu kunci menekan defisit neraca perdagangan agar tidak banyak bergantung dengan impor melalui pengembangan industri hulu nasional.

"Industrialisasi sudah kami bicarakan lama tapi kenyataan sekarang ini masih banyak belum jalan. Pengembangan industri hulu, ini sekarang difokuskan," kata Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Widjaja Kamdani saat hadir dalam forum Investasi dan Perdagangan Indonesia 2019 di Jakarta, Selasa (15/10).

Untuk menggenjot ekspor, Shinta mendorong diversifikasi pasar agar tidak banyak tergantung dengan pasar atau negara utama tujuan ekspor. BPS mencatat China dan Amerika Serikat merupakan dua negara pasar utama tujuan ekspor Indonesia.

Baca juga: Empat strategi Menperin genjot industri baja nasional
Baca juga: Komisi VI DPR kawal program prioritas pembangunan industri nasional