Artikel
Melihat peluang industri pengolahan di tengah tantangan ekonomi 2020
Oleh Satyagraha
13 Februari 2020 20:53 WIB
Ilustrasi: Petugas beraktivitas di pabrik pembuatan baja Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Jumat (4/10/2019). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/foc.
Jakarta (ANTARA) - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi pada 2019 hanya tercatat sebesar 5,02 persen atau jauh dari perkiraan awal 5,2 persen-5,3 persen.
Penyebab terjadinya perlambatan ekonomi tersebut antara lain ketidakpastian akibat perang dagang antara AS-China, Brexit, maupun berbagai faktor geopolitik lainnya.
Meski demikian, faktor internal juga menjadi alasan ekonomi belum tumbuh optimal tahun lalu, yaitu lesunya kinerja sektor investasi.
Dari sisi lapangan usaha, kinerja industri pengolahan, sektor perdagangan dan pertanian, konstruksi maupun pertambangan yang melambat ikut menjadi sorotan.
Industri pengolahan sepanjang 2019 hanya tumbuh 3,8 persen, perdagangan tumbuh 4,62 persen, pertanian tumbuh 3,64 persen, konstruksi tumbuh 5,76 persen dan pertambangan tumbuh 1,22 persen.
Pada 2018 industri pengolahan mampu tumbuh 4,27 persen, perdagangan tumbuh 4,97 persen, pertanian tumbuh 3,89 persen, konstruksi tumbuh 6,09 persen dan pertambangan tumbuh 2,16 persen.
Kinerja perekonomian selama 2019 lebih banyak didukung oleh pembenahan di sektor jasa, seperti jasa lainnya yang tumbuh 10,55 persen dan jasa perusahaan yang tumbuh 10,25 persen.
Sektor jasa lainnya yang ikut berkinerja baik adalah informasi dan komunikasi yang tumbuh 9,41 persen serta jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh 6,6 persen.
Meski demikian, lesunya kinerja industri pengolahan menjadi catatan tersendiri karena perlambatan sektor manufaktur selalu menjadi penghambat kinerja ekonomi untuk tumbuh sesuai potensi.
Padahal peran industri pengolahan sangat besar kepada perekonomian karena merupakan penyumbang terbesar struktur Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu mencapai 19,7 persen pada 2019.
Selain industri, struktur PDB juga disumbangkan oleh sektor perdagangan (13,01 persen), pertanian (12,72 persen), konstruksi (10,75 persen), pertambangan (7,26 persen) serta transportasi dan pergudangan (5,57 persen).
Pembenahan
Menanggapi kinerja industri pengolahan tersebut, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita siap melakukan sejumlah pembenahan untuk mengatasi perlambatan.
Perbaikan akan dilakukan di berbagai sektor agar industri mannufaktur dapat tumbuh lebih baik sesuai target 5,3 persen pada 2020.
Pembenahan yang dapat dilakukan sebagai stimulus bagi industri antara lain menurunkan harga gas yang selama ini menjadi bahan baku bagi industri untuk memperkuat daya saing.
Selain itu, tambah dia, membangun 29 kawasan industri baru, terutama di luar Jawa, yang dekat dengan sumber energi dan bahan baku sesuai dengan RPJMN 2020-2024.
"Berkaitan dengan pencetakan kawasan industri, kita perlu mendorong agar makin tumbuh di daerah-daerah luar Jawa, untuk mengurangi disparitas industri Jawa dan luar Jawa," ujar Menperin.
Kemudian memperkuat Industri Kecil Menengah (IKM) yang mempunyai porsi besar dalam kelangsungan industri pengolahan di Indonesia, dengan memberikan dukungan pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Selanjutnya, menurut dia, membuat sarana pengelolaan limbah industri agar sampah-sampah tersebut tidak merusak lingkungan dan mempunyai nilai ekonomis tersendiri.
"Jadi semua limbah-limbah yang dihasilkan akibat proses produksi pada dasarnya bisa diolah kembali dan diproses serta di-reuse dengan teknik proses yang baru," kata Agus Gumiwang.
Terakhir, tambah Menperin, menyiapkan fasilitas dan memastikan kelancaran energi seperti air dan listrik di kawasan industri untuk mendorong produksi manufaktur.
Pembenahan internal ini dapat menjadi penyuntik semangat bagi pelaku industri pengolahan, apalagi kondisi global yang menghambat pertumbuhan pada 2019 telah bergerak ke arah yang lebih positif.
Faktor eksternal tersebut antara lain tensi perang dagang Amerika Serikat dengan China yang mereda setelah adanya kesepakatan perjanjian perdagangan tahap pertama serta kejelasan keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada akhir Januari 2020.
Hilirisasi
Dalam kesempatan terpisah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyebutkan sektor industri merupakan penunjang utama dalam menghadapi ketidakpastian global.
Oleh karena itu, menurut dia, pembenahan dalam industri pengolahan menjadi penting agar ekonomi dalam negeri tidak terdampak oleh tekanan eksternal dan sasaran pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.
"Pertumbuhan 5,3 persen tidak realistis untuk 2020 karena kondisi global tertekan, terutama performa China turun akibat menyebarnya Virus Corona," katanya.
Abdul mengatakan penguatan industri pengolahan sangat penting karena berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga jika terdapat perlambatan pada sektor itu, maka untuk mendorong peningkatan PDB akan sulit.
Ia menambahkan peningkatan kinerja pada sektor industri dapat mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi domestik, peningkatan penerimaan pajak, serta penurunan porsi utang.
Peneliti Indef lainnya, Andry Satrio Nugroho bahkan menyarankan agar pemerintah mulai mengoptimalkan hilirisasi komoditas kelapa sawit dan karet agar kinerja industri pengolahan pada 2020 dapat makin meningkat.
Optimalisasi sektor industri hilirisasi kelapa sawit maupun karet secara berkelanjutan dapat menjadi salah satu penopang dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen pada 2020.
"Selama industri karet dan sawit kita tidak diperbaiki, maka selama itu juga kita tidak dapat mengharapkan industri yang selayaknya," katanya.
Andry mengakui pembenahan ini bukan merupakan hal yang mudah, karena kedua komoditas unggulan itu dari segi ekspor maupun permintaan domestik sedang tertekan sehingga mempengaruhi perlambatan kinerja industri pengolahan pada 2019.
Meski demikian, optimalisasi tersebut harus terus diupayakan agar industri pengolahan dapat tumbuh lebih tinggi dari perkiraan pemerintah yaitu 5,5 persen dan memberikan kontribusi terhadap penguatan ekonomi dalam negeri.
"Pertumbuhan ekonomi bisa 5,3 persen kalau industri tumbuh di atas 5,5 persen," katanya.
Selain sektor industri yang perlu tumbuh setidaknya 5,5 persen, peningkatan perdagangan dan pertanian juga dibutuhkan untuk semakin menunjang perekonomian Indonesia lebih baik pada tahun ini.
Jika sektor industri beserta berbagai sektor lainnya tidak dapat tumbuh lebih tinggi, maka skenario terburuk perekonomian Indonesia untuk 2020 hanya akan tumbuh pada kisaran 4,8 persen.
Dengan berbagai rencana untuk mendorong realisasi industri pengolahan, pemerintah optimistis mampu menjaga kinerja laju ekonomi dari potensi perlambatan, apalagi sejumlah relaksasi sedang diupayakan untuk mendorong investasi.
Namun mengelola ketidakpastian juga hal penting yang harus dilakukan pemerintah, terutama dari segi pelaksanaan kebijakan, yang selama ini terbentur oleh lambatnya implementasi di lapangan.
Baca juga: Menperin yakin target pertumbuhan industri 2020 tercapai
Baca juga: BPS: Perlambatan industri pengolahan pengaruhi pertumbuhan ekonomi
Penyebab terjadinya perlambatan ekonomi tersebut antara lain ketidakpastian akibat perang dagang antara AS-China, Brexit, maupun berbagai faktor geopolitik lainnya.
Meski demikian, faktor internal juga menjadi alasan ekonomi belum tumbuh optimal tahun lalu, yaitu lesunya kinerja sektor investasi.
Dari sisi lapangan usaha, kinerja industri pengolahan, sektor perdagangan dan pertanian, konstruksi maupun pertambangan yang melambat ikut menjadi sorotan.
Industri pengolahan sepanjang 2019 hanya tumbuh 3,8 persen, perdagangan tumbuh 4,62 persen, pertanian tumbuh 3,64 persen, konstruksi tumbuh 5,76 persen dan pertambangan tumbuh 1,22 persen.
Pada 2018 industri pengolahan mampu tumbuh 4,27 persen, perdagangan tumbuh 4,97 persen, pertanian tumbuh 3,89 persen, konstruksi tumbuh 6,09 persen dan pertambangan tumbuh 2,16 persen.
Kinerja perekonomian selama 2019 lebih banyak didukung oleh pembenahan di sektor jasa, seperti jasa lainnya yang tumbuh 10,55 persen dan jasa perusahaan yang tumbuh 10,25 persen.
Sektor jasa lainnya yang ikut berkinerja baik adalah informasi dan komunikasi yang tumbuh 9,41 persen serta jasa keuangan dan asuransi yang tumbuh 6,6 persen.
Meski demikian, lesunya kinerja industri pengolahan menjadi catatan tersendiri karena perlambatan sektor manufaktur selalu menjadi penghambat kinerja ekonomi untuk tumbuh sesuai potensi.
Padahal peran industri pengolahan sangat besar kepada perekonomian karena merupakan penyumbang terbesar struktur Produk Domestik Bruto (PDB) yaitu mencapai 19,7 persen pada 2019.
Selain industri, struktur PDB juga disumbangkan oleh sektor perdagangan (13,01 persen), pertanian (12,72 persen), konstruksi (10,75 persen), pertambangan (7,26 persen) serta transportasi dan pergudangan (5,57 persen).
Pembenahan
Menanggapi kinerja industri pengolahan tersebut, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita siap melakukan sejumlah pembenahan untuk mengatasi perlambatan.
Perbaikan akan dilakukan di berbagai sektor agar industri mannufaktur dapat tumbuh lebih baik sesuai target 5,3 persen pada 2020.
Pembenahan yang dapat dilakukan sebagai stimulus bagi industri antara lain menurunkan harga gas yang selama ini menjadi bahan baku bagi industri untuk memperkuat daya saing.
Selain itu, tambah dia, membangun 29 kawasan industri baru, terutama di luar Jawa, yang dekat dengan sumber energi dan bahan baku sesuai dengan RPJMN 2020-2024.
"Berkaitan dengan pencetakan kawasan industri, kita perlu mendorong agar makin tumbuh di daerah-daerah luar Jawa, untuk mengurangi disparitas industri Jawa dan luar Jawa," ujar Menperin.
Kemudian memperkuat Industri Kecil Menengah (IKM) yang mempunyai porsi besar dalam kelangsungan industri pengolahan di Indonesia, dengan memberikan dukungan pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Selanjutnya, menurut dia, membuat sarana pengelolaan limbah industri agar sampah-sampah tersebut tidak merusak lingkungan dan mempunyai nilai ekonomis tersendiri.
"Jadi semua limbah-limbah yang dihasilkan akibat proses produksi pada dasarnya bisa diolah kembali dan diproses serta di-reuse dengan teknik proses yang baru," kata Agus Gumiwang.
Terakhir, tambah Menperin, menyiapkan fasilitas dan memastikan kelancaran energi seperti air dan listrik di kawasan industri untuk mendorong produksi manufaktur.
Pembenahan internal ini dapat menjadi penyuntik semangat bagi pelaku industri pengolahan, apalagi kondisi global yang menghambat pertumbuhan pada 2019 telah bergerak ke arah yang lebih positif.
Faktor eksternal tersebut antara lain tensi perang dagang Amerika Serikat dengan China yang mereda setelah adanya kesepakatan perjanjian perdagangan tahap pertama serta kejelasan keluarnya Inggris dari Uni Eropa pada akhir Januari 2020.
Hilirisasi
Dalam kesempatan terpisah Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan menyebutkan sektor industri merupakan penunjang utama dalam menghadapi ketidakpastian global.
Oleh karena itu, menurut dia, pembenahan dalam industri pengolahan menjadi penting agar ekonomi dalam negeri tidak terdampak oleh tekanan eksternal dan sasaran pertumbuhan ekonomi dapat tercapai.
"Pertumbuhan 5,3 persen tidak realistis untuk 2020 karena kondisi global tertekan, terutama performa China turun akibat menyebarnya Virus Corona," katanya.
Abdul mengatakan penguatan industri pengolahan sangat penting karena berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga jika terdapat perlambatan pada sektor itu, maka untuk mendorong peningkatan PDB akan sulit.
Ia menambahkan peningkatan kinerja pada sektor industri dapat mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mempengaruhi pertumbuhan konsumsi domestik, peningkatan penerimaan pajak, serta penurunan porsi utang.
Peneliti Indef lainnya, Andry Satrio Nugroho bahkan menyarankan agar pemerintah mulai mengoptimalkan hilirisasi komoditas kelapa sawit dan karet agar kinerja industri pengolahan pada 2020 dapat makin meningkat.
Optimalisasi sektor industri hilirisasi kelapa sawit maupun karet secara berkelanjutan dapat menjadi salah satu penopang dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,3 persen pada 2020.
"Selama industri karet dan sawit kita tidak diperbaiki, maka selama itu juga kita tidak dapat mengharapkan industri yang selayaknya," katanya.
Andry mengakui pembenahan ini bukan merupakan hal yang mudah, karena kedua komoditas unggulan itu dari segi ekspor maupun permintaan domestik sedang tertekan sehingga mempengaruhi perlambatan kinerja industri pengolahan pada 2019.
Meski demikian, optimalisasi tersebut harus terus diupayakan agar industri pengolahan dapat tumbuh lebih tinggi dari perkiraan pemerintah yaitu 5,5 persen dan memberikan kontribusi terhadap penguatan ekonomi dalam negeri.
"Pertumbuhan ekonomi bisa 5,3 persen kalau industri tumbuh di atas 5,5 persen," katanya.
Selain sektor industri yang perlu tumbuh setidaknya 5,5 persen, peningkatan perdagangan dan pertanian juga dibutuhkan untuk semakin menunjang perekonomian Indonesia lebih baik pada tahun ini.
Jika sektor industri beserta berbagai sektor lainnya tidak dapat tumbuh lebih tinggi, maka skenario terburuk perekonomian Indonesia untuk 2020 hanya akan tumbuh pada kisaran 4,8 persen.
Dengan berbagai rencana untuk mendorong realisasi industri pengolahan, pemerintah optimistis mampu menjaga kinerja laju ekonomi dari potensi perlambatan, apalagi sejumlah relaksasi sedang diupayakan untuk mendorong investasi.
Namun mengelola ketidakpastian juga hal penting yang harus dilakukan pemerintah, terutama dari segi pelaksanaan kebijakan, yang selama ini terbentur oleh lambatnya implementasi di lapangan.
Baca juga: Menperin yakin target pertumbuhan industri 2020 tercapai
Baca juga: BPS: Perlambatan industri pengolahan pengaruhi pertumbuhan ekonomi
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2020
Tags: