Kader PDIP ajak Presiden Jokowi diskusi soal ibu kota negara
11 Februari 2020 21:39 WIB
Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Effendi Simbolon (tengah) saat diskusi Forum Legislasi di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa (11/2/2020). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Kader PDI Perjuangan Effendi Simbolon mengajak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) berdiskusi dengan perwakilan rakyat soal rencana strategis pemindahan ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.
Ajakan itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI secara terbuka, dalam sebuah diskusi Forum Legislasi di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa.
"Ini begini-begini, kita ajak dong. Kita nongkrong yuk," kata Effendi.
Ia khawatir dengan tidak dilibatkan perwakilan rakyat, maka Presiden Jokowi bisa menganggap pemindahan ibu kota negara itu hanya persoalan sederhana.
Padahal, memindahkan ibu kota negara, menurut dia, tidak hanya soal memindahkan kota saja, namun juga bagaimana membangun sebuah peradaban.
Dia mengatakan pemindahan ibu kota negara akan jauh lebih sulit daripada mengembangkan kawasan seperti Bumi Serpong Damai (BSD) dan Pantai Indah Kapuk (PIK).
"Membangun ibu kota itu membangun peradaban dan itu evolusi, evolusi bertahap. Membangun ibu kota bukan membangun PIK atau BSD. Begitu ada uang, ada pengembang, ada desain, selesai," kata Effendi.
Ia berpendapat bahwa untuk bisa membangun sebuah peradaban, seyogianya harus mendapatkan keputusan dari rakyat yang berdaulat penuh atas kebijakan tersebut.
"Sebaiknya Bapak Jokowi membawa itu ke... ajaklah rakyatmu ini, temanmu ini, temanmu ketika kau masih Presiden dan temanmu ketika kau tidak lagi Presiden bersama dengan riang gembira," kata Effendi.
Baca juga: Menpan-RB: Seluruh ASN pusat wajib mau ke Ibu kota baru
Apalagi, dalam kebijakan strategis, pemerintah harus melakukannya secara bersama-sama dengan rakyat, kata Effendi. Karena, kedaulatan untuk itu ada di tangan rakyat. Ia mengingatkan, jangan sampai rakyat merasa ada kekakuan hubungan dengan pemerintahnya.
"Ini contoh saja, apabila pemerintah ingin menetapkan suatu kebijakan yang strategis hendaknya melalui forum referendum. Oh, nanti katanya kebiasaan. Betul, tapi untuk hal-hal tertentu penting. Perang saja, dia memerlukan persetujuan dari DPR, dari rakyat ikut andil memberikan persetujuan," kata Effendi pula.
Ia mengatakan, pemerintah dalam menggeser pasukan 40 orang saja ke Australia untuk membantu memadamkan kebakaran hutan di sana, itu perlu meminta persetujuan DPR RI. Apalagi memindahkan ibu kota negara.
Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak melibatkan DPR RI saat ada rancangan undang-undang yang ingin dibahas saja, sebab hal itu akan berbeda.
"Beda itu, kita putuskan itu baru kita membahas dan merancang undang-undang. Ada keputusan bersama, keputusan negara, keputusan bangsa ini dulu," kata Effendi.
Baca juga: Pindah ibu kota negara, Pemkab Penajam himpun data permasalahan
Ia pun mengaku bingung ketika ditanya apa dasar filosofis dan sosiologis pemindahan ibu kota negara oleh konstituennya di daerah.
Padahal itu harus dipertanggungjawabkannya sebagai anggota DPR RI kepada konstituennya di daerah, kepada rakyat Indonesia, dan kepada Tuhan di akhirat kelak.
"Apa yang bisa kita ceritakan kepada malaikat-malaikat di sana. Dengan anak cucu kita. Apa coba. Sebab ibu kota negara itu penting sebagai stigma, sebagai predikat, sebagai kehormatanmu. Makanya enggak ada orang menduduki kota, yang jatuh itu ibu kotanya," kata Effendi pula.
Ajakan itu disampaikan anggota Komisi I DPR RI secara terbuka, dalam sebuah diskusi Forum Legislasi di Kompleks Parlemen RI, Senayan, Jakarta, Selasa.
"Ini begini-begini, kita ajak dong. Kita nongkrong yuk," kata Effendi.
Ia khawatir dengan tidak dilibatkan perwakilan rakyat, maka Presiden Jokowi bisa menganggap pemindahan ibu kota negara itu hanya persoalan sederhana.
Padahal, memindahkan ibu kota negara, menurut dia, tidak hanya soal memindahkan kota saja, namun juga bagaimana membangun sebuah peradaban.
Dia mengatakan pemindahan ibu kota negara akan jauh lebih sulit daripada mengembangkan kawasan seperti Bumi Serpong Damai (BSD) dan Pantai Indah Kapuk (PIK).
"Membangun ibu kota itu membangun peradaban dan itu evolusi, evolusi bertahap. Membangun ibu kota bukan membangun PIK atau BSD. Begitu ada uang, ada pengembang, ada desain, selesai," kata Effendi.
Ia berpendapat bahwa untuk bisa membangun sebuah peradaban, seyogianya harus mendapatkan keputusan dari rakyat yang berdaulat penuh atas kebijakan tersebut.
"Sebaiknya Bapak Jokowi membawa itu ke... ajaklah rakyatmu ini, temanmu ini, temanmu ketika kau masih Presiden dan temanmu ketika kau tidak lagi Presiden bersama dengan riang gembira," kata Effendi.
Baca juga: Menpan-RB: Seluruh ASN pusat wajib mau ke Ibu kota baru
Apalagi, dalam kebijakan strategis, pemerintah harus melakukannya secara bersama-sama dengan rakyat, kata Effendi. Karena, kedaulatan untuk itu ada di tangan rakyat. Ia mengingatkan, jangan sampai rakyat merasa ada kekakuan hubungan dengan pemerintahnya.
"Ini contoh saja, apabila pemerintah ingin menetapkan suatu kebijakan yang strategis hendaknya melalui forum referendum. Oh, nanti katanya kebiasaan. Betul, tapi untuk hal-hal tertentu penting. Perang saja, dia memerlukan persetujuan dari DPR, dari rakyat ikut andil memberikan persetujuan," kata Effendi pula.
Ia mengatakan, pemerintah dalam menggeser pasukan 40 orang saja ke Australia untuk membantu memadamkan kebakaran hutan di sana, itu perlu meminta persetujuan DPR RI. Apalagi memindahkan ibu kota negara.
Menurut dia, pemerintah seharusnya tidak melibatkan DPR RI saat ada rancangan undang-undang yang ingin dibahas saja, sebab hal itu akan berbeda.
"Beda itu, kita putuskan itu baru kita membahas dan merancang undang-undang. Ada keputusan bersama, keputusan negara, keputusan bangsa ini dulu," kata Effendi.
Baca juga: Pindah ibu kota negara, Pemkab Penajam himpun data permasalahan
Ia pun mengaku bingung ketika ditanya apa dasar filosofis dan sosiologis pemindahan ibu kota negara oleh konstituennya di daerah.
Padahal itu harus dipertanggungjawabkannya sebagai anggota DPR RI kepada konstituennya di daerah, kepada rakyat Indonesia, dan kepada Tuhan di akhirat kelak.
"Apa yang bisa kita ceritakan kepada malaikat-malaikat di sana. Dengan anak cucu kita. Apa coba. Sebab ibu kota negara itu penting sebagai stigma, sebagai predikat, sebagai kehormatanmu. Makanya enggak ada orang menduduki kota, yang jatuh itu ibu kotanya," kata Effendi pula.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2020
Tags: