Jakarta (ANTARA) - Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tidak membantah hasil studi dari peneliti Harvard University AS terkait keberadaan virus corona, namun dia menyayangkan adanya anggapan ketidakmampuan suatu negara dalam menangani kasus tersebut.

"Kalau ada orang lain mau melakukan survei, riset dan dugaan ya silakan saja; tapi janganlah mendiskreditkan suatu negara. Itu namanya menghina itu," kata Terawan usai mengikuti rapat koordinasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di Gedung Grand Kebon Sirih Jakarta, Selasa.

Setiap negara memiliki sistem dan metode yang tidak seragam dalam menangani suatu wabah. Namun, untuk meneliti suatu virus, Terawan mengatakan Indonesia memiliki laboratorium dan peralatan yang sudah berstandar internasional.

Baca juga: Tanggapi riset Harvard,Menkes: Kita sudah sesuai standar internasional

Dokter militer itu juga mempersilakan pihak-pihak luar, termasuk Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organisation (WHO) yang ingin menyaksikan bagaimana proses Kementerian Kesehatan meneliti virus corona.

"Tapi kalau disuruh compare ke negara lain itu ada yang namanya MTA, material transfer agreement; tidak boleh material itu dibawa ke luar, itu ada perjanjiannya. Mereka silakan kalau mau ke sini, silakan," ucapnya menjelaskan.

Penelitian terhadap virus corona dilakukan Kemenkes di Laboratorium BSL 3 (Biosafety Level 3). Laboratorium tersebut juga pernah digunakan untuk meneliti virus MERS (Middle East Respiratory Syndrome) yang disebabkan oleh virus corona.

"Prinsipnya kita sangat transparan, silakan yang mau memeriksa Laboratorium BSL 3 kita. Wong negara lain sudah mengakui, WHO juga sudah mengakui; kalau ada yang mau survei, riset dan menduga ya silakan saja, tapi jangan mendiskreditkan suatu negara," ujarnya menegaskan.

Baca juga: Presiden Jokowi: 62 "suspect" Virus Corona di RI, semuanya negatif

Lima peneliti dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, Harvard University melakukan riset terhadap penyebaran the 2019 Novel Coronavirus (2019-nCov) yang awalnya ditemukan pada Desember 2019 di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Dalam jurnal berjudul Using predicted imports of 2019-nCoV cases to determine locations that may not be identifying all imported cases, disebutkan wabah akibat virus corona meningkat drastis hingga mencapai lebih dari 75.000 kasus pada 25 Januari 2020 dan menyebabkan Kota Wuhan diisolasi. Pada 4 Februari 2020, kasus tersebut menjadi wabah internasional dengan laporan telah terjadi di 28 negara.

Penelitian tersebut menggunakan model Poisson, dengan menghitung jumlah kasus 2019-nCoV yang terkonfirmasi di luar daratan China terhadap jumlah penumpang penerbangan internasional langsung dari Bandara Wuhan ke negara lain.

Diskusi hasil penelitian tersebut menunjukkan korelasi positif antara jumlah penumpang yang melakukan perjalanan udara dari Wuhan terhadap meningkatnya kasus corona di negara lain. Negara-negara yang memiliki penerbangan langsung dari Wuhan diperkirakan terdapat kasus corona dengan lebih dari penghitungan 95 persen interval prediksi (PI).

"Di Indonesia dan Kamboja, yang memiliki penerbangan langsung dari Wuhan selama wabah corona merebak, jumlah kasusnya berada di bawah batas 95 persen PI dan dilaporkan satu sampai nol kasus hingga kini," demikian ditulis dalam hasil riset tersebut.

Penelitian tersebut merekomendasikan Indonesia dan Kamboja untuk memperketat pengawasan dan pengendalian, untuk memastikan kasus corona terdeteksi.

Baca juga: Pelaku pasar yakini virus corona tidak berdampak jangka panjang