Pemulangan WNI Eks-ISIS, Imparsial: Pemerintah harus berhati-hati
11 Februari 2020 14:57 WIB
Direktur Imparsial Al Araf bersama Wakil Direktur Imparsial Gufron dan peneliti Imparsial saat jumpa pers terkait rencana Pemulangan WNI Simpatisan ISIS, di Kantor Imparsial, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (11/2/2020). (Antara Foto/Syaiful Hakim)
Jakarta (ANTARA) - Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Imparsial meminta pemerintah agar berhati-hati dan cermat dalam mengindentifikasi rencana pemulangan 660 WNI Eks-ISIS ke tanah air.
"Kehati-hatian diperlukan untuk memastikan kebijakan pemerintah tidak kontra produktif dalam menangani ancaman terorisme," kata Direktur Imparsial, Al Araf saat jumpa pers, di Kantor Imparsial, Jakarta, Selasa.
Baca juga: PBNU tegaskan tolak wacana pemulangan eks kombatan ISIS
Baca juga: Pegiat ingatkan perempuan-anak eks ISIS dapatkan perlindungan khusus
Baca juga: Komentar Muhammadiyah soal eks ISIS kembali ke Indonesia
Pemerintah, lanjut dia, perlu mengidentifikasi WNI simpatisan ISIS menjadi Foreign Terrorist Fighter (FTF) dan yang tidak menjadi bagian dari hal tersebut.
Dikatakannya, berdasarkan Resolusi 2249 Dewan Keamanan PBB, ISIS bukanlah sebuah negara, tetapi ditetapkan sebagai organisasi teroris. Menurut Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara, suatu hukum internasional dapat dikatakan sebagai negara apabila memiliki kriteria, populasi yang permanen, teritori yang jelas, adanya pemerintahan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hubungan dengan negara lain.
Saat ini, pemerintah belum memutuskan sikap yang akan diambil terkait rencana pemulangan 660 WNI yang berada di Irak dan Suriah.
Imparsial memandang terorisme merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dengan dalih dan alasan apapun. Sebagai kejahatan, kata Al Araf, terorisme merupakan ancaman nyata bagi keamanan negara dan masyarakat.
"Melawan aksi terorisme adalah kepentingan kita bersama sebagai sebuah bangsa. Upaya penanganan terorisme perlu dilakukan secara komprehensif mulai dari pencegahan, penindakan hingga deradikalisasi," kata Al Araf.
Namun, upaya penanganan terorisme harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara kewajiban negara untuk melindungi rasa aman masyarakat dan menjamin perlindungan hak asasi manusia.
"Kebijakan negara untuk menanggulangi persoalan terorisme memang bukan hanya perlu, tetapi harus," katanya.
Ia menambahkan terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik,. kesejahteraan sosial, dan tegaknya keadilan.
"Tetapi, dalam menyusun kebijakan anti-terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yajni menempatkan perlindungan terhadap 'liberty of person' dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap 'security of person'," tutur Al Araf.
Baca juga: Pemerintah akan verifikasi status kewarganegaraan eks kombatan ISIS
Baca juga: PBNU dan Menlu bahas eks kombatan ISIS dan isu Palestina
"Kehati-hatian diperlukan untuk memastikan kebijakan pemerintah tidak kontra produktif dalam menangani ancaman terorisme," kata Direktur Imparsial, Al Araf saat jumpa pers, di Kantor Imparsial, Jakarta, Selasa.
Baca juga: PBNU tegaskan tolak wacana pemulangan eks kombatan ISIS
Baca juga: Pegiat ingatkan perempuan-anak eks ISIS dapatkan perlindungan khusus
Baca juga: Komentar Muhammadiyah soal eks ISIS kembali ke Indonesia
Pemerintah, lanjut dia, perlu mengidentifikasi WNI simpatisan ISIS menjadi Foreign Terrorist Fighter (FTF) dan yang tidak menjadi bagian dari hal tersebut.
Dikatakannya, berdasarkan Resolusi 2249 Dewan Keamanan PBB, ISIS bukanlah sebuah negara, tetapi ditetapkan sebagai organisasi teroris. Menurut Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara, suatu hukum internasional dapat dikatakan sebagai negara apabila memiliki kriteria, populasi yang permanen, teritori yang jelas, adanya pemerintahan dan memiliki kapasitas untuk melakukan hubungan dengan negara lain.
Saat ini, pemerintah belum memutuskan sikap yang akan diambil terkait rencana pemulangan 660 WNI yang berada di Irak dan Suriah.
Imparsial memandang terorisme merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dengan dalih dan alasan apapun. Sebagai kejahatan, kata Al Araf, terorisme merupakan ancaman nyata bagi keamanan negara dan masyarakat.
"Melawan aksi terorisme adalah kepentingan kita bersama sebagai sebuah bangsa. Upaya penanganan terorisme perlu dilakukan secara komprehensif mulai dari pencegahan, penindakan hingga deradikalisasi," kata Al Araf.
Namun, upaya penanganan terorisme harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara kewajiban negara untuk melindungi rasa aman masyarakat dan menjamin perlindungan hak asasi manusia.
"Kebijakan negara untuk menanggulangi persoalan terorisme memang bukan hanya perlu, tetapi harus," katanya.
Ia menambahkan terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik,. kesejahteraan sosial, dan tegaknya keadilan.
"Tetapi, dalam menyusun kebijakan anti-terorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yajni menempatkan perlindungan terhadap 'liberty of person' dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap 'security of person'," tutur Al Araf.
Baca juga: Pemerintah akan verifikasi status kewarganegaraan eks kombatan ISIS
Baca juga: PBNU dan Menlu bahas eks kombatan ISIS dan isu Palestina
Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2020
Tags: