Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania mengharapkan pemerintah meninjau ulang relevansi harga pembelian pemerintah (HPP) beras dalam rangka membenahi manajemen komoditas kebutuhan pokok tersebut.
"Bulog, yang terikat pada Inpres Nomor 5 Tahun 2015, diharuskan mencapai target serapan beras dan bisa menyerap beras berkualitas baik. Namun, standar HPP yang ada di dalam inpres tersebut sudah tidak relevan dengan keadaan pasar," katanya di Jakarta, Senin.
Baca juga: Peneliti: Pembenahan beras cadangan perlu evaluasi HPP
Menurut Galuh, untuk mempermudah Bulog mencapai target penyerapannya, sebaiknya BUMN itu diberikan akses untuk menggunakan standar harga HPP gabah kering panen yang lebih bersaing.
Saat ini, HPP GKP berada di kisaran angka Rp3.700 per kilogram, dengan fleksibilitas harga sebesar 10 persen.
Ia mengingatkan bahwa harga dari Bulog itu menjadi referensi secara nasional, sehingga perlu dipikirkan apabila harga riilnya ternyata lebih tinggi atau di atas HPP.
"Hal ini akan berakibat pada kenaikan harga beras di pasar karena semua akan ikut naik menyesuaikan harga Bulog. Ketika harga Bulog mahal maka hal ini akan memengaruhi harga di tingkat konsumen," ungkapnya.
Galuh berpendapat bahwa terdapat faktor-faktor yang mengakibatkan adanya perubahan harga seperti inflasi, biaya transportasi, dan perubahan margin keuntungan petani yang meningkat dari tahun ke tahun, sehingga sudah sebaiknya pemerintah meninjau ulang relevansi HPP.
Menurut dia, kalau HPP masih dibutuhkan, maka sebaiknya besaran HPP diperbaharui dengan kondisi pasar yang ada saat ini.
Namun, dalam jangka panjang, permasalahan seputar penyerapan beras Bulog ini lagi-lagi berpotensi terjadi karena harga di tahun mendatang pasti akan berbeda dan perlu pemutakhiran yang teratur.
Galuh menambahkan, ada hal lain yang dapat dilakukan dalam jangka panjang agar pemerintah tidak bergantung kepada HPP untuk mengatur harga beras, antara lain adalah intervensi pada segi produksi dan distribusi melalui program-program pemerintah yang juga diintegrasikan dengan penerapan teknologi.
Selain permasalahan kualitas beras akibat terkekang HPP, lanjutnya, distribusi beras Bulog juga terhambat karena adanya perubahan skema bantuan sosial.
Transformasi dari skema rastra ke BPNT membuat beras Bulog tidak lagi menjadi pemasok utama beras dalam skema baru ini.
"Kini dengan adanya program BPNT, peran Bulog dalam penyaluran beras semakin jauh berkurang karena suplai beras dapat juga diperoleh dari distributor lainnya seperti swasta," ucapnya.
Sebelumnya, Peneliti CIPS Felippa Ann Amanta mengingatkan panjangnya proses birokrasi perdagangan komoditas beras seperti dalam aktivitas impor yang berdampak kepada potensi meningkatnya harga beras nasional.
"Keputusan untuk mengimpor beras harus mempertimbangkan beberapa hal, seperti stok beras Bulog, perbedaan harga, dan atau produksi beras nasional. Data pertanian yang tidak sama antarinstansi juga dijadikan dasar pengambilan keputusan ini," katanya.
Menurut Felippa, panjangnya proses birokrasi ini seringkali menghalangi Bulog untuk mengimpor di saat harga internasional sedang rendah, karena yang terjadi seringkali adalah Bulog harus mengimpor di saat harga beras internasional tinggi dan masa itu bersamaan dengan masa panen petani domestik.
Pada akhirnya, ujar dia, petani juga yang dirugikan, serta penerapan berbagai kebijakan hambatan nontarif (non tariff measure/NTM) ini seringkali dijustifikasi oleh argumen swasembada pangan di mana Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, memastikan beras domestik mendominasi pasar dan melindungi petani beras domestik.
"Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan banyak kebijakan NTM, salah satunya pada perdagangan pangan. Penerapan NTM di sektor pangan berdampak besar bagi ketahanan pangan karena memengaruhi kualitas, kuantitas dan harga makanan yang dikonsumsi. Hal ini pada akhirnya berkontribusi pada munculnya angka malnutrisi," jelasnya.
Baca juga: Mantan Dirut Bulog: HPP beras dan gabah seharusnya sudah naik
Baca juga: Peneliti ingatkan panjangnya proses birokrasi perdagangan pangan beras
Peneliti harapkan pemerintah tinjau ulang relevansi HPP beras
10 Februari 2020 21:37 WIB
Ilustrasi - Stok beras Perum Bulog di Rejang Lebong, Bengkulu. ANTARA/Nur Muhamad
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2020
Tags: