Bappenas: Tantangan besar pembangunan SDM adalah perkawinan anak
4 Februari 2020 14:39 WIB
Menteri PPN Suharso Monoarfa dalam “Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda" di Jakarta, Selasa (4/2/2020). ANTARA/Katriana/am.
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) mengatakan salah satu tantangan besar dalam upaya membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul adalah perkawinan anak yang masih banyak terjadi di Indonesia.
"Karena sesuatu yang bagus itu hanya lahir dari orang-orang yang hebat, orang-orang yang bagus dan orang-orang yang unggul," kata Menteri PPN Suharso Monoarfa dalam “Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda" di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan perkawinan anak menjadi tantangan besar dalam pembangunan SDM karena pernikahan tersebut merupakan bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
"Karena perkawinan anak memiliki dampak yang multiaspek," katanya.
Dampak perkawinan anak tersebut antara lain meningkatkan angka kematian ibu dan balita, kekerdilam (stunting), putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan antar generasi serta dampak-dampak lainnya.
Baca juga: KPPPA dan 20 provinsi sepakati komitmen cegah perkawinan anak
Baca juga: Penambahan batas usia menikahi anak, CHA Busra: Tidak perlu
Baca juga: Perkawinan usia anak jadi permasalahan utama di Kalteng
Akibat perkawinan anak, katanya, Indonesia masih mencatatkan kasus anak-anak yang menjadi korban hanya karena masalah yang dihadapi orang tua.
Akibat perkawinan anak juga, Indonesia masih mencatatkan tingginya angka kekerdilan (stunting), anak putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
"Saat ini pernikahan anak masih terus terjadi di beberapa daerah dengan dinamika dan faktor penyebabnya yang beragam. Tingkat pendidikan, ekonomi, nilai dan moral, sosial budaya, pemahaman agama yang keliru, dan sering situasi bencana dan konflik berpengaruh tinggi juga terhadap perkawinan anak," katanya.
Oleh karena itu, dalam upaya memutus mata rantai dampak tersebut, pemerintah melalui kerja sama dengan berbagai pihak dituntut untuk mencari solusi guna mencegah perkawinan anak.
"Kompleksitas isu perkawinan anak tersebut menuntut berbagai pihak untuk menyusun kebijakan dan strategi yang tidak hanya sistematis, komprehensif dan terpadu tetapi juga implementatif dan tepat sasaran," katanya.
Perkawinan anak juga menjadi salah satu indikator prioritas nasional ketiga dalam upaya meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing melalui program prioritas peningkatan kualitas anak perempuan dan pemuda dengan menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2 persen pada 2018 menjadi 8,74 persen pada 2024.
Sementara itu, untuk mencapai target tersebut, strategi yang dilakukan antara lain melalui penguatan koordinasi dan sinergi dalam upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
"Perkawinan anak merupakan isu multisektor sehingga pencegahan perkawinan anak memerlukan kontribusi dari berbagai pihak, baik dari unsur pemerintah dan nonpemerintah termasuk keluarga dan masyarakat," katanya.*
Baca juga: KPPPA: Tingginya perkawinan anak dipengaruhi faktor budaya
Baca juga: 199 anak dari kawin campur Indonesia-China berkewarganegaraan ganda
Baca juga: BKKBN : pengetahuan jenis kelamin anak didapat dari bimbingan pranikah
"Karena sesuatu yang bagus itu hanya lahir dari orang-orang yang hebat, orang-orang yang bagus dan orang-orang yang unggul," kata Menteri PPN Suharso Monoarfa dalam “Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak dan Laporan Pencegahan Perkawinan Anak: Percepatan yang Tidak Bisa Ditunda" di Jakarta, Selasa.
Ia mengatakan perkawinan anak menjadi tantangan besar dalam pembangunan SDM karena pernikahan tersebut merupakan bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak anak.
"Karena perkawinan anak memiliki dampak yang multiaspek," katanya.
Dampak perkawinan anak tersebut antara lain meningkatkan angka kematian ibu dan balita, kekerdilam (stunting), putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga, kemiskinan antar generasi serta dampak-dampak lainnya.
Baca juga: KPPPA dan 20 provinsi sepakati komitmen cegah perkawinan anak
Baca juga: Penambahan batas usia menikahi anak, CHA Busra: Tidak perlu
Baca juga: Perkawinan usia anak jadi permasalahan utama di Kalteng
Akibat perkawinan anak, katanya, Indonesia masih mencatatkan kasus anak-anak yang menjadi korban hanya karena masalah yang dihadapi orang tua.
Akibat perkawinan anak juga, Indonesia masih mencatatkan tingginya angka kekerdilan (stunting), anak putus sekolah, kekerasan dalam rumah tangga dan kemiskinan.
"Saat ini pernikahan anak masih terus terjadi di beberapa daerah dengan dinamika dan faktor penyebabnya yang beragam. Tingkat pendidikan, ekonomi, nilai dan moral, sosial budaya, pemahaman agama yang keliru, dan sering situasi bencana dan konflik berpengaruh tinggi juga terhadap perkawinan anak," katanya.
Oleh karena itu, dalam upaya memutus mata rantai dampak tersebut, pemerintah melalui kerja sama dengan berbagai pihak dituntut untuk mencari solusi guna mencegah perkawinan anak.
"Kompleksitas isu perkawinan anak tersebut menuntut berbagai pihak untuk menyusun kebijakan dan strategi yang tidak hanya sistematis, komprehensif dan terpadu tetapi juga implementatif dan tepat sasaran," katanya.
Perkawinan anak juga menjadi salah satu indikator prioritas nasional ketiga dalam upaya meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing melalui program prioritas peningkatan kualitas anak perempuan dan pemuda dengan menargetkan penurunan angka perkawinan anak dari 11,2 persen pada 2018 menjadi 8,74 persen pada 2024.
Sementara itu, untuk mencapai target tersebut, strategi yang dilakukan antara lain melalui penguatan koordinasi dan sinergi dalam upaya pencegahan perkawinan anak dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
"Perkawinan anak merupakan isu multisektor sehingga pencegahan perkawinan anak memerlukan kontribusi dari berbagai pihak, baik dari unsur pemerintah dan nonpemerintah termasuk keluarga dan masyarakat," katanya.*
Baca juga: KPPPA: Tingginya perkawinan anak dipengaruhi faktor budaya
Baca juga: 199 anak dari kawin campur Indonesia-China berkewarganegaraan ganda
Baca juga: BKKBN : pengetahuan jenis kelamin anak didapat dari bimbingan pranikah
Pewarta: Katriana
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: