Lembaga peneliti buka pintu legalisasi ganja di Aceh
31 Januari 2020 21:18 WIB
Ketua LGN Dhira Narayana saat berdiskusi dengan masyarakat di Aceh terkait potensi industri ganja Aceh sebagai strategi pengentas kemiskinan, di Banda Aceh, Jumat (31/1/2020). (ANTARA/Khalis)
Banda Aceh (ANTARA) - Direktur Eksekutif The Aceh Institute Fajran Zain menyatakan sebagai lembaga penelitian pihaknya ingin membuka pintu diskusi tentang legalisasi tanaman ganja di Aceh, mengingat ganja memiliki banyak kandungan positif sebagai bahan baku untuk berbagai produk.
"Selama ini stigma (ganja) itu adalah zat adiktif, narkoba, dan masuk dalam daftar BNN sebagai barang tidak boleh dikonsumsi," katanya di sela-sela diskusi publik potensi industri ganja Aceh sebagai strategi pengentasan kemiskinan, di Kamp Biawak, Kota Banda Aceh, Jumat.
Diskusi itu mengundang Prof Musri Musman sebagai peneliti pemanfaatan ganja untuk keperluan medis, pemerhati ganja Tgk Jamaica, serta Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Narayana, yang diselenggarakan The Aceh Institute.
Baca juga: Bareskrim buru penjual ganja lewat medsos
Fajran menyebutkan turunan dari penelitian Prof Musri bahwa ganja itu produktif. Berbicara soal ganja tidak hanya berhenti pada zat adiktif semata, tetapi tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk bernilai ekonomi.
"Seperti pengawet warna, parfum, zat-zat yang bagus untuk kesehatan serta berbagai dari sisi medis. Maka saya jadi bertanya apa dasar negara menjadikan ini ilegal," ujarnya.
Sebagai lembaga penelitian pihaknya wajib membuka ruang kepada publik untuk berdiskusi, meneliti, kajian, tentang potensi ganja sebagai pengentasan kemiskinan di Aceh. Meskipun, kata dia, pihak keamanan, BNN, serta sejumlah orang mempertanyakan tujuan dari diskusi yang dibuat tersebut.
"Ketika kami melansir ide diskusi ini juga ditelpon oleh pihak keamanan, BNN, banyak orang mempertanyakan maksud diskusi ini. Saya katakan ini adalah diskusi, terbuka, kajian, akademik, dan silahkan datang," katanya.
Baca juga: BNKK Temanggung tangkap pengedar ganja
Menurut dia, jika Pemerintah Aceh cermat dalam melihat potensi tanaman ganja di daerah Serambi Mekkah ini, tidak tertutup kemungkinan pascadiskusi itu pemerintah akan menindaklanjutinya sebagai hal positif.
"Kita buka keran diskusi dulu. Penelitian baru satu kami temukan, bukan tidak mungkin ada kajian lain tentang ganja yang memang positif," katanya.
Dhira Narayana menilai bisa saja tercapai bahwa ganja sebagai alat untuk memberantas kemiskinan. Menurutnya kalau masyarakat dan petani dilibatkan langsung dalam proses industri ganja tersebut.
Kata dia, ketika ganja dilegalkan dan akan diekspor maka tentu tidak dalam bentuk bahan baku mentah, tetapi harus sudah menjadi sebuah produk.
"Itu harus langsung melibatkan masyarakat, itu saya jamin akan mengentaskan kemiskinan di Aceh. Jadi masyarakat atau petani tidak boleh dijadikan, dalam tanda kutip saya pakai budak-budak pertanian," katanya.
Baca juga: Polisi terus cari peladang ganja di Gunung Guntur
Baca juga: Ladang ganja di Mandailing Natal berpotensi hasilkan 60 ton ganja
Baca juga: Ladang ganja di Sumatera Utara diperkirakan umur delapan bulan
"Selama ini stigma (ganja) itu adalah zat adiktif, narkoba, dan masuk dalam daftar BNN sebagai barang tidak boleh dikonsumsi," katanya di sela-sela diskusi publik potensi industri ganja Aceh sebagai strategi pengentasan kemiskinan, di Kamp Biawak, Kota Banda Aceh, Jumat.
Diskusi itu mengundang Prof Musri Musman sebagai peneliti pemanfaatan ganja untuk keperluan medis, pemerhati ganja Tgk Jamaica, serta Ketua Lingkar Ganja Nusantara (LGN) Dhira Narayana, yang diselenggarakan The Aceh Institute.
Baca juga: Bareskrim buru penjual ganja lewat medsos
Fajran menyebutkan turunan dari penelitian Prof Musri bahwa ganja itu produktif. Berbicara soal ganja tidak hanya berhenti pada zat adiktif semata, tetapi tanaman ini dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk bernilai ekonomi.
"Seperti pengawet warna, parfum, zat-zat yang bagus untuk kesehatan serta berbagai dari sisi medis. Maka saya jadi bertanya apa dasar negara menjadikan ini ilegal," ujarnya.
Sebagai lembaga penelitian pihaknya wajib membuka ruang kepada publik untuk berdiskusi, meneliti, kajian, tentang potensi ganja sebagai pengentasan kemiskinan di Aceh. Meskipun, kata dia, pihak keamanan, BNN, serta sejumlah orang mempertanyakan tujuan dari diskusi yang dibuat tersebut.
"Ketika kami melansir ide diskusi ini juga ditelpon oleh pihak keamanan, BNN, banyak orang mempertanyakan maksud diskusi ini. Saya katakan ini adalah diskusi, terbuka, kajian, akademik, dan silahkan datang," katanya.
Baca juga: BNKK Temanggung tangkap pengedar ganja
Menurut dia, jika Pemerintah Aceh cermat dalam melihat potensi tanaman ganja di daerah Serambi Mekkah ini, tidak tertutup kemungkinan pascadiskusi itu pemerintah akan menindaklanjutinya sebagai hal positif.
"Kita buka keran diskusi dulu. Penelitian baru satu kami temukan, bukan tidak mungkin ada kajian lain tentang ganja yang memang positif," katanya.
Dhira Narayana menilai bisa saja tercapai bahwa ganja sebagai alat untuk memberantas kemiskinan. Menurutnya kalau masyarakat dan petani dilibatkan langsung dalam proses industri ganja tersebut.
Kata dia, ketika ganja dilegalkan dan akan diekspor maka tentu tidak dalam bentuk bahan baku mentah, tetapi harus sudah menjadi sebuah produk.
"Itu harus langsung melibatkan masyarakat, itu saya jamin akan mengentaskan kemiskinan di Aceh. Jadi masyarakat atau petani tidak boleh dijadikan, dalam tanda kutip saya pakai budak-budak pertanian," katanya.
Baca juga: Polisi terus cari peladang ganja di Gunung Guntur
Baca juga: Ladang ganja di Mandailing Natal berpotensi hasilkan 60 ton ganja
Baca juga: Ladang ganja di Sumatera Utara diperkirakan umur delapan bulan
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: