Jakarta (ANTARA) - Hutan menjadi teknologi terhebat untuk infiltrasi air. Namun layaknya tanaman putri malu yang begitu sensitif oleh sentuhan, menurut peneliti dari Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Fakhrudin, bahkan pembukaan jalan setapak untuk sekadar sepeda melintas saja dapat menurunkan kemampuannya menginfiltrasi air.

Dari grafik kapasitas infiltrasi hutan yang dimilikinya, laju infiltrasi air di hutan alami dapat mencapai 4,5 sentimeter (cm) per jam dalam waktu 0,20 jam atau 12 menit. Dalam waktu 0,60 jam atau 36 menit maka infiltrasinya berada di bawah 4 cm per jam.

Namun apa yang terjadi ketika hutan terganggu?

Laju infiltrasi air oleh hutan hanya 1,5 cm per jam dalam waktu 12 menit, dan kemampuan itu menjadi hanya 1 cm per jam saja dalam waktu 36 menit. Dengan demikian ada penurunan kemampuan infiltrasi air di hutan yang kondisinya terganggu hingga 3 kali lipat.

Dalam kondisi hutan yang baik-baik saja, dari grafik yang disajikan Fakhrudin memperlihatkan respons hutan terhadap hujan dapat dilihat kandungan air di tanah mencapai 0,46 meter kubik per meter kubik (m3 per m3) saat intensitas hujan mencapai 135 milimeter (mm) per jam terjadi kurang dari 6 jam. Belum terlihat ada aliran air di atas permukaan tanah atau overland flow terjadi.

Namun ketika hujan mencapai hingga intensitas 151 mm per jam dalam kurun waktu lebih dari 6 jam, kandungan air di tanah menjadi lebih dari 0,47 m3 per m3, terjadi lah overland flow.

Perubahan penggunaan lahan jelas sangat mempengaruhi kapasitas infiltrasi, evapotranspirasi dan timbunan air permukaan yang dapat memicu banjir saat musim hujan dan kekeringan saat kemarau.

Baca juga: KLHK ungkap alasan kesulitan rehabilitasi DAS Ciliwung dan Cisadane

Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Bogor, jawa Barat. ANTARA FOTO/M Adimaja/pras.

Hutan konservasi diterabas

Bencana banjir bandang dan tanah longsor di awal tahun 2020 yang terjadi di Kabupaten Lebak, Banten, terjadi setelah hujan ekstrem terjadi di kawasan taman nasional yang kebetulan ada yang berhutan dan ada pula yang kosong.

Direktur Inventarisasi Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Belinda Margono mengatakan berdasarkan analisa peta dengan memanfaatkan citra satelit Pleiades resolusi tinggi, terlihat sebagian Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) yang menjadi hulu dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Cidurian dan DAS Ciujung terbuka oleh aktivitas pertambangan emas liar.

Selain itu, pertambangan emas skala kecil (PESK) yang kerap disebut “kampung biru”, lalu alih fungsi lahan menjadi pertanian, sawah, pertanian campur semak, semak belukar dan perkebunan. Itu ada yang terjadi di kawasan eks Perum Perhutani.

“Dari citra satelit Pleiades terlihat memang benar ada ‘kampung biru’ merangsek ke dalam taman nasional. Dia merangsek ke sungai-sungai. Ada juga pertanian terbuka. Kami bisa paham kesulitan taman nasional karena ini sudah jadi area pertanian,” kata Belinda.

Dari data kondisi penutupan lahan pada DAS terdampak bencana milik Ditjen PKTL KLHK, DAS Cidurian yang meliputi TNGHS, Hutan Lindung (HL), Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK), Hutan Produksi (HP) dan Areal Penggunaan Lain (APL) memiliki total luasan 86.552 hektare (ha). Jika luas DAS yang berhutan mencapai 6.240 ha, maka yang nonhutan mencapai 80.312 ha.

Lalu dari total luas TNGHS yang berada dalam kawasan DAS Cidurian yang mencapai 4.968 ha, ada 2.072 ha yang berbentuk nonhutan melainkan berupa perkebunan, pertanian, pertanian campur semak dan sawah. Sedangkan dari total luas Hutan Lindung yang mencapai 480 ha, ada 264 ha yang tidak berupa tutupan hutan tetapi justru berbentuk pertanian, pertanian campuran semak dan sawah.

Baca juga: KLHK prioritaskan rehabilitasi DAS Ciliwung dan Cisadane

Pengunjung saat menikmati keindahan alam Kawah ratu di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (19/7/2016). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/pras.

Untuk DAS Ciujung yang meliputi TNGHS, HL, HPK, HP dan APL, memiliki total luas area 216.927 ha. Jika luas DAS yang berhutan mencapai 30.352 ha, maka kawasan yang tidak terdapat tutupan hutan mencapai 186.575 ha.

Dari total luas TNGHS yang berada dalam kawasan DAS Ciujung yang mencapai 18.227 ha, ada 6.764 ha yang berbentuk nonhutan melainkan berupa semak belukar, perkebunan, pertanian, pertanian campuran gemak, sawah dan permukiman. Sedangkan dari total luas Hutan Lindung yang mencapai 990 ha, ada 158 ha yang tidak dalam bentuk tutupan hutan melainkan pertanian, pertanian campur semak dan permukiman.

Bentuk lanskap di TNGHS, menurut Belinda, memang memungkinkan air berkumpul karena ada pertemuan sungai. Karenanya jika sempat aliran-aliran tersebut terganggu sumbatan sehingga mengumpulkan air dalam jumlah besar, sekali sumbatan tersebut terbuka maka bahaya banjir bandang dan longsor begitu besar.

Ia mengatakan pengelolaan atau pemanfaatan kawasan hutan secara landscaping memperhatikan fungsi kawasan. Kalau memang berperan konservasi tentu penunjukan wilayah itu sebagai kawasan konservasi ada alasannya, mengingat dampaknya juga ada jika kawasan tersebut terganggu.

Baca juga: Kepala BNPB minta masyarakat sekitar DAS mengungsi dulu

Daerah rawan bencana

Jika melihat lokasi bencana banjir bandang dan longsor di Kabupaten Lebak, Banten, pada awal 2020 lalu diketahui sebagian besar ada di Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) Gunung Halimun Salak, yang berstatus Hutan Produksi Tetap (HPT) bekas kawasan Perum Perhutani. Sedangkan lokasi bencana di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, ada kawasan Hutan Lindung dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Berdasarkan peta kerawanan longsor yang bersumber dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK 2014, kawasan TNGHS terutama di lokasi terjadi banjir bandang dan longsor yakni di Kecamatan Lebak Gedong dan Cipanas di Lebak serta Kecamatan Nanggung dan Sukajaya di Kapubatan Bogor termasuk kriteria sangat rawan bencana.

Longsor translasi dan rayapan tanah dapat terjadi di permukiman, jalan dan tebing, sedangkan longsor aliran bahan rombakan dapat terjadi di tebing.


Tangkapan layar dari Google Map daerah sekitar Gunung Butak di perbatasan Jawa Barat dan Banten yang memperlihatkan pula yang diduga “kampung biru”. (ANTARA/HO-Google)

Secara geologi wilayah terdampak bencana tersebut termasuk dalam formasi batuan vulkanik Gunung Endut mengandung mineral kalium dan potasium dengan tingkat kelapukan cukup tinggi. Sementara secara topografi, titik-titik longsor di dua kabupaten tersebut di dominasi oleh tingkat kelerengan agak curam mencapai 15 persen hingga 25 persen, curam mencapai 25 persen hingga 40 persen, dan sangat curam lebih dari 40 persen.

“Banyak kelerengan 40 hingga 50 persen. Hampir jika tjdak ada kejadian akan longsor secara alami,” kata Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno.

Terkait aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di lahan seluas 178 ha di hulu Sungai Ciberang di dalam TNGHS, menurut Wiratno, pencemaran sisa merkuri dari pengolahan emas yang dialirkan ke Sungai Ciberang, Sungai Simeut, Sungai Cimadur dan Sungai Ciladaeun sudah sangat mengkhawatirkan bagi kesehatan, selain persoalan ancaman bencana banjir dan longsor akibat kerusakan struktur tanah akibat penggalian dan sisa olahan PETI.

Hingga 2020 tercatat terdapat 21 blok PETI di wilayah kerja Seksi PTNW I Lebak dengan luas areal antara 2 ha sampai dengan 5 ha per lokasi tambang. Pada 10 Juli 2019 telah dilakukan penutupan secara simpatik di Blok Cikidang bekas lokasi PT Aneka Tambang Tbk Resort Gunung Bedil seluas 13,6 ha oleh Balai Taman Nasional Gungung Halimun Salak bersama dengan Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Bupati Lebak, instansi terkait, tokoh masyarakat dan tokoh adat.

Wiratno menekankan tidak boleh ada lagi aktivitas PETI karena sangat membahayakan kesehatan selain membawa dampak lingkungan lainnya.

Baca juga: Ahli sebut Indonesia kehilangan lahan 4.000 ha di perbatasan RDTL