Jakarta (ANTARA) - Setelah berlangsung secara nasional selama setahun pada 2019 dengan segala dinamika dan romantikanya, berikut ketegangan dan "kemeriahan" yang kadang membuat gundah, keriuhan dunia politik kini bergeser ke daerah.
Kalau tahun lalu momentum keriuhan itu bermuara di pemilihan umum (pemilu) legislatif dan pemilihan presiden (pilpres), tahun ini muaranya adalah pemilihan kepala daerah (pilkada). Subtansinya sama, yakni demokrasi untuk memilih wakil di parlemen dan pemimpin nasional.
Sedangkan pilkada ditujukan untuk memilih pemimpin di daerah, baik wali kita dan bupati beserta wakilnya. Untuk pilkada tentu tidak "semeriah" pemilu dan pilpres karena tidak diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia.
Meski tidak di seluruh daerah, pilkada tahun ini berlangsung di 270 kepala daerah, terdiri atas 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Jumlah itu hampir separo kabupaten/kota di Indonesia.
Jumlah itu juga jauh lebih banyak dibandingkan dengan pilkada serentak 27 Juni 2018 di 171 daerah, terdiri atas 17 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten.
Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 15/2019 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Wali Kota/Wakil Wali Kota Tahun 2020, pemungutan suara pilkada serentak dilaksanakan pada 23 September 2020.
Artinya, pemungutan suara akan berlangsung sekitar 7,5 bulan lagi. Saat inipun tahapan pelaksanaannya sudah berjalan yang diwarnai dengan manuver, penjajakan dan pendekatan antarpartai untuk menjalin koalisi.
Hal itu mengingat hampir tak ada partai yang berhak mencalonkan figur calon kepala daerah sendiri dan tanpa koalisi. Kalaupun berhak mencalonkan sendiri calonnya, masih membutuhkan dukungan partai lain untuk memperkuat jaringan mesin politik.
Calon nonpartai atau perseorangan diperkirakan berpeluang muncul dalam pilkada tahun ini. Namun apakah lolos seleksi di KPU atau tidak, masih perlu dilihat perkembangannya.
Kalau lolos seleksi, apakah mampu memenangkan pertarungan politik di pilkada atau tidak. Fakta menunjukkan, selama 15 tahun (sejak 2005) pilkada langsung, calon perseorangan atau independen belum mampu menandingi kedigdayaan calon dari parpol dengan mesin partainya. Daftar Pemilih
Adapun tahapan pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 terbagi dalam beberapa
tahap sesuai rentang waktu yang telah ditentukan KPU. Yakni, pengumpulan syarat dukungan pasangan calon perseorangan pada 16 Oktober 2019-29 Mei 2020.
Pendaftaran calon (perseorangan maupun calon yang didukung partai), penelitian dan penetapan pasangan calon 16 Juni-8 Juli 2020 serta kampanye 11 Juli-19 September 2020.
Sedangkan pemungutan suara dilaksanakan 23 September 2020, penghitungan dan rekapitulasi suara 23 September-5 Oktober 2020.
Selanjutnya Penetapan calon terpilih paling lama lima hari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) secara resmi memberitahukan permohonan yang diregistrasi kepada KPU untuk daerah tanpa sengketa. Atau maksimal lima hari setelah putusan MK untuk daerah dengan sengketa hasil pilkada.
Sementara pemutakhiran dan penyusunan daftar pemilih dilakukan mulai 23 Maret 2020 hingga sehari sebelum pemungutan suara, yakni 22 September 2020. Untuk daftar pemilih pilkada telah diserahkan oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian ke KPU KPU, di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis (23/1).
Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) untuk Pilkada Serentak 2020 berjumlah 105.396.460 juta jiwa. DP4 sebanyak itu terdiri atas laki-laki sebanyak 52.778.939 jiwa dan perempuan 52.617.521jiwa.
Jumlah DP4 tersebut untuk 270 daerah, atau pada 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota yang menggelar pemilihan kepala daerah serentak. Dengan penyerahan ini mendagri mengharapkan agar data kependudukan dapat digunakan dan dijaga kerahasiaannya sesuai dengan peraturan perundang-undangannya.
Sebelumnya penyerahan, Kemendagri secara proaktif mempersiapkan DP4 untuk dipergunakan sebagai bahan sinkronisasi daftar pemilih.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, data pemilih merupakan salah satu urusan penting KPU dalam menyelenggarakan pemilihan umum. Selain ada pemungutan dan penghitungan suara, kemudian pendaftaran calon, data pemilih ini menjadi salah satu urusan penting KPU dalam tahapan pemilihan.
Setelah menerima DP4 tersebut, KPU akan menggunakannya sebagai bahan sinkronisasi DPT pemilu terakhir dan melaksanakan pemutakhiran data pemilih. Komisi Pemilihan Umum RI pada Senin 23 September 2019 secara resmi meluncurkan tahapan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020.
Kemudian KPU menggelar tahapan perjanjian hibah daerah atau yang dikenal dengan Naskah Hibah Perjanjian Daerah (NPHD) dengan pemda untuk pembiayaan pilkada.
Tahapan selanjutnya, yakni menyusun daftar pemilih sementara (DPS) serta pencocokan data pemilih dari sinkronisasi DPT terakhir pemilu dan DP4. Anggaran yang disepakati KPU untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 sebesar Rp9,9 triliun melalui NPHD.
Jumlah itu lebih kecil dari usulan anggaran yang disampaikan ke pemda sebesar Rp11,9 triliun, dengan rincian usulan anggaran sembilan provinsi Rp1,6 triliun, 224 kabupaten Rp9 triliun dan 37 kota Rp1,2 triliun.
Namun yang disetujui dalam NPHD, anggaran sembilan provinsi sebesar Rp1,3 triliun, 224 kabupaten Rp7,4 triliun dan 37 kota Rp1,1 triliun. Biaya Mahal
Biaya sebesar itu adalah untuk penyelenggaraan atau pelaksanaan pilkada yang penggunaannya merupakan tanggung jawab KPU. Sedangkan seluruh kegiatan pencalonan dan kampanye merupakan tanggung jawab calon.
Dilihat jadwal dari KPU, saat ini tahapan pilkada adalah pengumpulan dukungan dari warga untuk calon perseorangan. Pada saat yang sama, partai menggalang koalisi untuk pencalonan.
Dari pilkada terdahulu, fase penggalangan partai untuk koalisi dan pencalonan ini mulai terjadi tarik-menarik mengenai calon yang akan diajukan. Di balik layar mungkin saja tak lepas dari "deal-deal" hingga pembiayaan.
Pembiayaan politik dalam pilkada inilah yang kerap menjadi sorotan publik. Itu tak lepas banyaknya kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam lima tahun terakhir saja jumlahnya mencapai ratusan, baik gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota maupun wakil wali kota. Mereka ditangkap melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) maupun penyelidikan kasus.
Baca juga: Problematika pendanaan Pilkada Serentak 2020
Baca juga: KPU Sultra memaparkan sengketa pilkada dan pemilu empat tahun terakhir
Baca juga: Bawaslu: Putusan MK beri kepastian hukum pengawasan Pilkada 2020 Persidangan kasusnya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tergambar dan terungkap kronologinya. Publik bisa membaca ulang dengan berselancar di dunia maya untuk menelisik kasus-kasus itu.
Banyak keprihatinan yang telah diungkap terkait banyaknya kepala daerah yang dalam perjalanannya memimpin harus berurusan dengan KPK. Tak sedikit pula terungkap kekecewaan masyarakat di daerah karena kepala daerahnya tersangkut kasus korupsi.
Yang kemudian muncul adalah ekspresi kecewa dan cacian dari tak sedikit masyarakat yang kepala daerahnya ditangkap KPK. Sebagian masyarakat lainnya meluapkan ekspresi kegembiraan atas penangkapan terhadap kepala daerahnya, seperti terjadi di Cianjur dan Lampung Utara, tahun lalu.
Terkait hal inipun KPK telah berulang kali mengingat kepada para calon kepala daerah agar tidak melakukan korupsi. Berdasarkan telaah terhadap banyak kasus, biaya politik pilkada berpengaruh terhadap perilaku koruptif.
Karena itu, menyongsong Pilkada Serentak 2020, kasus-kasus kepala daerah yang ditangkap KPK selayaknya menjadi perhatian serius pemerintah, DPR, DPD RI serta partai politik. Hal itu mengingat kasusnya sangat banyak.
Pilkada adalah ajang terbuka untuk mencari sosok terbaik. Bukan sosok yang akan mengecewakan warga yang memilihnya.
Siapapun tentu tidak ingin pesta demokrasi melalui pilkada tercoreng akibat adu balap (start) meraih dukungan warga dan rivalitas menuju tampuk pimpinan di daerah diwarnai hal-hal yang dapat berakhir (finish) di Gedung KPK.
Artikel
Menjaga kemuliaan demokrasi di Pilkada 2020
Oleh Sri Muryono
30 Januari 2020 23:01 WIB
Ilustrasi - Pilkada Serentak 2020. ANTARA/Kliwon
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020
Tags: