Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengajak seluruh masyarakat untuk menghapus stigma negatif serta praktik diskriminasi terhadap para penderita kusta dan keluarganya.

"Seluruh pemangku kepentingan, masyarakat dan segenap komponen bangsa perlu memahami dengan benar informasi terkait penyakit kusta sehingga stigma dan praktik diskriminasi terhadap penderita tidak terjadi lagi," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI Anung Sugihantono di Jakarta, Kamis.

Ia menjelaskan kusta merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan kuman Mycobacterium leprae dan penularannya terjadi jika bakteri itu keluar dari tubuh penderita kusta dan masuk ke tubuh orang lain melalui kontak yang lama.

Bahkan, jika penderita kusta sudah minum obat Multi Drug Therapy (MDT), secara otomatis dia tidak lagi menjadi sumber penularan kepada orang lain. Obat tersebut dapat diperoleh secara cuma-cuma di layanan kesehatan primer atau puskesmas se-Indonesia.

Di sisi lain, ia mengakui penyakit kusta hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia dan menimbulkan persoalan yang kompleks serta memerlukan perhatian semua pihak.

Selain itu, katanya, dibutuhkan kegiatan yang melibatkan tokoh masyarakat dan agama sebagai model dalam penghapusan stigma sekaligus menguatkan komitmen dalam rangka pencegahan dan pengendalian kusta.

Baca juga: Ahli: Risiko penularan kusta di lingkungan keluarga kecil

Ia mengatakan kusta tergolong kepada kelompok penyakit tropis terabaikan di Indonesia, yang paling sering bermanifestasi pada jaringan kulit dan dapat menimbulkan disabilitas jika tidak diobati dengan benar.

Secara garis besar, katanya, bakteri penyebab kusta hidup intraseluler dan mempunyai afinitas besar pada sel saraf. Bakteri itu mempunyai masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun, akan tetapi bisa juga lebih.

Terkait dengan penyakit kusta tersebut, Kemenkes RI telah melakukan sejumlah upaya promosi dan penemuan aktif, di mana jumlah kasus baru menunjukkan tren peningkatan penemuan dini sejak enam tahun terakhir.

Jika ditemukan terlambat dan tanpa penanganan tepat, katanya, penyakit kusta bisa menyebabkan kecacatan menetap. Hal itu juga berimbas terhadap timbulnya permasalahan ekonomi dan diskriminasi sosial pada penderita serta keluarganya.

"Tingginya angka cacat tingkat II pada kusta menunjukkan adanya keterlambatan dalam penemuan kasus baru. Ini mengindikasikan bahwa penularan di sekitar penderita kemungkinan telah terjadi," kata dia.

Untuk mewujudkan implementasi penanggulangan kusta secara menyeluruh, kata dia, butuh kerja sama antarkementerian dan lembaga, termasuk masyarakat, organisasi profesi, dan akademisi.

Terkait dengan Hari Kusta Sedunia 2020 yang diperingati pada Minggu terakhir Januari di seluruh negara, termasuk Indonesia, mengangkat tema nasional, "Kusta dapat dicegah dan disembuhkan".

"Ini memberikan pesan agar masyarakat segera berobat jika menemukan adanya bercak di kulit atau adanya kemungkinan kusta," katanya.

Baca juga: Kemenkes: Delapan provinsi belum eliminasi kusta
Baca juga: Kemenkes: kusta masih ditemukan di Indonesia Timur