Pemerintah diminta perhatikan Capt. Sugeng yang ditahan di Thailand
30 Januari 2020 17:06 WIB
Capt. Sugeng Wahyono, nakhoda kapal MT Celosia, berbendera Indonesia yang dioperasikan PT Brotojoyo Maritime yang jadi tahanan kota di Ranong, Thailand. (ANTARA/Erafzon Saptiyulda AS/ho dok. pribadi)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Nihayatul Wafiroh meminta pemerintah serius memperhatikan nasib pekerja migran yang tersandung perkara hukum di luar negeri, termasuk kasus yang menimpa Captain Sugeng Wahyono.
Dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis, Nihayatul menilai kasus-kasus WNI yang terjerat hukum di luar negeri harus diselesaikan dengan cepat. "Termasuk kasus yang menimpa Capt. (Captain) Sugeng Wahyono di Ranong, Thailand," ujarnya.
Capt. Sugeng adalah nakhoda kapal MT Celosia, berbendera Indonesia yang dioperasikan PT Brotojoyo Maritime. Sudah setahun lebih dia ditahan otoritas pemerintah Thailand atas dugaan penyelundupan dan sudah meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan nasibnya agar bisa dibebaskan.
Persoalan dokumen
Dari Ranong, Thailand, Sugeng Wahyono menyatakan dirinya tak bersalah. Dia ditahan karena masalah dokumen yang seharusnya diselesaikan pemilik barang.
"Saya dan kapal hanya sebagai transportasi, membawa kargo dan memastikan aman. Saya tidak bersalah. Saya bukan penyelundup. Kalau mau menyelundup, tidak mungkin dilakukan di pelabuhan milik pemerintah seperti di Ranong," kata Sugeng.
Sesuai dokumen dari perusahaan, kargo yang dibawanya saat berangkat dari Malaka, Malaysia, akan dibawa ke dua pelabuhan yakni pelabuhan Port Klang di Malaysia dan Ranong di Thailand.
"Karena kepadatan di Port Klang, maka saya diperintahkan untuk ke Ranong terlebih dahulu, mengantarkan kargo ke sana. Maka kapal ke sana duluan," kata Sugeng.
Kargonya adalah minyak pelumas Petronas untuk Schlumberger. Kapal berlabuh di Ranong pada 8 Januari sekitar pukul 23.00. Seperti biasa, agen kapal datang, menunjukkan sejumlah dokumen dan menyatakan semua sudah beres, kemudian perwakilan pemilik barang juga datang ke kapal pada 9 Januari dinihari.
"Karena pemilik barang sudah datang, dokumen ada, maka pembongkaran segera dilakukan. Truk-truk tangki juga sudah siap di dalam kawasan Bea Cukai," katanya.
Kemudian, ada masalah. Bea cukai pelabuhan datang, menghentikan proses bongkar muat. Sugeng lantas diminta menandatangani dokumen yang beraksara Thailand.
"Saya tidak mau tanda tangan, karena tidak mengerti isinya, dan tidak diberitahu soal apa," kata Sugeng sembari menyatakan langsung melapor ke perusahaan tentang situasi awal tersebut.
Dia kemudian digelandang ke kantor polisi dan dimasukkan dalam sel. Baru setelah perwakilan perusahaan memberikan jaminan, dia kemudian dijadikan tahanan kota dengan ketentuan wajib lapor.
Status sebagai tahanan kota itu hingga hari ini sudah berlangsung setahun lebih, dan perkaranya kemungkinan akan mulai disidangkan pada Februari ini.
Semula ada 17 tersangka dalam kasus itu, termasuk sopir-sopir truk, namun belakangan ini tinggal enam orang yang jadi tersangka, menunggu persidangan awal Februari nanti.
Dengan semua masalah ini, Sugeng hanya berharap bisa bebas. "Saya hanya minta dibebaskan. Saya ingin pulang," ujarnya.
Dalam rilis yang diterima di Jakarta, Kamis, Nihayatul menilai kasus-kasus WNI yang terjerat hukum di luar negeri harus diselesaikan dengan cepat. "Termasuk kasus yang menimpa Capt. (Captain) Sugeng Wahyono di Ranong, Thailand," ujarnya.
Capt. Sugeng adalah nakhoda kapal MT Celosia, berbendera Indonesia yang dioperasikan PT Brotojoyo Maritime. Sudah setahun lebih dia ditahan otoritas pemerintah Thailand atas dugaan penyelundupan dan sudah meminta Presiden Joko Widodo memperhatikan nasibnya agar bisa dibebaskan.
Persoalan dokumen
Dari Ranong, Thailand, Sugeng Wahyono menyatakan dirinya tak bersalah. Dia ditahan karena masalah dokumen yang seharusnya diselesaikan pemilik barang.
"Saya dan kapal hanya sebagai transportasi, membawa kargo dan memastikan aman. Saya tidak bersalah. Saya bukan penyelundup. Kalau mau menyelundup, tidak mungkin dilakukan di pelabuhan milik pemerintah seperti di Ranong," kata Sugeng.
Sesuai dokumen dari perusahaan, kargo yang dibawanya saat berangkat dari Malaka, Malaysia, akan dibawa ke dua pelabuhan yakni pelabuhan Port Klang di Malaysia dan Ranong di Thailand.
"Karena kepadatan di Port Klang, maka saya diperintahkan untuk ke Ranong terlebih dahulu, mengantarkan kargo ke sana. Maka kapal ke sana duluan," kata Sugeng.
Kargonya adalah minyak pelumas Petronas untuk Schlumberger. Kapal berlabuh di Ranong pada 8 Januari sekitar pukul 23.00. Seperti biasa, agen kapal datang, menunjukkan sejumlah dokumen dan menyatakan semua sudah beres, kemudian perwakilan pemilik barang juga datang ke kapal pada 9 Januari dinihari.
"Karena pemilik barang sudah datang, dokumen ada, maka pembongkaran segera dilakukan. Truk-truk tangki juga sudah siap di dalam kawasan Bea Cukai," katanya.
Kemudian, ada masalah. Bea cukai pelabuhan datang, menghentikan proses bongkar muat. Sugeng lantas diminta menandatangani dokumen yang beraksara Thailand.
"Saya tidak mau tanda tangan, karena tidak mengerti isinya, dan tidak diberitahu soal apa," kata Sugeng sembari menyatakan langsung melapor ke perusahaan tentang situasi awal tersebut.
Dia kemudian digelandang ke kantor polisi dan dimasukkan dalam sel. Baru setelah perwakilan perusahaan memberikan jaminan, dia kemudian dijadikan tahanan kota dengan ketentuan wajib lapor.
Status sebagai tahanan kota itu hingga hari ini sudah berlangsung setahun lebih, dan perkaranya kemungkinan akan mulai disidangkan pada Februari ini.
Semula ada 17 tersangka dalam kasus itu, termasuk sopir-sopir truk, namun belakangan ini tinggal enam orang yang jadi tersangka, menunggu persidangan awal Februari nanti.
Dengan semua masalah ini, Sugeng hanya berharap bisa bebas. "Saya hanya minta dibebaskan. Saya ingin pulang," ujarnya.
Pewarta: Erafzon Saptiyulda AS
Editor: Rolex Malaha
Copyright © ANTARA 2020
Tags: