Jakarta (ANTARA) - Pemerintah pusat dan daerah harus bisa lebih bersinergi dalam rangka mewujudkan Layanan Terpadu Satu Atap (LSTA) yang melibatkan pekerja migran Indonesia sebagai upaya mengembangkan kinerja SDM nasional.

Anggota Komisi IX DPR RI Darul Siska dalam rilis yang diterima di Jakarta, Senin, menekankan pentingnya evaluasi ke depan dalam rangka pelayanan yang sebaik-baiknya kepada pekerja migran Indonesia.

"Kita juga harus mengapresiasi mereka (pekerja migran Indonesia) yang bekerja untuk kehidupan mereka serta sebagai penyumbang pajak yang kontribusinya sangat besar untuk pembangunan di Tanah Air," katanya.

Politisi Partai Golkar itu mengemukakan, bila ada sejumlah hambatan yang dialami pemda terkait dengan LSTA pekerja migran Indonesia maka harus dapat dibicarakan dengan baik bersama pemerintah pusat.

Baca juga: Pekerja migran Indonesia perlu manfaatkan momentum demografi

Ia menuturkan, perlunya perhatian dari berbagai instansi terkait agar tidak ada lagi kekurangan SDM yang bisa menjadi faktor terhambatnya LSTA.

Sebagaimana diketahui, LTSA bertujuan untuk memudahkan bagi para Pekerja Migran Indonesia (PMI), khususnya untuk mengurus persyaratan ketika akan bekerja di luar negeri, termasuk paspor, dalam satu tempat, agar mereka bisa cepat untuk memenuhi persyaratan yang dibutuhkan.

Sebelumnya, Pemerintah perlu untuk segera membuat regulasi atau peraturan turunan dari UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia sebagai upaya untuk memperkuat perlindungan pekerja WNI yang bekerja di luar negeri, mulai dari sebelum keberangkatan hingga kembali.

"Dengan menandatangani ASEAN Consensus, pemerintah perlu mengimplementasikan nilai-nilai yang menjadi poin penting dalam kesepatan ini ke dalam UU PPMI. Contohnya saja soal penguatan kapasitas pekerja, lalu mengenai penyederhanaan proses pendaftaran dan keberangkatan para pekerja migran ke negara tujuan juga hak dari keluarga pekerja migran," kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan di Jakarta, Kamis.

Menurut Pingkan, peraturan turunan dari UU Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI) mendesak untuk dikeluarkan dalam rangka melindungi pekerja migran serta memperkuat Kesepakatan Perlindungan Pekerja Migran ASEAN atau ASEAN Consensus on the Protection and Promotion of the Rights of Migrant Workers yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN di Filipina, pada 2017 lalu.

Poin penting lainnya yang juga perlu diintegrasikan ke dalam UU PPMI, masih menurut dia, adalah mengenai hak-hak pekerja migran. Hak pekerja migran yang diatur dalam ASEAN Consensus adalah mengenai hak wajib memegang paspor, hak mendapatkan perlakukan dan penghasilan yang adil di lingkungan kerja, hak untuk berkomunikasi dan bergerak bebas, hak untuk berpartisipasi pada asosiasi maupun serikat pekerja di negara penerima, hak untuk mengajukan kasus apabila terjadi pelanggaran kontrak kerja serta hak untuk menerima kunjungan dari keluarga.

Pemerintah juga dinilai telah memiliki komitmen internasional dalam Global Compact for Migration yang disepakati oleh negara-negara anggota PBB pada akhir tahun 2018 silam.

"Masih diperlukan peraturan turunan yang lebih teknis untuk dapat mengawal praktik di lapangan. Beberapa di antaranya menyangkut proses pendataan Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) dan PMI, sistem pengiriman, pengawasan dan juga perlindungan pekerja migran di negara tujuan. Dengan adanya pembenahan regulasi, diharapkan para CPMI maupun PMI yang akan bekerja di luar negeri akan menempuh tahapan yang legal," katanya.

Pingkan berpendapat bahwa pendataan prakeberangkatan, perlindungan dan penempatan pekerja migran juga seharusnya diperkuat sebagai bentuk pencegahan terhadap adanya potensi kekerasan yang terjadi pada mereka.

Baca juga: BP Jamsostek beri santunan kepada mantan pekerja migran Indonesia

Baca juga: Menaker buat skema pelatihan untuk calon pekerja migran