YLKI minta masyarakat bijak manfaatkan pinjaman online
27 Januari 2020 14:32 WIB
Ekonom Bank BNI, Ryan Kiryanto memberikan penjelasan mengenai pentingnya masyarakat mempelajari klausul sebelum mengajukan pinjaman online. ANTARA/Ganet Dirgantoro/pri.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi minta agar masyarakat lebih bijak lagi dalam memanfaatkan pinjaman online agar tidak terjebak kredit macet.
"Pengaduan yang masuk baik di Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) maupun YLKI tahun 2019 sebanyak 46,9 persen merupakan jasa keuangan, dalam hal ini pinjaman online," kata Tulus di Jakarta, Senin, dalam Forum Group Diskusi bertajuk "Dewasa dalam Menyikapi Pinjaman Online".
Tulus berpandangan kemajuan teknologi digital saat ini tidak dibarengi dengan pengetahuan masyarakat terlihat dari indeks kepercayaan konsumen dan literasi digital yang masih rendah.
Tren saat ini masyarakat cenderung setuju saja dengan pinjaman yang diberikan tanpa memperhatikan klausul yang terdapat dalam pinjaman online sehingga saat terjadi masalah mereka berada di pihak yang lemah, jelas Tulus.
"Akibat pinjaman online ini banyak kasus mulai dari bunuh diri bahkan keretakan rumah tangga," ujarnya.
YLKI mengharapkan pemerintah segera menerbitkan undang-undang yang mengatur data pribadi agar masyarakat dapat terlindungi dengan banyaknya perusahaan yang bergerak dibidang pinjaman online.
Baca juga: OJK ingatkan masyarakat bijak manfaatkan pinjaman online
Baca juga: OJK: Bunga pinjaman online tidak lebih dari 0,8 persen
Sedangkan Ketua Harian Asosiasi Fintech Lending Indonesia (AFLI), Kuseryansyah mengatakan pesatnya pertumbuhan fintech di Indonesia akibat tingginya kesenjangan kredit dari perbankan.
Dia menjelaskan dari Rp1.600 triliun kebutuhan kredit di masyarakat hanya Rp600 Triliun yang dapat terlayani, sedangkan sisanya Rp1.000 triliun belum bankable hal ini yang membuat fintech tumbuh pesat dalam tiga bulan terakhir.
Kesenjangan ini, akibat ketatnya syarat mendapatkan pinjaman bank sedangkan untuk Fintech dengan inovasi di bidang teknologi data maka mampu menyisir masyarakat yang memang belum tersentuh perbankan (unbankable).
"Kalau di tahun 2017 baru tujuh platform lending yang teregister, maka saat ini jumlahnya mencapai 164 platform, dari jumlah tersebut 24 yang sudah mendapatkan izin sedangkan sisanya masih dalam proses," ujar dia.
Kuseryansyah juga menyampaikan tahun 2019 tercatat 170 juta permohonan pinjaman, namun yang belum terlayani mencapai 70 juta ini yang dilayani fintech, permasalahannya fintech yang ilegal juga masuk ke sana.
Baca juga: Masyarakat perlu cermati legalitas perusahaan pemberi pinjaman daring
Sedangkan Ekonom Bank BNI, Ryan Kiryanto mengatakan kehadiran fintech saat ini tidak terbendung lagi dengan masuknya Indonesia ke dalam ekonomi digital
Apalagi, tambahnya, dengan teknologi kecerdasan buatan yang dimiliki perusahaan Fintech masyarakat dimudahkan untuk mendapatkan dana, sehingga di sini pentingnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat untuk pinjaman semacam ini.
Ryan melihat ke depannya justru akan terjadi kerja sama antara perusahaan Fintech dengan perbankan, apalagi saat ini sebanyak 75 persen perbankan sudah masuk ke dalam layanan digital.
"Apalagi dengan ponsel pintar saat ini aplikasi kredit dengan mudah diunggah dan dana dapat dengan cepat diperoleh. Perubahan sudah demikian cepat. Otoritas harus bisa mengantisipasi hal itu," katanya.
Baca juga: PPATK targetkan peraturan fintech wajib lapor bakal selesai 2020
Baca juga: Satgas Waspada Investasi: Baru 127 pinjaman "online" legal
"Pengaduan yang masuk baik di Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) maupun YLKI tahun 2019 sebanyak 46,9 persen merupakan jasa keuangan, dalam hal ini pinjaman online," kata Tulus di Jakarta, Senin, dalam Forum Group Diskusi bertajuk "Dewasa dalam Menyikapi Pinjaman Online".
Tulus berpandangan kemajuan teknologi digital saat ini tidak dibarengi dengan pengetahuan masyarakat terlihat dari indeks kepercayaan konsumen dan literasi digital yang masih rendah.
Tren saat ini masyarakat cenderung setuju saja dengan pinjaman yang diberikan tanpa memperhatikan klausul yang terdapat dalam pinjaman online sehingga saat terjadi masalah mereka berada di pihak yang lemah, jelas Tulus.
"Akibat pinjaman online ini banyak kasus mulai dari bunuh diri bahkan keretakan rumah tangga," ujarnya.
YLKI mengharapkan pemerintah segera menerbitkan undang-undang yang mengatur data pribadi agar masyarakat dapat terlindungi dengan banyaknya perusahaan yang bergerak dibidang pinjaman online.
Baca juga: OJK ingatkan masyarakat bijak manfaatkan pinjaman online
Baca juga: OJK: Bunga pinjaman online tidak lebih dari 0,8 persen
Sedangkan Ketua Harian Asosiasi Fintech Lending Indonesia (AFLI), Kuseryansyah mengatakan pesatnya pertumbuhan fintech di Indonesia akibat tingginya kesenjangan kredit dari perbankan.
Dia menjelaskan dari Rp1.600 triliun kebutuhan kredit di masyarakat hanya Rp600 Triliun yang dapat terlayani, sedangkan sisanya Rp1.000 triliun belum bankable hal ini yang membuat fintech tumbuh pesat dalam tiga bulan terakhir.
Kesenjangan ini, akibat ketatnya syarat mendapatkan pinjaman bank sedangkan untuk Fintech dengan inovasi di bidang teknologi data maka mampu menyisir masyarakat yang memang belum tersentuh perbankan (unbankable).
"Kalau di tahun 2017 baru tujuh platform lending yang teregister, maka saat ini jumlahnya mencapai 164 platform, dari jumlah tersebut 24 yang sudah mendapatkan izin sedangkan sisanya masih dalam proses," ujar dia.
Kuseryansyah juga menyampaikan tahun 2019 tercatat 170 juta permohonan pinjaman, namun yang belum terlayani mencapai 70 juta ini yang dilayani fintech, permasalahannya fintech yang ilegal juga masuk ke sana.
Baca juga: Masyarakat perlu cermati legalitas perusahaan pemberi pinjaman daring
Sedangkan Ekonom Bank BNI, Ryan Kiryanto mengatakan kehadiran fintech saat ini tidak terbendung lagi dengan masuknya Indonesia ke dalam ekonomi digital
Apalagi, tambahnya, dengan teknologi kecerdasan buatan yang dimiliki perusahaan Fintech masyarakat dimudahkan untuk mendapatkan dana, sehingga di sini pentingnya pemahaman dan pengetahuan masyarakat untuk pinjaman semacam ini.
Ryan melihat ke depannya justru akan terjadi kerja sama antara perusahaan Fintech dengan perbankan, apalagi saat ini sebanyak 75 persen perbankan sudah masuk ke dalam layanan digital.
"Apalagi dengan ponsel pintar saat ini aplikasi kredit dengan mudah diunggah dan dana dapat dengan cepat diperoleh. Perubahan sudah demikian cepat. Otoritas harus bisa mengantisipasi hal itu," katanya.
Baca juga: PPATK targetkan peraturan fintech wajib lapor bakal selesai 2020
Baca juga: Satgas Waspada Investasi: Baru 127 pinjaman "online" legal
Pewarta: Ganet Dirgantara
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2020
Tags: