Jakarta (ANTARA) - Permasalahan gizi di Indonesia tidak hanya perihal kekurangan atau kelebihan gizi tapi juga kini terdapat masalah gizi mikro yang harus menjadi perhatian, ujar peneliti gizi A. A. Sagung Indriani Oka.

"Kalau dulu itu kita mengenal kurang gizi dan gizi buruk, tapi sebenarnya tren di Indonesia ini juga sudah mulai banyak yang gizi lebih atau obesitas. Tetapi ternyata hasil banyak studi tidak hanya itu tapi juga ada yang namanya kekurangan zat gizi mikro," kata peneliti Southeast Asian Ministers of Education Organization Regional Center for Food and Nutrition (SEAMEO RECFON) itu ketika dihubungi di Jakarta pada Kamis.

Mikronutrien atau zat gizi mikro adalah zat gizi yang dibutuhkan manusia dengan jumlah sedikit. Tapi, zat-zat itu mempunyai peran yang sangat penting dalam pembentukan hormon, aktivitas enzim serta mengatur fungsi sistem imun dan sistem reproduksi. Beberapa contoh zat gizi mikro adalah vitamin A, yodium, besi dan seng (zinc).

Orang-orang yang mengalami kekurangan zat gizi mikro, kata Indri, bisa saja terlihat sehat serta tidak terlalu kurus ataupun gemuk. Tapi ternyata mereka menderita anemia atau kekurangan kalsium.

Jadi jika dulu permasalahan Indonesia adalah masalah gizi ganda yaitu kekurangan gizi dan obesitas maka sekarang terdapat triple burden malnutrion.

Gizi mikro sangat penting dan bahkan dapat juga mempengaruhi potensi seorang ibu melahirkan anak stunting.

Menurut data Kementerian Kesehatan, sekitar lima dari 10 ibu hamil atau 48,6 persen di Indonesia yang mengalami anemia atau kurang darah berpotensi melahirkan anak stunting.

Direktur Gizi Masyarakat Kemenkes Dhian Probhyoekti mengajurkan ibu hamil untuk mengonsumsi tablet penambah darah yang berisi suplmen gizi mikro berupa zat besi dan asam folat.

Hal itu perlu dilakukan karena jika hampir setengah dari ibu hamil Indonesia mengalami anemia, maka hampir separuh anak Indonesia yang akan menjadi generasi masa depan berpotensi mengalami stunting.

"Generasi yang stunting pasti bukan generasi pemimpin, dia generasi pekerja yang harus disuruh dulu baru bekerja. Ekonomi kita akan segitu-gitu saja, negara kita bukan sebagai pemimpin tapi sebagai pekerja," kata Dhian di Jakarta.