Apindo catat barang impor naik 197 persen pada 2019
23 Januari 2020 14:44 WIB
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani (tengah) di Kantor Apindo Jakarta, Kamis. (Mentari Dwi Gayati)
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat jumlah barang impor yang masuk ke wilayah Indonesia selain Batam, Kepulauan Riau, sepanjang 2019 mencapai 57,9 juta paket, atau melonjak drastis sekitar 197 persen dibanding 2018.
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengungkapkan bahwa jumlah barang kiriman impor pada 2017 tercatat hanya 6,1 juta paket, kemudian pada 2018 melonjak menjadi 19,5 juta paket.
"Ini yang kami khawatirkan mulai mengganggu UMKM kita, termasuk perajin. Oleh karena itu, kami memang meminta pemerintah untuk membuat tingkat kompetisi yang adil," kata Hariyadi pada konferensi pers di Kantor Apindo Jakarta, Kamis.
Baca juga: China jadi pemasok barang impor terbesar ke Indonesia sepanjang 2019
Hariyadi menilai pertumbuhan jumlah barang kiriman impor ini normalnya hanya sebesar 5 persen per tahun. Artinya, jumlah barang kiriman sepanjang 2019 seharusnya hanya mencapai 7,5-8 juta paket, jika melihat data jumlah 2017 dan 2018.
Dengan data faktual barang kiriman yang masuk sebesar 57,9 juta paket atau dibulatkan menjadi 58 juta paket, kemudian dikurangi data perkiraan normal sebesar 8 juta paket, artinya ada 50 juta paket yang berpotensi merugikan pengusaha atau perajin dalam negeri.
Bea Cukai menetapkan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dikenakan sebesar 75 dolar AS per kiriman. Dengan demikian, potensi kerugian dari 50 juta paket yang tidak terkena bea masuk, yakni sebesar 3,75 miliar dolar AS atau sekitar Rp51,1 triliun.
"Kalau mau dihitung, kita asumsikan 50 juta kiriman dikalikan 75 dolar AS. Itulah potensi yang selama ini hilang. 'Impact' nya seharusnya dinikmati industri dalam negeri," kata dia.
Oleh karena itu, Apindo mendukung langkah pemerintah yang menetapkan ketentuan impor terbaru dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.04/2019 yang akan mulai berlaku pada 30 Januari 2020.
Dalam aturan ini, Bea Cukai menyesuaikan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari sebelumnya 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS per kiriman. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal. Pemerintah juga merasionalisasi tarif dari semula berkisar 27,5 persen--37,5 persen menjadi 17,5 persen.
Baca juga: Pemerintah tetapkan aturan baru bea masuk impor per 30 Januari 2020
Meskipun bea masuk terhadap barang kiriman dikenakan tarif tunggal, pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap masukan yang disampaikan oleh perajin dan produsen barang-barang yang banyak digemari dan banjir dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan produk tas, sepatu, dan garmen dalam negeri tidak laku.
Beberapa sentra kerajinan tas dan sepatu gulung tikar dan hanya menjual produk-produk luar negeri.
Melihat dampak yang disebabkan dari menjamurnya produk-produk tersebut, untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen, pemerintah menetapkan tarif normal yaitu bea masuk sebesar 15-20 persen untuk tas, 25-30 persen untuk sepatu, dan 15-25 persen untuk produk tekstil.
Penetapan tarif normal ini demi melindungi industri dalam negeri yang mayoritas berasal dari IKM.
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengungkapkan bahwa jumlah barang kiriman impor pada 2017 tercatat hanya 6,1 juta paket, kemudian pada 2018 melonjak menjadi 19,5 juta paket.
"Ini yang kami khawatirkan mulai mengganggu UMKM kita, termasuk perajin. Oleh karena itu, kami memang meminta pemerintah untuk membuat tingkat kompetisi yang adil," kata Hariyadi pada konferensi pers di Kantor Apindo Jakarta, Kamis.
Baca juga: China jadi pemasok barang impor terbesar ke Indonesia sepanjang 2019
Hariyadi menilai pertumbuhan jumlah barang kiriman impor ini normalnya hanya sebesar 5 persen per tahun. Artinya, jumlah barang kiriman sepanjang 2019 seharusnya hanya mencapai 7,5-8 juta paket, jika melihat data jumlah 2017 dan 2018.
Dengan data faktual barang kiriman yang masuk sebesar 57,9 juta paket atau dibulatkan menjadi 58 juta paket, kemudian dikurangi data perkiraan normal sebesar 8 juta paket, artinya ada 50 juta paket yang berpotensi merugikan pengusaha atau perajin dalam negeri.
Bea Cukai menetapkan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dikenakan sebesar 75 dolar AS per kiriman. Dengan demikian, potensi kerugian dari 50 juta paket yang tidak terkena bea masuk, yakni sebesar 3,75 miliar dolar AS atau sekitar Rp51,1 triliun.
"Kalau mau dihitung, kita asumsikan 50 juta kiriman dikalikan 75 dolar AS. Itulah potensi yang selama ini hilang. 'Impact' nya seharusnya dinikmati industri dalam negeri," kata dia.
Oleh karena itu, Apindo mendukung langkah pemerintah yang menetapkan ketentuan impor terbaru dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK 199/PMK.04/2019 yang akan mulai berlaku pada 30 Januari 2020.
Dalam aturan ini, Bea Cukai menyesuaikan nilai pembebasan bea masuk atas barang kiriman dari sebelumnya 75 dolar AS menjadi 3 dolar AS per kiriman. Sedangkan pungutan pajak dalam rangka impor (PDRI) diberlakukan normal. Pemerintah juga merasionalisasi tarif dari semula berkisar 27,5 persen--37,5 persen menjadi 17,5 persen.
Baca juga: Pemerintah tetapkan aturan baru bea masuk impor per 30 Januari 2020
Meskipun bea masuk terhadap barang kiriman dikenakan tarif tunggal, pemerintah menaruh perhatian khusus terhadap masukan yang disampaikan oleh perajin dan produsen barang-barang yang banyak digemari dan banjir dari luar negeri. Hal ini mengakibatkan produk tas, sepatu, dan garmen dalam negeri tidak laku.
Beberapa sentra kerajinan tas dan sepatu gulung tikar dan hanya menjual produk-produk luar negeri.
Melihat dampak yang disebabkan dari menjamurnya produk-produk tersebut, untuk komoditi tas, sepatu, dan garmen, pemerintah menetapkan tarif normal yaitu bea masuk sebesar 15-20 persen untuk tas, 25-30 persen untuk sepatu, dan 15-25 persen untuk produk tekstil.
Penetapan tarif normal ini demi melindungi industri dalam negeri yang mayoritas berasal dari IKM.
Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2020
Tags: