Penambahan batas usia menikahi anak, CHA Busra: Tidak perlu
22 Januari 2020 13:40 WIB
Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Mahesa saat memimpin Rapat Uji Kepatutan dan Kelayakan Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung untuk Kamar Agama H. Busra di Kompleks Parlemen RI Jakarta, Rabu (22/1/2020). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Calon Hakim Agung (CHA) untuk kamar agama H. Busra diuji pandangannya olehKomisi III DPR RIterkait revisi Undang-Undang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang diketuk palu pada 16 September 2019 tersebut mengatur penambahan batas usia menikahi anak dari batas minimal 16 tahun menjadi minimal 19 tahun.
"Masalah sensitivitas (Hakim Agung dan Hakim Agama) yang dipertanyakan. Padahal ini berkaitan dengan urusan umat," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Mahesa saat memimpin rapat uji kepatutan dan kelayakan CHA dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung di Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Rabu.
Baca juga: Komisi III gelar uji kelayakan CHA dan Hakim Ad Hoc
Baca juga: Komisi III DPR hati-hati lakukan uji kelayakan CHA
Menanggapi pertanyaan dari Komisi III DPR RI, Busra menjelaskan bahwa sejatinya ada sensitivitas Mahkamah Agung terkait permasalahan syarat minimal usia pernikahan anak tersebut.
"Diskusi-diskusi di Mahkamah Agung, tulisan-tulisan oleh Hakim-Hakim Muda, sebetulnya banyak sekali tentang itu," kata Busra.
Busra mengatakan sejak disahkannya UU 16/2019 yang memperbarui syarat minimal usia pernikahan yang terdapat pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berimplikasi pada intensitas perkara dispensasi usia perkawinan yang semakin meningkat.
Busra mengatakan aturan menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun dari persyaratan awal minimal 16 tahun bagi pihak perempuan memang ada maslahatnya, namun juga harus disaring lagi untuk perkara dispensasi usia perkawinan.
"Di intern Mahkamah Agung juga sudah mengeluarkan aturan yang khusus, berupa Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2019, yang mengatur sedemikian rupa sehingga pengujian kepantasan orang diberikan dispensasi kawin juga dilakukan," kata Busra.
Ia pun menambahkan jika dulu ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa menaikkan batas usia perkawinan itu tidak perlu.
Baca juga: Calon Hakim Ad Hoc Ansori setuju hukuman mati bagi koruptor
Baca juga: CHA Soesilo komitmen buat putusan tidak terpengaruh tekanan publik
Mengacu pada Putusan MK tersebut, ia mengatakan bisa dianggap juga sebagai pertimbangan Mahkamah Agung.
Dalam Putusan MK pada 2018 lalu, menyatakan frasa usia 16 tahun pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan UU nomor 23 tahun 2002 Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak menyatakan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan usia perkawinan untuk perempuan. Sebab, hal tersebut menjadi kewenangan lembaga pembentuk UU (DPR). Mahkamah Konstitusi menyebut pihaknya memberikan tenggang waktu paling lama tiga tahun kepada DPR untuk mengubah ketentuan batas usia perkawinan.
Baca juga: KY bahas seleksi calon hakim agung dan ad hoc dengan MA
Baca juga: DPR anggap KY kurang transparan seleksi calon hakim agung
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 yang diketuk palu pada 16 September 2019 tersebut mengatur penambahan batas usia menikahi anak dari batas minimal 16 tahun menjadi minimal 19 tahun.
"Masalah sensitivitas (Hakim Agung dan Hakim Agama) yang dipertanyakan. Padahal ini berkaitan dengan urusan umat," ujar Wakil Ketua Komisi III DPR RI Desmond Mahesa saat memimpin rapat uji kepatutan dan kelayakan CHA dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung di Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Rabu.
Baca juga: Komisi III gelar uji kelayakan CHA dan Hakim Ad Hoc
Baca juga: Komisi III DPR hati-hati lakukan uji kelayakan CHA
Menanggapi pertanyaan dari Komisi III DPR RI, Busra menjelaskan bahwa sejatinya ada sensitivitas Mahkamah Agung terkait permasalahan syarat minimal usia pernikahan anak tersebut.
"Diskusi-diskusi di Mahkamah Agung, tulisan-tulisan oleh Hakim-Hakim Muda, sebetulnya banyak sekali tentang itu," kata Busra.
Busra mengatakan sejak disahkannya UU 16/2019 yang memperbarui syarat minimal usia pernikahan yang terdapat pada Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, berimplikasi pada intensitas perkara dispensasi usia perkawinan yang semakin meningkat.
Busra mengatakan aturan menaikkan batas usia perkawinan menjadi 19 tahun dari persyaratan awal minimal 16 tahun bagi pihak perempuan memang ada maslahatnya, namun juga harus disaring lagi untuk perkara dispensasi usia perkawinan.
"Di intern Mahkamah Agung juga sudah mengeluarkan aturan yang khusus, berupa Peraturan MA Nomor 5 Tahun 2019, yang mengatur sedemikian rupa sehingga pengujian kepantasan orang diberikan dispensasi kawin juga dilakukan," kata Busra.
Ia pun menambahkan jika dulu ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa menaikkan batas usia perkawinan itu tidak perlu.
Baca juga: Calon Hakim Ad Hoc Ansori setuju hukuman mati bagi koruptor
Baca juga: CHA Soesilo komitmen buat putusan tidak terpengaruh tekanan publik
Mengacu pada Putusan MK tersebut, ia mengatakan bisa dianggap juga sebagai pertimbangan Mahkamah Agung.
Dalam Putusan MK pada 2018 lalu, menyatakan frasa usia 16 tahun pada UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan UU nomor 23 tahun 2002 Perlindungan Anak. Dalam UU Perlindungan Anak menyatakan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan.
Mahkamah Konstitusi tidak memberikan batasan usia perkawinan untuk perempuan. Sebab, hal tersebut menjadi kewenangan lembaga pembentuk UU (DPR). Mahkamah Konstitusi menyebut pihaknya memberikan tenggang waktu paling lama tiga tahun kepada DPR untuk mengubah ketentuan batas usia perkawinan.
Baca juga: KY bahas seleksi calon hakim agung dan ad hoc dengan MA
Baca juga: DPR anggap KY kurang transparan seleksi calon hakim agung
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020
Tags: