PDPI: WHO-FDA tidak rekomendasikan penggunaan rokok elektronik
16 Januari 2020 15:08 WIB
Petugas memusnahkan barang bukti rokok ilegal di Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean A Denpasar, Bali, Rabu (13/11/2019). Bea dan Cukai Denpasar memusnahkan berbagai Barang Milik Negara hasil penindakan periode Januari-Agustus 2019 seperti 626 botol Minuman Mengandung Etil Alkohol (MMEA), 328.908 batang rokok, 157 botol cairan rokok elektronik, 741 unit alat kesehatan dan 1.369 produk kosmetik dengan total kerugian negara sekitar Rp1,3 miliar. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf (ANTARA FOTO/FIKRI YUSUF)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Agus Dwi Susanto mengatakan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) maupun Administrasi Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat tidak merekomendasikan rokok elektronik untuk terapi berhenti merokok karena belum terbukti efektif.
"WHO maupun FDA tidak merekomendasikan dengan alasan efektivitas. Rokok elektronik tidak efektif dan tidak memenuhi persyaratan sebagai modalitas berhenti merokok," kata Agus di Jakarta, Kamis.
Agus mengatakan untuk menjadi modalitas untuk digunakan sebagai terapi berhenti merokok ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi rokok elektronik dan sebagian besar diantaranya tidak dapat dipenuhi.
Untuk menjadi modalitas terapi berhenti merokok, rokok elektronik tidak boleh meningkatkan risiko penyakit. Syarat tersebut tidak terpenuhi karena rokok elektronik terbukti mengandung nikotin, zat-zat karsinogen, dan racun.
Baca juga: Komnas PT: Klaim rokok elektronik lebih aman sudah terbantahkan
Baca juga: Kemenkes: Pemahaman yang salah soal rokok elektronik perlu diluruskan
Baca juga: Pemerintah didorong larang peredaran rokok elektronik
Syarat lainnya adalah penggunaan sebagai terapi berhenti merokok harus melalui pengawasan penuh. Hal itu lagi-lagi tidak dipenuhi rokok elektronik karena penggunanya bisa menggunakan tanpa pengawasan bahkan semaunya.
"Ketika dipakai sebagai modalitas berhenti merokok dan dikatakan berhasil, juga harus memenuhi syarat berhenti dari penggunaan modalitas tersebut. Namun, nyatanya rokok elektronik tetap digunakan, hanya pengalihan dari rokok biasa," tuturnya.
Agus juga menyoroti fenomena penolakan hasil-hasil penelitian dari luar negeri tentang dampak buruk rokok elektronik. Agus mengatakan sejumlah penelitian sudah dilakukan di Indonesia dan menemukan bahwa rokok elektronik sama bahayanya dengan rokok biasa.
"Penelitian di Rumah Sakit Persahabatan pada 2018 menemukan kandungan nikotin dalam urine pengguna rokok elektronik dengan rokok biasa tidak berbeda atau hampir sama. Itu baru dalam urine, belum pada darah," katanya.
Selain itu, penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga terhadap binatang percobaan yang dipaparkan asap rokok biasa dan uap rokok elektronik juga menemukan tidak ada perbedaan dampak terhadap binatang percobaan yang dipapari kedua produk tersebut.*
Baca juga: Karbon monoksida dalam rokok ganggu penyaluran oksigen ke otak
Baca juga: Koalisi bebas tar cegah pembeli vape di bawah umur
Baca juga: Dukungan vs penolakan pelarangan rokok elektronik
"WHO maupun FDA tidak merekomendasikan dengan alasan efektivitas. Rokok elektronik tidak efektif dan tidak memenuhi persyaratan sebagai modalitas berhenti merokok," kata Agus di Jakarta, Kamis.
Agus mengatakan untuk menjadi modalitas untuk digunakan sebagai terapi berhenti merokok ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi rokok elektronik dan sebagian besar diantaranya tidak dapat dipenuhi.
Untuk menjadi modalitas terapi berhenti merokok, rokok elektronik tidak boleh meningkatkan risiko penyakit. Syarat tersebut tidak terpenuhi karena rokok elektronik terbukti mengandung nikotin, zat-zat karsinogen, dan racun.
Baca juga: Komnas PT: Klaim rokok elektronik lebih aman sudah terbantahkan
Baca juga: Kemenkes: Pemahaman yang salah soal rokok elektronik perlu diluruskan
Baca juga: Pemerintah didorong larang peredaran rokok elektronik
Syarat lainnya adalah penggunaan sebagai terapi berhenti merokok harus melalui pengawasan penuh. Hal itu lagi-lagi tidak dipenuhi rokok elektronik karena penggunanya bisa menggunakan tanpa pengawasan bahkan semaunya.
"Ketika dipakai sebagai modalitas berhenti merokok dan dikatakan berhasil, juga harus memenuhi syarat berhenti dari penggunaan modalitas tersebut. Namun, nyatanya rokok elektronik tetap digunakan, hanya pengalihan dari rokok biasa," tuturnya.
Agus juga menyoroti fenomena penolakan hasil-hasil penelitian dari luar negeri tentang dampak buruk rokok elektronik. Agus mengatakan sejumlah penelitian sudah dilakukan di Indonesia dan menemukan bahwa rokok elektronik sama bahayanya dengan rokok biasa.
"Penelitian di Rumah Sakit Persahabatan pada 2018 menemukan kandungan nikotin dalam urine pengguna rokok elektronik dengan rokok biasa tidak berbeda atau hampir sama. Itu baru dalam urine, belum pada darah," katanya.
Selain itu, penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga terhadap binatang percobaan yang dipaparkan asap rokok biasa dan uap rokok elektronik juga menemukan tidak ada perbedaan dampak terhadap binatang percobaan yang dipapari kedua produk tersebut.*
Baca juga: Karbon monoksida dalam rokok ganggu penyaluran oksigen ke otak
Baca juga: Koalisi bebas tar cegah pembeli vape di bawah umur
Baca juga: Dukungan vs penolakan pelarangan rokok elektronik
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020
Tags: