Jakarta (ANTARA) - Rekomendasi Komisi IX DPR terkait subsidi peserta mandiri kelas III Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan menggunakan surplus atau kelebihan dana dari iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) tahun 2020 dinilai berpotensi melanggar hukum sesuai perundang-undangan, kata akademisi.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas (Unand) Padang Feri Amsari di Jakarta, Rabu, menegaskan bahwa rekomendasi tersebut bertentangan dengan sejumlah undang-undang yang berlaku dan bisa menimbulkan pelanggaran hukum bila tetap dilaksanakan.
"BPJS Kesehatan bisa melakukan perbuatan melawan hukum. Sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan oleh BPJS, malah dilakukan oleh BPJS," kata Feri.
Sebelumnya pada rapat dengar pendapat antara kementerian-lembaga terkait penyelenggaraan JKN dengan Komisi IX DPR pada 12 Desember 2019 menghasilkan beberapa simpulan rekomendasi.
Salah satu rekomendasinya adalah memanfaatkan adanya potensi surplus keuangan BPJS Kesehatan akibat dampak kenaikan iuran pada 2020 sebagai subsidi untuk membayar selisih iuran peserta mandiri kelas III.
Rekomendasi tersebut bertujuan untuk mengalihkan potensi dana yang surplus dari iuran peserta PBI yang dibayarkan pemerintah melalui APBN sebesar Rp42 ribu per orang, digunakan untuk menyubsidi iuran peserta mandiri kelas III sehingga peserta mandiri yaitu segmen Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja kelas III tidak mengalami kenaikan iuran menjadi Rp42 ribu melainkan tetap Rp25 ribu per bulan lantaran telah disubsidi.
Namun berdasarkan sejumlah regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan JKN, tidak ada ketentuan yang mengatur tentang mengalihkan potensi surplus sebagai subsidi untuk membayar selisih iuran peserta mandiri kelas III.
Ketentuan itu, baik itu UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS tidak mengatur mengenai adanya pengalihan dana surplus yang dimiliki BPJS Kesehatan untuk menutupi sebagian iuran peserta.
Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) Universitas Jember Bayu Dwi Anggono menyatakan berdasarkan regulasi yang ada bahwa direksi BPJS Kesehatan tidak memiliki fungsi dan wewenang untuk membuat ketentuan mengenai hal tersebut karena tidak diatur dalam undang-undang.
Namun apabila direksi memaksa membuat aturan tersebut demi menjalankan rekomendasi Komisi IX DPR, direksi BPJS Kesehatan dinilai telah menyalahgunakan wewenang dikarenakan melakukan hal terkait program JKN yang di luar ketentuan undang-undang.
Hal itu menimbulkan implikasi kepada direksi yaitu sanksi administratif ataupun sanksi pidana dengan hukuman maksimal delapan tahun penjara. Jika nantinya BPJS Kesehatan mengalami kerugian atas tindakan direksi yang menuruti rekomendasi Komisi IX DPR RI, sebanyak delapan orang direksi BPJS Kesehatan harus bertanggung jawab mengembalikan kerugian tersebut kepada negara.
Feri Amsari menambahkan bahwa uang iuran yang didapat oleh BPJS Kesehatan dari peserta JKN merupakan uang yang bersumber dari publik sehingga penggunaan dana surplus dari hasil iuran BPJS Kesehatan diatur dengan sangat ketat melalui undang-undang yang berlaku.
Ia menyebut rekomendasi Komisi IX DPR RI terkait penggunaan dana surplus BPJS Kesehatan dari kenaikan iuran untuk subsidi peserta kelas III tersebut di luar ketentuan undang-undang yang berlaku.
"Tidak mungkin BPJS Kesehatan menggunakan dana JKN, yang merupakan dana amanat dari peserta tanpa ada peraturan," demikian Feri Amsari.
Baca juga: BPJS Kesehatan sebut pemberlakuan kenaikan iuran udah sesuai regulasi
Baca juga: Ahli sebut rekomendasi DPR soal iuran peserta mandiri BPJS tak logis
Baca juga: Komisi IX DPR akan kirim rekomendasi soal BPJS ke presiden
Baca juga: Anggota DPR mendorong pembentukan Pansus BPJS Kesehatan
Rekomendasi DPR soal subsidi iuran JKN berpotensi melanggar hukum
15 Januari 2020 21:12 WIB
Ilustrasi - Aplikasi Mobile JKN. ANTARA/Dokumen BPJS Kesehatan.
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2020
Tags: