KY dinilai defensif dalam rapat konsultasi dengan Komisi III DPR
15 Januari 2020 18:03 WIB
Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan keluar dari ruang rapat komisi III DPR RI saat rapat konsultasi dengan Komisi Yudisial di Gedung Nusantara II Kompleks Parlemen RI Senayan Jakarta, Rabu (15/1/2020). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mencecar ketua dan anggota Komisi Yudisial (KY) dengan sejumlah pertanyaan mengenai seleksi calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung di ruang rapat Komisi III DPR RI Senayan Jakarta, Rabu.
Namun, pernyataan yang keluar dari para Ketua Komisi Yudisial tidak menjawab substansi pertanyaan oleh Komisi III DPR RI sehingga muncul protes yang salah satunya keluar dari anggota Komisi III DPRArteria Dahlan.
"Pak Ketua, jawaban pertanyaannya selalu defensif. Ini saya katakan diskusinya sudah tidak sehat. Padahal saya menyarankan kepada pak Ketua, kita harus bicara dari hati ke hati supaya ini (bisa) di-breakdown dulu," kata Arteria dalam rapat konsultasi dengan Komisi Yudisial.
Baca juga: DPR terima usulan CHA dan Hakim Ad Hoc
Arteria merujuk pertanyaan anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman tentang siapa orang yang menentukan pengisian nilai hasil seleksi para calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung yang tidak dijawab sesuai substansi pertanyaan tersebut.
"Apakah tujuh orang anggota Komisi Yudisial menentukan, misalnya calon Hakim Agung Soesilo integritas nilainya dua, apakah tujuh orang itu sepakat memberikan dia nilai dua untuk integritas?" tanya Benny dalam rapat konsultasi tersebut.
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari lantas menjawab jika penilaian itu merupakan hasil pengukuran melalui mekanisme seleksi yang objektif.
"Hasil pengukuran saja itu pak, hasil pengukuran yang objektif," jawab Aidul.
"Iya hasil pengukuran, yang mengukur siapa?" tanya Benny lagi.
Aidul mengatakan jika yang mengukur adalah penguji substansif yang melibatkan dari Hakim Agung aktif dan mantan Hakim Agung namun penilaian tetap berpatokan dengan skala tertentu yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial.
"Berarti ada orang lain yang mengukur kan?" tanya Benny.
Aidul mengisyaratkan ketidaksetujuan dengan mengayunkan pergelangan tangannya ke depan. Benny pun protes, "Kok bapak bilang enggak lagi?" kata Benny.
Aidul menjawab maksud isyarat tangannya itu adalah menolak anggapan pihak lain di luar lembaga kehakiman itu pernah dilibatkan.
Baca juga: Komisi III Raker bersama Kejagung, FPKS akan soroti kasus Jiwasraya
Benny mengatakan pertanyaan dia bukan itu. Ia sudah bisa menerima bahwa nilai yang diterima para calon Hakim Agung adalah nilai yang diberikan penguji menggunakan skala pengukuran yang ditetapkan Komisi Yudisial.
Namun hasil pengukuran menggunakan skala yang menjadi instrumen penilaian tersebut pasti ada orang yang merumuskan sehingga bisa keluar hasil penilaiannya.
Ia mengibaratkan instrumen penilaian seperti halnya penggaris, orang yang membuat penggaris telah menetapkan skala 1 centimeter dan seterusnya.
Namun, untuk mengukur panjang sebuah meja, pasti ada orang yang memastikan angkanya sesuai panjang penggaris tersebut.
"Alat ukur itu penggaris, yang diukur itu kan panjangnya meja, hasilnya berapa, dua meter kah atau tiga meter. Nah saya tanya nilai dua itu kalau bapak bilang ada pengukurnya, oke, yang mengukur siapa pak?" kata Benny.
Aidul menjawab orang yang mengukur adalah penguji yang ditunjuk KY namun hasil pengukuran berupa nilai tertentu adalah hasil dari instrumen penilaian.
Benny menyimpulkan bahwa yang mengukur adalah penguji dari luar Komisi Yudisial. Sehingga bisa muncul nilai dua, yang kemudian dicatat oleh Komisi Yudisial.
"Nah kalau demikian, bapak-bapak ini tugasnya apa?" kata Benny.
Baca juga: KY akan gelar pleno tetapkan calon hakim untuk diusulkan ke DPR
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir kemudian mencoba menengahi perdebatan tersebut. Menurut dia, jawaban pertanyaan itu sebenarnya simpel. Hanya saja, entah mengapa menjadi rumit.
"Harusnya dijawab (nilai) dua itu siapa yang mengeluarkan. Kan begitu saja mestinya maksud pak Benny," kata Politisi Partai Golkar itu.
Namun Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menjelaskan maksud rekannya hanya ingin memberi gambaran skala penilaian yang diberikan Komisi Yudisial kepada para penguji substansif sehingga mereka bisa menentukan nilai apa yang diberikan kepada masing-masing calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung.
Adapun skalanya berkisar antara 1-4 dimana nilai dua dianggap nilai rata-rata yang ditetapkan sebagai syarat minimal nilai yang mesti dimiliki para calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung.
Baca juga: Uji validasi berubah, calon hakim agung didominasi jalur karier
Di dalam pemberian nilai, Komisi Yudisial dibantu oleh Hakim Agung dan mantan Hakim Agung, demikian kata Jaja.
"Sebenarnya kita tadi tidak diskusi soal itu, kita diskusi mengenai hal yang sangat simpel. Menurut saya ini (nama-nama calon) tidak layak ini pak, harus kita kembalikan karena di sini manipulasinya. Mohon maaf lah. Bagi saya kalau tidak masuk akal bagi saya, itu manipulasi. Artinya yang lolos (seleksi) ini bisa di-setting," kata Benny.
Baca juga: Calon hakim ad hoc lolos tahap selanjutnya kurang dari yang diminta
Baca juga: Komisi Yudisial loloskan 70 calon hakim agung
Namun, pernyataan yang keluar dari para Ketua Komisi Yudisial tidak menjawab substansi pertanyaan oleh Komisi III DPR RI sehingga muncul protes yang salah satunya keluar dari anggota Komisi III DPRArteria Dahlan.
"Pak Ketua, jawaban pertanyaannya selalu defensif. Ini saya katakan diskusinya sudah tidak sehat. Padahal saya menyarankan kepada pak Ketua, kita harus bicara dari hati ke hati supaya ini (bisa) di-breakdown dulu," kata Arteria dalam rapat konsultasi dengan Komisi Yudisial.
Baca juga: DPR terima usulan CHA dan Hakim Ad Hoc
Arteria merujuk pertanyaan anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman tentang siapa orang yang menentukan pengisian nilai hasil seleksi para calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung yang tidak dijawab sesuai substansi pertanyaan tersebut.
"Apakah tujuh orang anggota Komisi Yudisial menentukan, misalnya calon Hakim Agung Soesilo integritas nilainya dua, apakah tujuh orang itu sepakat memberikan dia nilai dua untuk integritas?" tanya Benny dalam rapat konsultasi tersebut.
Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial Aidul Fitriciada Azhari lantas menjawab jika penilaian itu merupakan hasil pengukuran melalui mekanisme seleksi yang objektif.
"Hasil pengukuran saja itu pak, hasil pengukuran yang objektif," jawab Aidul.
"Iya hasil pengukuran, yang mengukur siapa?" tanya Benny lagi.
Aidul mengatakan jika yang mengukur adalah penguji substansif yang melibatkan dari Hakim Agung aktif dan mantan Hakim Agung namun penilaian tetap berpatokan dengan skala tertentu yang ditetapkan oleh Komisi Yudisial.
"Berarti ada orang lain yang mengukur kan?" tanya Benny.
Aidul mengisyaratkan ketidaksetujuan dengan mengayunkan pergelangan tangannya ke depan. Benny pun protes, "Kok bapak bilang enggak lagi?" kata Benny.
Aidul menjawab maksud isyarat tangannya itu adalah menolak anggapan pihak lain di luar lembaga kehakiman itu pernah dilibatkan.
Baca juga: Komisi III Raker bersama Kejagung, FPKS akan soroti kasus Jiwasraya
Benny mengatakan pertanyaan dia bukan itu. Ia sudah bisa menerima bahwa nilai yang diterima para calon Hakim Agung adalah nilai yang diberikan penguji menggunakan skala pengukuran yang ditetapkan Komisi Yudisial.
Namun hasil pengukuran menggunakan skala yang menjadi instrumen penilaian tersebut pasti ada orang yang merumuskan sehingga bisa keluar hasil penilaiannya.
Ia mengibaratkan instrumen penilaian seperti halnya penggaris, orang yang membuat penggaris telah menetapkan skala 1 centimeter dan seterusnya.
Namun, untuk mengukur panjang sebuah meja, pasti ada orang yang memastikan angkanya sesuai panjang penggaris tersebut.
"Alat ukur itu penggaris, yang diukur itu kan panjangnya meja, hasilnya berapa, dua meter kah atau tiga meter. Nah saya tanya nilai dua itu kalau bapak bilang ada pengukurnya, oke, yang mengukur siapa pak?" kata Benny.
Aidul menjawab orang yang mengukur adalah penguji yang ditunjuk KY namun hasil pengukuran berupa nilai tertentu adalah hasil dari instrumen penilaian.
Benny menyimpulkan bahwa yang mengukur adalah penguji dari luar Komisi Yudisial. Sehingga bisa muncul nilai dua, yang kemudian dicatat oleh Komisi Yudisial.
"Nah kalau demikian, bapak-bapak ini tugasnya apa?" kata Benny.
Baca juga: KY akan gelar pleno tetapkan calon hakim untuk diusulkan ke DPR
Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Adies Kadir kemudian mencoba menengahi perdebatan tersebut. Menurut dia, jawaban pertanyaan itu sebenarnya simpel. Hanya saja, entah mengapa menjadi rumit.
"Harusnya dijawab (nilai) dua itu siapa yang mengeluarkan. Kan begitu saja mestinya maksud pak Benny," kata Politisi Partai Golkar itu.
Namun Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menjelaskan maksud rekannya hanya ingin memberi gambaran skala penilaian yang diberikan Komisi Yudisial kepada para penguji substansif sehingga mereka bisa menentukan nilai apa yang diberikan kepada masing-masing calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung.
Adapun skalanya berkisar antara 1-4 dimana nilai dua dianggap nilai rata-rata yang ditetapkan sebagai syarat minimal nilai yang mesti dimiliki para calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung.
Baca juga: Uji validasi berubah, calon hakim agung didominasi jalur karier
Di dalam pemberian nilai, Komisi Yudisial dibantu oleh Hakim Agung dan mantan Hakim Agung, demikian kata Jaja.
"Sebenarnya kita tadi tidak diskusi soal itu, kita diskusi mengenai hal yang sangat simpel. Menurut saya ini (nama-nama calon) tidak layak ini pak, harus kita kembalikan karena di sini manipulasinya. Mohon maaf lah. Bagi saya kalau tidak masuk akal bagi saya, itu manipulasi. Artinya yang lolos (seleksi) ini bisa di-setting," kata Benny.
Baca juga: Calon hakim ad hoc lolos tahap selanjutnya kurang dari yang diminta
Baca juga: Komisi Yudisial loloskan 70 calon hakim agung
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2020
Tags: