Jakarta (ANTARA) - Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mengkritisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota (Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah/ UU Pilkada) yang dianggap masih memiliki sejumlah permasalahan.

“Menurut pandangan DPD RI, sejumlah permasalahan tersebut antara lain masih maraknya politik uang, persyaratan calon yang belum memberikan keadilan bagi semua pihak, permasalahan calon tunggal, proses Pilkada yang lama terutama masa kampanye, masih adanya regulasi yang tumpang-tindih sehingga tidak harmonis, bahkan penetapan Daftar Pemilih Tetap juga masih bermasalah,” ungkap Wakil Ketua Komite I Abdul Kholik.

Hal itu diungkapkan Senator asal Jawa Tengah itu dalam rapat dengar pendapat antara Komite I DPD RI dengan Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan membahas Revisi UU Pilkada di Ruang Rapat Komite I Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Selasa.

Sehingga, DPD RI melalui kewenangan yang dimiliki akan mengajukan inisiasi revisi UU Pilkada tersebut agar dapat diperbaiki dengan memperhatikan kekhususan masing-masing daerah.

Kendati perubahan terhadap UU Pilkada sudah beberapa kali dilakukan, mulai dari UU Nomor 1 Tahun 2015 yang telah mendekonstruksi sistem pemilihan Kepala Daerah, sampai yang terakhir menjadi UU Nomor 10 Tahun 2016.

Namun, masih ada harapan di masyarakat agar demokrasi Indonesia khususnya yang terkait Pilkada betul-betul dapat mencerminkan aspirasi masyarakat di daerah.

"Harapannya mekanisme sesuai dengan asas-asas pemilihan umum secara langsung serta menghasilkan kepemimpinan daerah yang kredibel dan profesional, demikian menurut Ketua Komite I Teras Narang.

Senada dengan itu, Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan juga menyampaikan agar revisi UU Pilkada jangan secara makro one policy for all, tapi juga harus melihat kultur realita politik lokal melibatkan DPD RI.

Menurut dia, kelemahan kebijakan Pilkada yang paling fatal adalah menyeragamkan sistem Pilkada. Semua kepala daerah dipilih langsung, padahal Indonesia itu plural.

“Revisi UU Pilkada harus memperhatikan nilai komunaliti di daerah, parameter demokrasi lokal, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, juga kemampuan keuangan daerah. Hal itu jangan diabaikan, kalau tingkat kehidupan masyarakat masih rendah, masyarakat akan masih susah berdemokrasi, karena pasti akan terjadi distorsi dan berbagai penyimpangan,” ujar Guru Besar Institut Pendidikan Dalam Negeri itu.

Baca juga: Anggota MPR dukung penguatan Bawaslu melalui revisi UU Pilkada

Baca juga: Pengamat: Wacana evaluasi pilkada perlu pengkajian menyeluruh

Baca juga: F-Golkar: Revisi UU Pilkada tidak perlu masukan larang mantan korupsi