Mahfud: Makna radikal dalam konteks hukum tidak perlu diperdebatkan
14 Januari 2020 13:12 WIB
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyampaikan pidato pembuka dalam dialog kebangsaan "Merawat Persatuan, Menghargai Perbedaan" di Auditorium Prof. K.H. Kahar Mudzakkir, Universitas Islam Indonesia (UII), Sleman, Selasa (14-1-2020). ANTARA/Luqman Hakim
Yogyakarta (ANTARA) - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD meminta istilah radikal dalam konteks hukum tidak perlu diperdebatkan karena telah diatur dalam undang-undang.
Mahfud MD saat menyampaikan pidato pembuka dalam dialog kebangsaan dengan tema "Merawat Persatuan, Menghargai Perbedaan" di Auditorium Prof. K.H. Kahar Mudzakkir, Universitas Islam Indonesia (UII), Sleman, Selasa, menyinggung hal itu karena belakangan banyak yang memperdebatkan bahwa radikal memiliki makna yang baik dan makna yang buruk.
"Silakan, benar semua. Akan tetap,i dalam konteks hukum yang mana yang dianggap kata radikal adalah apa yang dikatakan dalam undang-undang," kata Mahfud.
Mahfud kemudian menjelaskan bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada penjelasan mengenai radikal yang bermakna baik dan ada yang bermakna buruk.
Dalam pemaknaan yang baik, lanjut dia, radikalisme dijabarkan sebagai suatu paham yang menyelesaikan segala sesuatu secara mendasar sehingga memperoleh solusi yang secara filosofi baik.
Baca juga: Akademisi ingin ubah persepsi Islam radikal tolak demokrasi
Baca juga: Wapres Ma'ruf: UIN harus bisa redam penyebarluasan paham radikal
Baca juga: LIPI: Butuh perubahan radikal sektor energi untuk target rendah karbon
Akan tetapi, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No. 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, kata dia, yang dimaksud radikal adalah sikap mau mengubah sistem yang sudah mapan atau telah disepakati dengan cara kekerasan, bukan dengan cara yang gradual.
"Bentuknya anti-NKRI, anti-Pancasila, antipersatuan. Nah, kalau itu terpenuhi itulah radikal dalam arti hukum kita," katanya menjelaskan.
Oleh sebab itu, dia berharap pemaknaan radikal tidak perlu diributkan jika telah bersentuhan dengan konteks hukum normatif di Indonesia.
"Kalau ada yang mengatakan jangan radikal , (artinya) jangan melawan sistem yang sudah disepakati," kata Mahfud menerangkan.
Menurut Mahfud, pemerintah memiliki tugas untuk menjaga persatuan dan menghindarkan bangsa dari perpecahan.
"Oleh sebab itu, paham radikal itu harus dilawan," kata Mahfud menekankan.
Mahfud MD saat menyampaikan pidato pembuka dalam dialog kebangsaan dengan tema "Merawat Persatuan, Menghargai Perbedaan" di Auditorium Prof. K.H. Kahar Mudzakkir, Universitas Islam Indonesia (UII), Sleman, Selasa, menyinggung hal itu karena belakangan banyak yang memperdebatkan bahwa radikal memiliki makna yang baik dan makna yang buruk.
"Silakan, benar semua. Akan tetap,i dalam konteks hukum yang mana yang dianggap kata radikal adalah apa yang dikatakan dalam undang-undang," kata Mahfud.
Mahfud kemudian menjelaskan bahwa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ada penjelasan mengenai radikal yang bermakna baik dan ada yang bermakna buruk.
Dalam pemaknaan yang baik, lanjut dia, radikalisme dijabarkan sebagai suatu paham yang menyelesaikan segala sesuatu secara mendasar sehingga memperoleh solusi yang secara filosofi baik.
Baca juga: Akademisi ingin ubah persepsi Islam radikal tolak demokrasi
Baca juga: Wapres Ma'ruf: UIN harus bisa redam penyebarluasan paham radikal
Baca juga: LIPI: Butuh perubahan radikal sektor energi untuk target rendah karbon
Akan tetapi, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU No. 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang, kata dia, yang dimaksud radikal adalah sikap mau mengubah sistem yang sudah mapan atau telah disepakati dengan cara kekerasan, bukan dengan cara yang gradual.
"Bentuknya anti-NKRI, anti-Pancasila, antipersatuan. Nah, kalau itu terpenuhi itulah radikal dalam arti hukum kita," katanya menjelaskan.
Oleh sebab itu, dia berharap pemaknaan radikal tidak perlu diributkan jika telah bersentuhan dengan konteks hukum normatif di Indonesia.
"Kalau ada yang mengatakan jangan radikal , (artinya) jangan melawan sistem yang sudah disepakati," kata Mahfud menerangkan.
Menurut Mahfud, pemerintah memiliki tugas untuk menjaga persatuan dan menghindarkan bangsa dari perpecahan.
"Oleh sebab itu, paham radikal itu harus dilawan," kata Mahfud menekankan.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: