Data LBH Pers: Tindakan represif polisi meningkat di 2019
13 Januari 2020 17:38 WIB
Massa yang tergabung dalam aktivis Suara Perempuan Bandung melakukan aksi unjuk rasa di Taman Vanda, Bandung, Jawa Barat, Kamis (10/10/2019). . ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc. (ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI)
Jakarta (ANTARA) - Laporan tahunan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) mengungkap data tindakan represif kepolisian yang meningkat tajam di tahun 2019 dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Penyebabnya, menurut Direktur LBH Pers Ade Wahyudin diduga karena demonstrasi meningkat pasca-pemilihan presiden 2019 yang dilakukan secara langsung.
"Kenapa kemudian terbesar adalah aparat kepolisian, karena ini terkait bagaimana kepolisian mengamankan demonstrasi," kata Ade di Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
Jika dilihat berdasarkan data latar belakang pelaku, kekerasan masih didominasi aparat penegak hukum, khususnya dari unsur polisi yang berjumlah 33 kasus.
Kekerasan yang dilakukan oknum polisi menunjukkan kenaikan tajam pada 2019, meski dua tahun sebelumnya memperlihatkan penurunan, yakni 19 kasus pada 2017 menjadi 18 kasus pada 2018.
Angka itu disusul kelompok warga atau massa yang berjumlah 17 kasus. Unsur pejabat publik juga menyumbang kekerasan terhadap jurnalis selama setahun lalu (7 kasus) dan kalangan pengusaha (6 kasus).
Sebanyak enam kasus belum diketahui pelakunya atau dilakukan orang tidak dikenal. Kasus ini banyak terjadi pada bentuk serangan digital. Sebab pelakunya banyak menggunakan akun anonim atau tanpa identitas.
Hal itu menjadi tantangan berikutnya di tahun 2020, mengingat Indonesia akan segera menggelar Pemilihan Kepala Daerah secara serentak, dengan rincian 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati dan 37 pemilihan wali kota.
Seperti yang sudah-sudah pada tahun 2019 dan 2018, isu politik Pilkada atau Pilpres akan terus menjadi isu yang rawan kekerasan di tahun 2019 apabila tidak cermat ditangani dengan kesadaran aparat untuk meredam tindakan represif.
Seperti aksi protes hasil Pilpres di gedung Bawaslu Mei 2019 lalu, hingga demonstrasi mahasiswa dan pelajar menolak sejumlah paket rancangan UU di sekitar gedung DPR RI pada September.
Aparat cenderung menggunakan upaya represif untuk membubarkan massa pengunjuk rasa. Begitu pula saat menyikapi kehadiran jurnalis yang meliput dan hendak memberitakan pengamanan yang mereka lakukan di lapangan, kerap mendapat intimidasi hingga kekerasan fisik.
Baca juga: Komnas HAM: Hukum polisi bertindak represif kepada wartawan
Baca juga: KSP: Aparat juga tidak inginkan tindakan anarkis
Baca juga: Komnas HAM desak polisi publikasi penindakan aparat represif demo Mei
Penyebabnya, menurut Direktur LBH Pers Ade Wahyudin diduga karena demonstrasi meningkat pasca-pemilihan presiden 2019 yang dilakukan secara langsung.
"Kenapa kemudian terbesar adalah aparat kepolisian, karena ini terkait bagaimana kepolisian mengamankan demonstrasi," kata Ade di Cikini, Jakarta Pusat, Senin.
Jika dilihat berdasarkan data latar belakang pelaku, kekerasan masih didominasi aparat penegak hukum, khususnya dari unsur polisi yang berjumlah 33 kasus.
Kekerasan yang dilakukan oknum polisi menunjukkan kenaikan tajam pada 2019, meski dua tahun sebelumnya memperlihatkan penurunan, yakni 19 kasus pada 2017 menjadi 18 kasus pada 2018.
Angka itu disusul kelompok warga atau massa yang berjumlah 17 kasus. Unsur pejabat publik juga menyumbang kekerasan terhadap jurnalis selama setahun lalu (7 kasus) dan kalangan pengusaha (6 kasus).
Sebanyak enam kasus belum diketahui pelakunya atau dilakukan orang tidak dikenal. Kasus ini banyak terjadi pada bentuk serangan digital. Sebab pelakunya banyak menggunakan akun anonim atau tanpa identitas.
Hal itu menjadi tantangan berikutnya di tahun 2020, mengingat Indonesia akan segera menggelar Pemilihan Kepala Daerah secara serentak, dengan rincian 9 pemilihan gubernur, 224 pemilihan bupati dan 37 pemilihan wali kota.
Seperti yang sudah-sudah pada tahun 2019 dan 2018, isu politik Pilkada atau Pilpres akan terus menjadi isu yang rawan kekerasan di tahun 2019 apabila tidak cermat ditangani dengan kesadaran aparat untuk meredam tindakan represif.
Seperti aksi protes hasil Pilpres di gedung Bawaslu Mei 2019 lalu, hingga demonstrasi mahasiswa dan pelajar menolak sejumlah paket rancangan UU di sekitar gedung DPR RI pada September.
Aparat cenderung menggunakan upaya represif untuk membubarkan massa pengunjuk rasa. Begitu pula saat menyikapi kehadiran jurnalis yang meliput dan hendak memberitakan pengamanan yang mereka lakukan di lapangan, kerap mendapat intimidasi hingga kekerasan fisik.
Baca juga: Komnas HAM: Hukum polisi bertindak represif kepada wartawan
Baca juga: KSP: Aparat juga tidak inginkan tindakan anarkis
Baca juga: Komnas HAM desak polisi publikasi penindakan aparat represif demo Mei
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2020
Tags: