Artikel
Inkompetensi hukum kepemiluan jadi celah partai suap KPU
Oleh Fransiska Ninditya
13 Januari 2020 07:22 WIB
Ketua KPU Arief Budiman (kedua kanan) beserta Komisioner Ilham Saputra (kiri), Viryan Azis (ketiga kiri) dan Pramono Ubaid Tanthowi (ketiga kanan) tiba di gedung KPK, Jakarta, Kamis (9/1/2020). Kedatangan Komisioner KPU tersebut untuk menggelar konferensi pers bersama KPK terkait penangkapan Komisioner KPU Wahyu Setiawan dalam kasus dugaan penerimaan suap. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.
Jakarta (ANTARA) - Dugaan penyuapan terhadap salah satu pimpinan Komisi Pemilihan Umum ((KPU) RI Wahyu Setiawan oleh oknum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan menunjukkan masih adanya celah hukum yang dimanfaatkan untuk memanipulasi perolehan suara rakyat hasil pemilihan umum.
Kurangnya potensi lembaga hukum khusus kepemiluan di Indonesia dimanfaatkan oleh PDI Perjuangan untuk memuluskan jalan caleg Hasan Masiku, yang tidak mendapat suara terbanyak dalam Pileg 2019, agar duduk di kursi DPR RI.
Dalam kasus tersebut, PDI Perjuangan berupaya mengubah peraturan perundang-undangan dengan menggugat Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).
Pada 19 Juli 2019, MA mengabulkan gugatan PDI Perjuangan lewat Putusan Nomor 57 P/HUM/2019, yang menyatakan bahwa perolehan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia seharusnya menjadi kewenangan diskresi dari pimpinan partai politik. Dalam amar putusannya, MA berpendapat hal itu merupakan wewenang partai politik untuk menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang menggantikan caleg meninggal dunia.
Pendiri sekaligus peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, menilai putusan MA tersebut bertentangan dengan prinsip pemilu di Indonesia yang menganut sistem proporsional terbuka.
Sistem pemilihan proporsional terbuka memungkinkan pemilih untuk memberikan hak suaranya langsung kepada calon anggota legislatif, sehingga partai politik tidak berhak menentukan caleg mana yang akan mewakili di legislatif.
"Begitu ditetapkan siapa yang menang, tentu caleg yang berdasarkan perolehan suara di surat suara yang didapat, bukan dari parpolnya yang menentukan. Itu pemahaman yang harus terbangun oleh semua pihak," jelas eks-komisioner KPU tersebut.
Melegitimasi kecurangan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah jelas menyatakan bahwa pemenang pemilu adalah caleg yang meraih suara terbanyak. Sehingga lembaga pengadilan, yang mengeluarkan putusan terkait gugatan kepemiluan, harus berpedoman pada UU Pemilu tersebut.
Sehingga, jika ada lembaga pengadilan yang dalam putusan dan pertimbangannya mengarahkan agar perolehan suara caleg meninggal ditentukan oleh parpol, maka institusi hukum itu sudah melanggar Undang-undang Pemilu.
Putusan MA yang mengatakan bahwa partai politik memiliki diskresi untuk menentukan pengganti caleg terpilih adalah tidak bijaksana dan mengabaikan prinsip pemilihan proporsional terbuka.
Meskipun memiliki otoritas untuk mengadili PKPU, MA seharusnya tidak mengabaikan ketentuan dalam UU Pemilu terkait proses penetapan PKPU. Dalam hal pengujian pasal dalam PKPU, gugatan uji materi itu memiliki tenggat waktu yakni maksimal 30 hari sejak Peraturan tersebut disahkan. Dalam kasus ini, PDI Perjuangan turut berperan dalam upaya mencari legitimasi untuk kecurangan terhadap perolehan suara Pileg 2019.
Upaya melegitimasi kecurangan itu sudah dilakukan PDI Perjuangan sejak sebelum KPU menetapkan secara resmi caleg terpilih untuk DPR RI. Partai peraih suara terbanyak di Pemilu 2019 itu sudah mengendus perolehan suara Nazarudin adalah terbanyak dibandingkan caleg lain, sehingga PDI Perjuangan mulai menggugat PKPU Nomor 3 Tahun 2019 ke MA pada awal Juli 2019.
Usai pemungutan suara Pileg 2019, pengacara PDI Perjuangan menggugat PKPU Nomor 3 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan gugatan tersebut dengan menyatakan partai berhak menentukan peralihan suara caleg meninggal.
Berdasarkan putusan MA tersebut, PDI Perjuangan mengirimkan surat kepada KPU untuk meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku. Namun, sesuai hasil pleno, KPU tidak menyetujui permintaan PDI Perjuangan tersebut.
Berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menetapkan perolehan suara Pileg DPR RI dari PDI Perjuangan dapil Sumatera Selatan I sebagai berikut: 145.752 suara untuk Partai, 0 suara untuk Nazarudin Kiemas, 44.402 suara untuk Riezky Aprilia, 13.310 suara untuk Diah Okta Sari, 19.776 suara untuk Doddy Julianto Siahaan, 5.878 suara untuk Harun masiku, 5.699 suara untuk Sri Suharti dan 4.420 suara untuk Irwan Tongari. KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai caleg terpilih PDI Perjuangan dari Dapil Sumsel I untuk DPR RI.
Gagal membuat KPU mengubah keputusan lewat putusan MA, oknum PDI Perjuangan pun menggunakan segala cara dengan menyuap Wahyu Setiawan supaya KPU mengubah putusan pleno tentang caleg terpilih.
"Partai tidak puas sehingga melihat ada celah lalu ingin menentukan sendiri. Logikanya, itu kan caleg dia (PDI Perjuangan) semua, kok setelah pemilu baru mencari jalur baru yang bukan berasal dari perolehan suara yang ada. Jadi dia tidak cukup menghargai, suara rakyat. Sudah bagus dia dapat kursi, dari dapil Sumsel I kan PDI Perjuangan cuma dapat satu. KPU juga tidak punya peraturan yang jelas untuk memproteksi caleg-caleg lain," tegas Hadar.
Tindak pidana korupsi tidak mungkin terjadi bila tidak ada pemberi dan penerima suap. Dalam tiga surat yang disampaikan PDI Perjuangan kepada KPU, terkait peralihan perolehan suara caleg, terdapat tanda tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto. Namun, PDI Perjuangan justru "cuci tangan" atas kasus yang melibatkan kader-kadernya. Hasto malah menuding dugaan kasus suap terhadap komisioner KPU itu sengaja dilakukan untuk menciptakan citra buruk bagi partai penguasa tersebut.
"Ada yang mem-framing saya menerima dana, ada yang mem-framing bahwa saya diperlakukan sebagai bentuk-bentuk penggunaan kekuasaan itu secara sembarangan. Kami diajarkan oleh Bu Megawati Soekarnoputri untuk berpolitik satyameva jayate bahwa pada akhirnya kebenaran yang akan menang," kata Hasto.
Untuk membenahi sistem demokrasi harus didukung dengan niat baik dari berbagai pihak, baik partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, hingga lembaga hukum yang berperan. Dengan adanya lembaga peradilan dengan hakim-hakim yang paham dengan kondisi kepemiluan, maka setidaknya institusi hukum tidak dimanfaatkan oleh parpol untuk mencapai kekuasaan.
Baca juga: Kasus suap libatkan Harun, Puan: PDIP tetap solid
Baca juga: OTT komisioner KPU, PBNU: Yang penting jangan tebang pilih
Baca juga: Komisioner KPU RI minta maaf terkait OTT KPK
Kurangnya potensi lembaga hukum khusus kepemiluan di Indonesia dimanfaatkan oleh PDI Perjuangan untuk memuluskan jalan caleg Hasan Masiku, yang tidak mendapat suara terbanyak dalam Pileg 2019, agar duduk di kursi DPR RI.
Dalam kasus tersebut, PDI Perjuangan berupaya mengubah peraturan perundang-undangan dengan menggugat Peraturan KPU (PKPU) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara ke Mahkamah Agung (MA).
Pada 19 Juli 2019, MA mengabulkan gugatan PDI Perjuangan lewat Putusan Nomor 57 P/HUM/2019, yang menyatakan bahwa perolehan suara calon anggota legislatif yang meninggal dunia seharusnya menjadi kewenangan diskresi dari pimpinan partai politik. Dalam amar putusannya, MA berpendapat hal itu merupakan wewenang partai politik untuk menentukan kader terbaik sebagai anggota legislatif yang menggantikan caleg meninggal dunia.
Pendiri sekaligus peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, menilai putusan MA tersebut bertentangan dengan prinsip pemilu di Indonesia yang menganut sistem proporsional terbuka.
Sistem pemilihan proporsional terbuka memungkinkan pemilih untuk memberikan hak suaranya langsung kepada calon anggota legislatif, sehingga partai politik tidak berhak menentukan caleg mana yang akan mewakili di legislatif.
"Begitu ditetapkan siapa yang menang, tentu caleg yang berdasarkan perolehan suara di surat suara yang didapat, bukan dari parpolnya yang menentukan. Itu pemahaman yang harus terbangun oleh semua pihak," jelas eks-komisioner KPU tersebut.
Melegitimasi kecurangan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sudah jelas menyatakan bahwa pemenang pemilu adalah caleg yang meraih suara terbanyak. Sehingga lembaga pengadilan, yang mengeluarkan putusan terkait gugatan kepemiluan, harus berpedoman pada UU Pemilu tersebut.
Sehingga, jika ada lembaga pengadilan yang dalam putusan dan pertimbangannya mengarahkan agar perolehan suara caleg meninggal ditentukan oleh parpol, maka institusi hukum itu sudah melanggar Undang-undang Pemilu.
Putusan MA yang mengatakan bahwa partai politik memiliki diskresi untuk menentukan pengganti caleg terpilih adalah tidak bijaksana dan mengabaikan prinsip pemilihan proporsional terbuka.
Meskipun memiliki otoritas untuk mengadili PKPU, MA seharusnya tidak mengabaikan ketentuan dalam UU Pemilu terkait proses penetapan PKPU. Dalam hal pengujian pasal dalam PKPU, gugatan uji materi itu memiliki tenggat waktu yakni maksimal 30 hari sejak Peraturan tersebut disahkan. Dalam kasus ini, PDI Perjuangan turut berperan dalam upaya mencari legitimasi untuk kecurangan terhadap perolehan suara Pileg 2019.
Upaya melegitimasi kecurangan itu sudah dilakukan PDI Perjuangan sejak sebelum KPU menetapkan secara resmi caleg terpilih untuk DPR RI. Partai peraih suara terbanyak di Pemilu 2019 itu sudah mengendus perolehan suara Nazarudin adalah terbanyak dibandingkan caleg lain, sehingga PDI Perjuangan mulai menggugat PKPU Nomor 3 Tahun 2019 ke MA pada awal Juli 2019.
Usai pemungutan suara Pileg 2019, pengacara PDI Perjuangan menggugat PKPU Nomor 3 Tahun 2019 ke Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan gugatan tersebut dengan menyatakan partai berhak menentukan peralihan suara caleg meninggal.
Berdasarkan putusan MA tersebut, PDI Perjuangan mengirimkan surat kepada KPU untuk meminta agar perolehan suara Nazarudin Kiemas dialihkan kepada Harun Masiku. Namun, sesuai hasil pleno, KPU tidak menyetujui permintaan PDI Perjuangan tersebut.
Berdasarkan hasil rapat pleno, KPU menetapkan perolehan suara Pileg DPR RI dari PDI Perjuangan dapil Sumatera Selatan I sebagai berikut: 145.752 suara untuk Partai, 0 suara untuk Nazarudin Kiemas, 44.402 suara untuk Riezky Aprilia, 13.310 suara untuk Diah Okta Sari, 19.776 suara untuk Doddy Julianto Siahaan, 5.878 suara untuk Harun masiku, 5.699 suara untuk Sri Suharti dan 4.420 suara untuk Irwan Tongari. KPU menetapkan Riezky Aprilia sebagai caleg terpilih PDI Perjuangan dari Dapil Sumsel I untuk DPR RI.
Gagal membuat KPU mengubah keputusan lewat putusan MA, oknum PDI Perjuangan pun menggunakan segala cara dengan menyuap Wahyu Setiawan supaya KPU mengubah putusan pleno tentang caleg terpilih.
"Partai tidak puas sehingga melihat ada celah lalu ingin menentukan sendiri. Logikanya, itu kan caleg dia (PDI Perjuangan) semua, kok setelah pemilu baru mencari jalur baru yang bukan berasal dari perolehan suara yang ada. Jadi dia tidak cukup menghargai, suara rakyat. Sudah bagus dia dapat kursi, dari dapil Sumsel I kan PDI Perjuangan cuma dapat satu. KPU juga tidak punya peraturan yang jelas untuk memproteksi caleg-caleg lain," tegas Hadar.
Tindak pidana korupsi tidak mungkin terjadi bila tidak ada pemberi dan penerima suap. Dalam tiga surat yang disampaikan PDI Perjuangan kepada KPU, terkait peralihan perolehan suara caleg, terdapat tanda tangan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto. Namun, PDI Perjuangan justru "cuci tangan" atas kasus yang melibatkan kader-kadernya. Hasto malah menuding dugaan kasus suap terhadap komisioner KPU itu sengaja dilakukan untuk menciptakan citra buruk bagi partai penguasa tersebut.
"Ada yang mem-framing saya menerima dana, ada yang mem-framing bahwa saya diperlakukan sebagai bentuk-bentuk penggunaan kekuasaan itu secara sembarangan. Kami diajarkan oleh Bu Megawati Soekarnoputri untuk berpolitik satyameva jayate bahwa pada akhirnya kebenaran yang akan menang," kata Hasto.
Untuk membenahi sistem demokrasi harus didukung dengan niat baik dari berbagai pihak, baik partai politik, lembaga penyelenggara pemilu, hingga lembaga hukum yang berperan. Dengan adanya lembaga peradilan dengan hakim-hakim yang paham dengan kondisi kepemiluan, maka setidaknya institusi hukum tidak dimanfaatkan oleh parpol untuk mencapai kekuasaan.
Baca juga: Kasus suap libatkan Harun, Puan: PDIP tetap solid
Baca juga: OTT komisioner KPU, PBNU: Yang penting jangan tebang pilih
Baca juga: Komisioner KPU RI minta maaf terkait OTT KPK
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2020
Tags: