AZWI sebut PLTSa bukan solusi berkelanjutan masalah sampah
10 Januari 2020 15:43 WIB
Profesor Paul Connet (kedua kanan) bersama Direktur Eksekutif WALHI Nasiona Nur Hidayati (tengah) dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (10/1/2020). ANTARA/Prisca Triferna
Jakarta (ANTARA) - Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) meminta pemerintah mencari solusi permasalahan sampah yang sejalan dengan ekonomi sirkular untuk menghadapi perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini, bukannya membangun insinerator yang memiliki dampak terhadap lingkungan.
"Bertahun-tahun penggunaan insinerator di Eropa, itu bukanlah solusi bijak untuk iklim di abad ke-21. Insinerator itu tidak berkelanjutan. Jadi di Eropa mereka bilang kita harus pindah dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular," ujar Profesor Emeritus Paul Connet, pakar toksikologi dan kimia lingkungan yang diundang AZWI dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Lulusan Ph.D. dari Dartmouth College, Amerika Serikat itu mengatakan ekonomi linear berujung kepada produksi sampah yang membuat perlu adanya pengelolaan sampah, yang mendorong pengenyahan sampah menggunakan teknologi insinerator dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Baca juga: Pemerintah diharapkan tinjau ulang pembangunan PLTSa
PLTSa menggunakan teknologi termal atau panas yang menurut dia di berbagai belahan dunia sudah ditinggalkan akibat biaya investasi dan operasional yang besar. Selain itu, akumulasi racun dari sisa pembakaran sampah dari PLTSa juga tidak sebanding dengan keuntungan dari listrik yang dihasilkan.
Pembakaran sampah berisiko memperparah kualitas udara karena bahan berbahaya dan beracun seperti dioksin terlepas. Selain itu terdapat kemungkinan sisa abu pembakaran yang bersifat toksik dan harus diperlakukan sebagai limbah B3.
Karena itu diperlukan peralihan ke ekonomi sirkular yang lebih mengutamakan ke pendauran dan pengelolaan sumber daya.
Hal yang sama diutarakan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional Nur Hidayati yang menegaskan bahwa PLTSa bukanlah solusi menuju zero waste atau ketiadaan sampah. WALHI bersama Greenpeace Indonesia, Nexus3, ICEL dan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi yang tergabung dalam AZWI kemudian meminta pemerintah mempertimbangkan ulang PLTSa sebagai solusi masalah sampah.
Baca juga: Penggunaan PLTSa diyakini perpanjang "masa hidup" TPST Bantar Gebang
"Permasalahan sampah demikian pelik dan harus dimulai segera. Kami siap bekerja sama dengan pemerintah untuk mewujudkan zero waste. Karena 60 persen dari timbunan sampah itu organik, dan itu bisa dihilangkan dengan cara salah satunya menjadikannya sebagai kompos," ujar dia dalam konferensi pers tersebut.
Langkah sederhana itu, ujar dia, sudah bisa mengurangi volume sampah yang harus dikelola.
Sebelumnya, pemerintah dalam periode 2019-2022 sudah mengoperasikan atau membangun 12 PLTSa di beberapa daerah seperti Surabaya di Jawa Timur dan DKI Jakarta.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) total 12 PLTSa itu akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 megawatt (MW) dari 16 ribu ton sampah per hari.
Baca juga: Legislator apresiasi upaya pemerintah untuk membangun PLTSa
Baca juga: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah perlu diperbanyak
"Bertahun-tahun penggunaan insinerator di Eropa, itu bukanlah solusi bijak untuk iklim di abad ke-21. Insinerator itu tidak berkelanjutan. Jadi di Eropa mereka bilang kita harus pindah dari ekonomi linear menuju ekonomi sirkular," ujar Profesor Emeritus Paul Connet, pakar toksikologi dan kimia lingkungan yang diundang AZWI dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat.
Lulusan Ph.D. dari Dartmouth College, Amerika Serikat itu mengatakan ekonomi linear berujung kepada produksi sampah yang membuat perlu adanya pengelolaan sampah, yang mendorong pengenyahan sampah menggunakan teknologi insinerator dalam bentuk Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa).
Baca juga: Pemerintah diharapkan tinjau ulang pembangunan PLTSa
PLTSa menggunakan teknologi termal atau panas yang menurut dia di berbagai belahan dunia sudah ditinggalkan akibat biaya investasi dan operasional yang besar. Selain itu, akumulasi racun dari sisa pembakaran sampah dari PLTSa juga tidak sebanding dengan keuntungan dari listrik yang dihasilkan.
Pembakaran sampah berisiko memperparah kualitas udara karena bahan berbahaya dan beracun seperti dioksin terlepas. Selain itu terdapat kemungkinan sisa abu pembakaran yang bersifat toksik dan harus diperlakukan sebagai limbah B3.
Karena itu diperlukan peralihan ke ekonomi sirkular yang lebih mengutamakan ke pendauran dan pengelolaan sumber daya.
Hal yang sama diutarakan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Nasional Nur Hidayati yang menegaskan bahwa PLTSa bukanlah solusi menuju zero waste atau ketiadaan sampah. WALHI bersama Greenpeace Indonesia, Nexus3, ICEL dan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi yang tergabung dalam AZWI kemudian meminta pemerintah mempertimbangkan ulang PLTSa sebagai solusi masalah sampah.
Baca juga: Penggunaan PLTSa diyakini perpanjang "masa hidup" TPST Bantar Gebang
"Permasalahan sampah demikian pelik dan harus dimulai segera. Kami siap bekerja sama dengan pemerintah untuk mewujudkan zero waste. Karena 60 persen dari timbunan sampah itu organik, dan itu bisa dihilangkan dengan cara salah satunya menjadikannya sebagai kompos," ujar dia dalam konferensi pers tersebut.
Langkah sederhana itu, ujar dia, sudah bisa mengurangi volume sampah yang harus dikelola.
Sebelumnya, pemerintah dalam periode 2019-2022 sudah mengoperasikan atau membangun 12 PLTSa di beberapa daerah seperti Surabaya di Jawa Timur dan DKI Jakarta.
Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) total 12 PLTSa itu akan mampu menghasilkan listrik hingga 234 megawatt (MW) dari 16 ribu ton sampah per hari.
Baca juga: Legislator apresiasi upaya pemerintah untuk membangun PLTSa
Baca juga: Pembangkit Listrik Tenaga Sampah perlu diperbanyak
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2020
Tags: