Jakarta (ANTARA) - Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai kinerja penggilingan padi di berbagai daerah bakal meningkat secara signifikan dalam jumlah produksi bila permasalahan terkait kesimpangsiuran data benar-benar diperbaiki.

Peneliti CIPS Galuh Octania di Jakarta, Jumat, menyatakan permintaan akan beras yang terus meningkat memaksa para pengusaha penggilingan padi terus bersaing ketat dalam mempertahankan usahanya.

Hal itu, ujar dia, karena kapasitas mesin yang banyak tersedia di penggilingan sering kali tidak sebanding dengan volume beras yang jauh berada di bawah target, di mana salah satu penyebab ketimpangan ini adalah simpang siurnya data produksi beras.

Baca juga: CIPS dorong pemerintah tingkatkan produktivitas lahan

"Kondisi yang ada saat ini membuktikan adanya simpang siur informasi di pasar padi. Kalau para penggiling padi mengetahui bahwa jumlah padi yang akan digiling, tentu akan ada kalkulasi untuk mencegah kerugian. Keadaan ini sangat mungkin terjadi akibat dari miskalkulasi data yang telah terjadi selama beberapa waktu," katanya.

Ia mengemukakan bahwa bila hal tersebut dibiarkan terjadi terus menerus, tidak menutup kemungkinan pelaku usaha penggilingan padi akan mengalami kerugian.

Penyebab ketimpangan lainnya adalah rendahya pasokan beras ke penggilingan yang disebabkan oleh beberapa hal seperti musim kemarau pada 2019 yang menyebabkan mundurnya masa tanam, keterbatasan produksi padi di awal tahun 2020 yang merupakan imbas dari musim penghujan dan juga naiknya harga gabah di tingkat petani.

Walaupun naiknya harga gabah dianggap sebagai proses yang wajar dihadapi usaha penggilingan padi, hal ini tentu tidak baik jika terus terjadi dan berulang.

Baca juga: Usaha penggilingan padi di Jabar sepi karena suplai gabah minim

"Kondisi seperti ini berpotensi menyebabkan harga tinggi. Akan banyak usaha penggilingan padi, terutama penggilingan berskala kecil, yang dapat gulung tikar karena terbatasnya modal dan tidak mampu bersaing dengan pengusaha lain dengan mesin penggilingan yang lebih besar. Rendahnya hasil panen dimanfaatkan oleh petani untuk menaikkan harga gabah di tengah volume permintaan yang tetap atau cenderung naik," ungkap Galuh.

Berdasarkan laporan BPS per Desember 2019, tren harga gabah kering panen mengalami kenaikan ke angka Rp5.313 per kilogram dari bulan sebelumnya yang berada di posisi Rp5.203 per kilogram.

Oleh karena itu, ujar dia, sedari awal masa tanam, harus dipastikan pasokan padi dapat menghasilkan peningkatan volume pasokan beras pada saat panen.

"Hal ini tentunya juga harus memperhatikan faktor cuaca dikarenakan adanya indikasi hasil gabah yang akan turun akibat masa tanam dan panen yang mundur akibat tidak tentunya cuaca di Indonesia," ucapnya.

Galuh juga mendorong agar pengusaha penggilingan padi lebih meningkatkan sinergi kerja samanya dengan petani dalam hal harga dan kuantitas gabah yang akan diperjualbelikan.

Baca juga: BUMDes penggilingan padi Desa Awang-Kalsel dibangun dari dana desa