Fraksi NasDem: Tidak ada ruang "jual-beli" PAW
10 Januari 2020 12:03 WIB
Anggota KPU RI Wahyu Setiawan (kedua kiri) mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK RI, Jakarta, Jumat (10-1-2020) dini hari. KPK menetapkan empat orang tersangka dalam OTT, Rabu (8-1-2020), yakni WSE anggota KPU RI, ATF mantan anggota Bawaslu serta HAR dan SAE dalam kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024 dengan barang bukti uang sekitar Rp400 juta dalam bentuk mata uang dolar Singapura dan buku rekening. ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/pras.
Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Fraksi Partai NasDem DPR RI Saan Mustofa menegaskan tidak ada ruang untuk melakukan "jual beli" atau suap terkait dengan penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI.
Menurut dia, aturan PAW sudah diatur secara baku dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu sehingga semua pihak harus mengikutinya.
"Kalau terkait dengan PAW, sudah jelas aturan hukumnya. Kalau yang terpilih berhalangan tetap, meninggal, dan mengundurkan diri, penggantinya adalah yang memiliki suara terbanyak kedua," kata Saan di Jakarta, Jumat.
Dalam Pasal 426 Ayat 3 UU No. 7/2017 disebutkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diganti oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.
Saan mengatakan bahwa aturan PAW dalam UU Pemilu tersebut sudah baku sehingga kalau parpol tidak menghendaki seorang menjadi pengganti, ada mekanisme internalnya.
Ia mencontohkan parpol bisa meminta untuk mundur, atau kalau yang bersangkutan melakukan kesalahan, dilakukan pemecatan, lalu dilanjutkan ke KPU.
"Nanti KPU selama tidak ada gugatan hukum, langsung proses. Namun, kalau ada gugatan hukum, ditunda sampai selesai proses hukumnya," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya masing-masing pihak, seperti penyelenggara pemilu, partai politik, dan calon anggota legislatif paham dan menyadari bahwa tidak ada ruang "bermain" di level KPU untuk PAW.
Dalam perkara kasus dugaan suap terkait dengan PAW anggota DPR RI terpilih dari PDI Perjuangan periode 2019-2024, KPK menetapkan anggota KPU RI Wahyu Setiawan sebagai tersangka.
Wahyu diduga menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku agar menetapkan Harun menjadi anggota DPR asal Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I untuk menggantikan caleg DPR terpilih Fraksi PDIP dari Dapil Sumsel I, yaitu Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Untuk memenuhi permintaan Harun tersebut, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta. Namun, dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta.
Menurut dia, aturan PAW sudah diatur secara baku dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu sehingga semua pihak harus mengikutinya.
"Kalau terkait dengan PAW, sudah jelas aturan hukumnya. Kalau yang terpilih berhalangan tetap, meninggal, dan mengundurkan diri, penggantinya adalah yang memiliki suara terbanyak kedua," kata Saan di Jakarta, Jumat.
Dalam Pasal 426 Ayat 3 UU No. 7/2017 disebutkan bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diganti oleh KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota dengan calon dari daftar calon tetap partai politik peserta pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.
Saan mengatakan bahwa aturan PAW dalam UU Pemilu tersebut sudah baku sehingga kalau parpol tidak menghendaki seorang menjadi pengganti, ada mekanisme internalnya.
Ia mencontohkan parpol bisa meminta untuk mundur, atau kalau yang bersangkutan melakukan kesalahan, dilakukan pemecatan, lalu dilanjutkan ke KPU.
"Nanti KPU selama tidak ada gugatan hukum, langsung proses. Namun, kalau ada gugatan hukum, ditunda sampai selesai proses hukumnya," ujarnya.
Menurut dia, seharusnya masing-masing pihak, seperti penyelenggara pemilu, partai politik, dan calon anggota legislatif paham dan menyadari bahwa tidak ada ruang "bermain" di level KPU untuk PAW.
Dalam perkara kasus dugaan suap terkait dengan PAW anggota DPR RI terpilih dari PDI Perjuangan periode 2019-2024, KPK menetapkan anggota KPU RI Wahyu Setiawan sebagai tersangka.
Wahyu diduga menerima suap Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku agar menetapkan Harun menjadi anggota DPR asal Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I untuk menggantikan caleg DPR terpilih Fraksi PDIP dari Dapil Sumsel I, yaitu Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia.
Untuk memenuhi permintaan Harun tersebut, Wahyu meminta dana operasional sebesar Rp900 juta. Namun, dari jumlah tersebut, Wahyu hanya menerima Rp600 juta.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020
Tags: