Kuasa hukum Gabriella nilai dakwaan JPU KPK tidak tepat
9 Januari 2020 17:52 WIB
Terdakwa kasus dugaan suap proyek rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo Kota Yogyakarta, Gabriella Yuan Anna dalam sidang pembacaan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Hubungan Industrial Yogyakarta, Kamis. (FOTO ANTARA/Luqman Hakim)
Yogyakarta (ANTARA) - Tim kuasa hukum terdakwa kasus dugaan suap proyek rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo Kota Yogyakarta, Gabriella Yuan Anna Kusuma, menilai pasal yang digunakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjerat kliennya tidak tepat.
Sebelumnya, Gabriella Yuan Anna Kusuma yang merupakan Direktur Utama PT Manira Arta Mandiri dituntut JPU KPK dengan pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo pasal 2 UU 20/2001 Jo 64 KUHP dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp150 juta.
Baca juga: KPK dalami aliran dana dari eksekutif ke legislatif kasus suap jaksa
"Oleh karena itu, tidak tepat pula tuntutan hukuman terhadap terdakwa," kata Ketua Tim Kuasa Hukum Gabriella Yuan Ana, Widhi Wicaksono dalam sidang pembacaan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Hubungan Industrial Yogyakarta, Kamis.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Suryo Hedratmoko, Widhi mengatakan bahwa kliennya lebih tepat dikenai Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan hukuman lebih ringan.
Baca juga: KPK telusuri penerimaan suap lain oleh eks jaksa Eka Safitra
Menurut Widhi, kemenangan PT Widoro Kandang yang dibawahi Gabriella Yuan Ana dalam proyek Saluran Air Hujan (SAH) Jalan Supomo murni berkat proses lelang yang berlangsung secara "fair" tanpa ada campur tangan Eka Safitra selaku jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta atau anggota Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejari Yogyakarta.
"Sebagai orang yang pernah mengikuti proses lelang di Kota Surakarta, terdakwa (Gabriella) sudah tahu bahwa yang menentukan menang atau kalah suatu proyek adalah proses lelang secara elektronik," kata dia.
Baca juga: KPK panggil mantan anggota DPRD Yogyakarta terkait kasus suap jaksa
Gabriella, dalam kasus itu, menurut dia, hanya terkecoh dengan bujuk rayu Jaksa Eka Safitra yang menjanjikan bisa memenangkan proyek itu dengan meminta imbalan "fee" 8 persen yang kemudian disepakati 5 persen dari nilai proyek atau sebesar Rp221 juta.
Namun, lanjut dia, kenyataannya Gabriella dapat memenangkan proyek itu sendiri dengan memberikan potongan harga 23 persen. Sedangkan Eka Safitra justru menikmati sendiri seluruh uang yang diberikan Gabriella tanpa mendistribusikan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam proyek itu.
Hal itu dapat dibuktikan dengan tidak ada satupun pihak dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta atau pihak terkait lelang lainnya yang ditangkap.
"Jadi sebenarnya dari jaksa itu tidak ada hubungan. Tidak ada permainan. Kalau ada permainan, bantuan, bahkan memberikan kesempatan, pasti akan ditangkap semua," kata dia.
Oleh sebab itu, menurut dia, mengingat terdakwa tidak berbuat aktif untuk mencari proyek, melainkan hanya terkecoh dengan tawaran dan janji Jaksa Eka Safitra yang notabene tidak memiliki kewenangan dalam proyek itu, maka kliennya lebih tepat dikenakan pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999.
Hadir dalam sidang pembacaan pledoi, JPU KPK Bayu Satriyo. Dalam kesempatan itu, Bayu menegaskan bahwa JPU tetap berpegang pada tuntutan awal.
Setelah pledoi dibacakan, Hakim Ketua Suryo Hedratmoko menyatakan bahwa persidangan akan dilanjutkan pada 16 Januari 2020 dengan agenda pembacaan putusan terhadap terdakwa kasus dugaan suap proyek rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo Kota Yogyakarta, Gabriella Yuan Ana.
Sebelumnya, Gabriella Yuan Anna Kusuma yang merupakan Direktur Utama PT Manira Arta Mandiri dituntut JPU KPK dengan pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo pasal 2 UU 20/2001 Jo 64 KUHP dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp150 juta.
Baca juga: KPK dalami aliran dana dari eksekutif ke legislatif kasus suap jaksa
"Oleh karena itu, tidak tepat pula tuntutan hukuman terhadap terdakwa," kata Ketua Tim Kuasa Hukum Gabriella Yuan Ana, Widhi Wicaksono dalam sidang pembacaan pledoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan Hubungan Industrial Yogyakarta, Kamis.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Suryo Hedratmoko, Widhi mengatakan bahwa kliennya lebih tepat dikenai Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 dengan hukuman lebih ringan.
Baca juga: KPK telusuri penerimaan suap lain oleh eks jaksa Eka Safitra
Menurut Widhi, kemenangan PT Widoro Kandang yang dibawahi Gabriella Yuan Ana dalam proyek Saluran Air Hujan (SAH) Jalan Supomo murni berkat proses lelang yang berlangsung secara "fair" tanpa ada campur tangan Eka Safitra selaku jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta atau anggota Tim Pengawal, Pengamanan Pemerintah dan Pembangunan Daerah (TP4D) Kejari Yogyakarta.
"Sebagai orang yang pernah mengikuti proses lelang di Kota Surakarta, terdakwa (Gabriella) sudah tahu bahwa yang menentukan menang atau kalah suatu proyek adalah proses lelang secara elektronik," kata dia.
Baca juga: KPK panggil mantan anggota DPRD Yogyakarta terkait kasus suap jaksa
Gabriella, dalam kasus itu, menurut dia, hanya terkecoh dengan bujuk rayu Jaksa Eka Safitra yang menjanjikan bisa memenangkan proyek itu dengan meminta imbalan "fee" 8 persen yang kemudian disepakati 5 persen dari nilai proyek atau sebesar Rp221 juta.
Namun, lanjut dia, kenyataannya Gabriella dapat memenangkan proyek itu sendiri dengan memberikan potongan harga 23 persen. Sedangkan Eka Safitra justru menikmati sendiri seluruh uang yang diberikan Gabriella tanpa mendistribusikan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam proyek itu.
Hal itu dapat dibuktikan dengan tidak ada satupun pihak dari Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta atau pihak terkait lelang lainnya yang ditangkap.
"Jadi sebenarnya dari jaksa itu tidak ada hubungan. Tidak ada permainan. Kalau ada permainan, bantuan, bahkan memberikan kesempatan, pasti akan ditangkap semua," kata dia.
Oleh sebab itu, menurut dia, mengingat terdakwa tidak berbuat aktif untuk mencari proyek, melainkan hanya terkecoh dengan tawaran dan janji Jaksa Eka Safitra yang notabene tidak memiliki kewenangan dalam proyek itu, maka kliennya lebih tepat dikenakan pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999.
Hadir dalam sidang pembacaan pledoi, JPU KPK Bayu Satriyo. Dalam kesempatan itu, Bayu menegaskan bahwa JPU tetap berpegang pada tuntutan awal.
Setelah pledoi dibacakan, Hakim Ketua Suryo Hedratmoko menyatakan bahwa persidangan akan dilanjutkan pada 16 Januari 2020 dengan agenda pembacaan putusan terhadap terdakwa kasus dugaan suap proyek rehabilitasi saluran air hujan di Jalan Supomo Kota Yogyakarta, Gabriella Yuan Ana.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2020
Tags: