Walhi Sulsel: Abrasi di Galesong masih disebabkan penambangan pasir
7 Januari 2020 17:06 WIB
Sejumlah warga hingga anak-anak melakukan upaya penanganan terhadap abrasi yang terjadi di Dusun Kassi Lompo Desa Mappakalompo, Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. ANTARA Foto/Nur Suhra Wardyah
Makassar (ANTARA) - Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Wilayah Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amien mengatakan abrasi yang terjadi di pesisir pantai Galesong Kabupaten Takalar masih merupakan dampak dari aktivitas penambangan pasir.
"Abrasi terjadi karena gelombang air pasang yang tinggi. Abrasi di Galesong tahun ini tidak bisa dilepaskan dari aktivitas tambang, meski saat ini memang hal itu juga disebabkan oleh cuaca ekstrem," jelas Amien di Makassar, Selasa.
Sedikitnya 10 rumah di Desa Mappakalompo terancam terkena abrasi. Air laut pasang yang semakin naik ke bibir pantai hingga menghantam tembok rumah warga terjadi sejak malam pergantian tahun. Hal itu juga ditengarai cuaca ekstrem yang melanda wilayah laut Barat Sulawesi Selatan.
Berdasarkan pantauan Walhi Sulsel dari hasil diskusi yang digelar bersama nelayan setempat pada tahun 2019, kondisi perairan Galesong berangsur pulih. Meski demikian, pemulihan lingkungan secara alami tersebut dipastikan akan membutuhkan waktu yang sangat lama, 5 hingga 10 tahun.
"Ini karena sebelumnya ada rongga yang terbuka, lubang hasil penambangan harus tertutup agar perairan kembali normal. Jadi saat ini pemulihan itu masih berlangsung," tambah Amin.
Baca juga: Walhi : 1,03 juta penduduk Sulsel terdampak bencana ekologis
Baca juga: Seminar lingkungan Walhi-GYM ajak masyarakat selamatkan hutan
Baca juga: Pemerintah diminta turun tangan cegah kerusakan Spermonde
Menurut Amin, pemulihan lingkungan di perairan Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar itu juga ditandai dengan hasil tangkapan nelayan yang berangsur-angsur mengalami peningkatan pasca pengerukan pasir berhenti beroperasi.
Meski memang diakui bahwa hasil tangkapan nelayan itu tidak sebanyak enam bulan sebelum aktivitas tambang pasir dilakukan sejak 2017 lalu.
Sebelumnya, masyarakat sekitar telah menduga abrasi yang terjadi diakibatkan karena hadirnya tambang pengerukan pasir sejak 2017 yang kemudian berdampak semakin naiknya air laut ke bibir pantai Galesong, memecah tembok pemukiman warga setempat.
Seorang warga Desa Mappakalompo, Daeng Caya menyebutkan keadaan tengah laut yang semakin dalam lantaran pengerukan pasir laut mengakibatkan pasir di bibir pantai terus menurun dari tahun ke tahun, sehingga air laut semakin naik dan tidak lagi mampu tertahan oleh pasir di permukaan.
"Dulu ada sekitar tiga rumah di belakang rumah saya, sekarang airnya malah naik dan sudah sampai ke rumah. Pemilik rumah sebelumnya sudah pindah. Kita mau pindah tapi tidak punya uang beli tempat tinggal," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa tidak ingin pindah lantaran mata pencaharian suaminya bersumber dari laut. Suaminya yang harus mencari kepiting harus berangkat di malam hari ke laut lepas. Jika bermukim jauh dari laut, maka tentu hal ini akan menyulitkan mereka dalam proses mencari rezeki.
"Abrasi terjadi karena gelombang air pasang yang tinggi. Abrasi di Galesong tahun ini tidak bisa dilepaskan dari aktivitas tambang, meski saat ini memang hal itu juga disebabkan oleh cuaca ekstrem," jelas Amien di Makassar, Selasa.
Sedikitnya 10 rumah di Desa Mappakalompo terancam terkena abrasi. Air laut pasang yang semakin naik ke bibir pantai hingga menghantam tembok rumah warga terjadi sejak malam pergantian tahun. Hal itu juga ditengarai cuaca ekstrem yang melanda wilayah laut Barat Sulawesi Selatan.
Berdasarkan pantauan Walhi Sulsel dari hasil diskusi yang digelar bersama nelayan setempat pada tahun 2019, kondisi perairan Galesong berangsur pulih. Meski demikian, pemulihan lingkungan secara alami tersebut dipastikan akan membutuhkan waktu yang sangat lama, 5 hingga 10 tahun.
"Ini karena sebelumnya ada rongga yang terbuka, lubang hasil penambangan harus tertutup agar perairan kembali normal. Jadi saat ini pemulihan itu masih berlangsung," tambah Amin.
Baca juga: Walhi : 1,03 juta penduduk Sulsel terdampak bencana ekologis
Baca juga: Seminar lingkungan Walhi-GYM ajak masyarakat selamatkan hutan
Baca juga: Pemerintah diminta turun tangan cegah kerusakan Spermonde
Menurut Amin, pemulihan lingkungan di perairan Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar itu juga ditandai dengan hasil tangkapan nelayan yang berangsur-angsur mengalami peningkatan pasca pengerukan pasir berhenti beroperasi.
Meski memang diakui bahwa hasil tangkapan nelayan itu tidak sebanyak enam bulan sebelum aktivitas tambang pasir dilakukan sejak 2017 lalu.
Sebelumnya, masyarakat sekitar telah menduga abrasi yang terjadi diakibatkan karena hadirnya tambang pengerukan pasir sejak 2017 yang kemudian berdampak semakin naiknya air laut ke bibir pantai Galesong, memecah tembok pemukiman warga setempat.
Seorang warga Desa Mappakalompo, Daeng Caya menyebutkan keadaan tengah laut yang semakin dalam lantaran pengerukan pasir laut mengakibatkan pasir di bibir pantai terus menurun dari tahun ke tahun, sehingga air laut semakin naik dan tidak lagi mampu tertahan oleh pasir di permukaan.
"Dulu ada sekitar tiga rumah di belakang rumah saya, sekarang airnya malah naik dan sudah sampai ke rumah. Pemilik rumah sebelumnya sudah pindah. Kita mau pindah tapi tidak punya uang beli tempat tinggal," katanya.
Ia juga menegaskan bahwa tidak ingin pindah lantaran mata pencaharian suaminya bersumber dari laut. Suaminya yang harus mencari kepiting harus berangkat di malam hari ke laut lepas. Jika bermukim jauh dari laut, maka tentu hal ini akan menyulitkan mereka dalam proses mencari rezeki.
Pewarta: Nur Suhra Wardyah
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2020
Tags: