China dinilai mainkan pola okupasi efektif di laut natuna
4 Januari 2020 12:57 WIB
Pergerakan kapal Coast Guard China terlihat melalui layar yang tersambung kamera intai dari Pesawat Boeing 737 Intai Strategis nomor registrasi AI-7301 Skadron Udara 5 Wing 5 TNI AU, saat patroli udara di Laut Natuna, Sabtu (4/1/2020). ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Kupang (ANTARA) - Pengamat Hukum Internasional dari Universitas Nusa Cendana di Kupang, Dr Dw Tadeus, menilai saat ini China memainkan pola okupasi efektif untuk dapat menguasai wilayah Laut Natuna yang secara hukum internasional masuk dalam wilayah NKRI.
"China saat ini berusaha memainkan pola okupasi efektif agar bisa menguasai laut Natuna itu," katanya di Kupang, Sabtu.
Pola okupasi efektif kata dia adalah salah satu pola yang sering dijalankan banyak negara, dengan cara masuk ke wilayah negara lain untuk menguasai dan mengeksploitasi daerah itu, jika tak ada protes dari negara yang bersangkutan maka otomatis akan diambil-alih negara yang bersangkutan.
Baca juga: Pangkogabwilhan I tegaskan tidak perang di Natuna
Ia menjelaskan berdasarkan kesepakatan UNCLOS 1982 yang melibatkan 117 negara termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara, berlokasi di Montego Bay, Jamaika menyepakati wilayah Natuna masuk dalam wilayah NKRI.
Dalam UNCLOS 1982 disebutkan beberapa wilayah perairan yang dimiliki setiap negara pantai, termasuk Indonesia. Wilayah perairan itu meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen dan laut lepas.
Baca juga: Lima KRI amankan Perairan Natuna
Dosen hukum Internasional pascasarjana Universitas Nusa Cendana itu menilai negara berjuluk tirai bambu itu terlalu memaksakan kehendaknya untuk menguasai perairan Natuna yang menyimpan banyak sekali hasil laut seperti ikan.
"China sepertinya terlalu memaksakan kehendaknya untuk merebut laut itu walaupun bertentangan dengan kesepakatan 117 negara dalam UNCLOS," tambah dia.
Baca juga: TNI imbau nelayan Natuna tidak cemas
Saat ini Indonesia sendiri sudah mengirimkan lima kapal perang dan juga satu pesawat intai untuk menjaga wilayah itu agar tak dimasuki lagi oleh China.
Bahkan pada Kamis (2/1) lalu kapal perang Indonesia berhasil juga mengusir kapal patroli milik China yang masuk ke wilayah Natuna.
Baca juga: Kemarin, Siaga tempur di Natuna hingga ibu kota baru bebas banjir
Menanggapi itu Tadeus mengatakan pengiriman kapal perang dan pesawat intai adalah tindakan yang benar. Hanya saja, kembali lagi ke kedua negara itu apakah akan menyelesaikan masalah ini dengan diplomasi lunak atau dengan diplomasi keras.
"Dalam kehidupan ini hanya dua, jika ada masalah apakah mau diselesaikan secara damai atau diselesaikan secara perang. Tetap menurut saya soft diplomasi adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini agar tidak terjadi konflik kedua negara," ujar dia.
Baca juga: Kemarin, China langgar ZEE Natuna hingga investasi bodong Rp750 miliar
Ia pun menilai sikap Indonesia memanggil duta besar China di Indonesia untuk membicarakan masalah itu adalah bukti bahwa Indonesia berniat menyelesaikannya dengan cara diplomasi lunak.
Baca juga: Hikmahanto: Natuna Utara tidak diselesaikan di meja perundingan
"China saat ini berusaha memainkan pola okupasi efektif agar bisa menguasai laut Natuna itu," katanya di Kupang, Sabtu.
Pola okupasi efektif kata dia adalah salah satu pola yang sering dijalankan banyak negara, dengan cara masuk ke wilayah negara lain untuk menguasai dan mengeksploitasi daerah itu, jika tak ada protes dari negara yang bersangkutan maka otomatis akan diambil-alih negara yang bersangkutan.
Baca juga: Pangkogabwilhan I tegaskan tidak perang di Natuna
Ia menjelaskan berdasarkan kesepakatan UNCLOS 1982 yang melibatkan 117 negara termasuk Indonesia dan dua satuan bukan negara, berlokasi di Montego Bay, Jamaika menyepakati wilayah Natuna masuk dalam wilayah NKRI.
Dalam UNCLOS 1982 disebutkan beberapa wilayah perairan yang dimiliki setiap negara pantai, termasuk Indonesia. Wilayah perairan itu meliputi perairan pedalaman, laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif (ZEE), landas kontinen dan laut lepas.
Baca juga: Lima KRI amankan Perairan Natuna
Dosen hukum Internasional pascasarjana Universitas Nusa Cendana itu menilai negara berjuluk tirai bambu itu terlalu memaksakan kehendaknya untuk menguasai perairan Natuna yang menyimpan banyak sekali hasil laut seperti ikan.
"China sepertinya terlalu memaksakan kehendaknya untuk merebut laut itu walaupun bertentangan dengan kesepakatan 117 negara dalam UNCLOS," tambah dia.
Baca juga: TNI imbau nelayan Natuna tidak cemas
Saat ini Indonesia sendiri sudah mengirimkan lima kapal perang dan juga satu pesawat intai untuk menjaga wilayah itu agar tak dimasuki lagi oleh China.
Bahkan pada Kamis (2/1) lalu kapal perang Indonesia berhasil juga mengusir kapal patroli milik China yang masuk ke wilayah Natuna.
Baca juga: Kemarin, Siaga tempur di Natuna hingga ibu kota baru bebas banjir
Menanggapi itu Tadeus mengatakan pengiriman kapal perang dan pesawat intai adalah tindakan yang benar. Hanya saja, kembali lagi ke kedua negara itu apakah akan menyelesaikan masalah ini dengan diplomasi lunak atau dengan diplomasi keras.
"Dalam kehidupan ini hanya dua, jika ada masalah apakah mau diselesaikan secara damai atau diselesaikan secara perang. Tetap menurut saya soft diplomasi adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini agar tidak terjadi konflik kedua negara," ujar dia.
Baca juga: Kemarin, China langgar ZEE Natuna hingga investasi bodong Rp750 miliar
Ia pun menilai sikap Indonesia memanggil duta besar China di Indonesia untuk membicarakan masalah itu adalah bukti bahwa Indonesia berniat menyelesaikannya dengan cara diplomasi lunak.
Baca juga: Hikmahanto: Natuna Utara tidak diselesaikan di meja perundingan
Pewarta: Kornelis Kaha
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2020
Tags: