Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan perubahan lingkungan mempercepat siklus balik hujan ekstrem sehingga menyebabkan banjir karena daya lingkungan menurun.

"Memang benar hujan intensitas ekstrem itu ada siklusnya tetapi dari data kami nampaknya perulangan balik atau siklus itu semakin memendek yang biasanya 10 tahunan 20 tahunan menjadi datang hanya dalam waktu 5 tahun atau bahkan kurang, kenapa bisa demikian saya sependapat dengan Bapak Kepala BNPB meskipun hujannya tinggi itu alam tetapi perubahan lingkungan itu yang mempercepat siklus balik itu datang, jadi ada pengaruhnya," kata Dwikorita dalam acara peluncuran operasi Teknologi Modifikasi Cuaca untuk mereduksi curah hujan sebagai penanggulangan banjir Jabodetabek di Gedung BPPT, Jakarta, Jumat.

Menurut Dwikorita, perlu perilaku beradaptasi dan memitigasi serta memperhatikan peringatan dini dalam menghadapi berbagai potensi bencana sekaligus menjaga lingkungan

BMKG mencatat curah hujan pada 1 Januari 2020 di Jakarta tertinggi sejak 1996. Titik hujan tertinggi ini ada di Jakarta Timur.

Data dari beberapa titik pengukuran BMKG, curah hujan di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya memecahkan rekor tertinggi. Curah hujan tinggi menyebabkan banjir di sejumlah daerah yang luas di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.

Berikut data dari BMKG:

Halim Perdanakusuma: 377 mm/hari

Taman Mini: 335 mm/hari

Jatiasih: 259 mm/hari

Berikut ini data intensitas curah hujan pada saat terjadi banjir besar sejak 1996:

1996: 216 mm/hari

2002: 168 mm/hari

2007: 340 mm/hari

2008: 250 mm/hari

2013: 100 mm/hari

2015: 277 mm/hari

2016: 100 - 150 mm/hari

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengajak seluruh pimpinan daerah seperti bupati, kepala dinas, camat, kepala desa, tokoh agama, budayawan, tokoh pemuda untuk mengajak masyarakat untuk menghindar dari daerah-daerah yang sangat rawan bencana seperti warga yang tinggal di sekitar aliran sungai dapat dievakuasi ke tempat awan untuk menghindari bencana potensi banjir dan longsor.

Doni menuturkan banjir dan longsor juga dapat disebabkan oleh perubahan vegetasi karena alih fungsi lahan yakni perubahan kawasan hutan terutama kawasan konservasi menjadi perkebunan, pertanian dan tambang. Ini menyebabkan daya lingkungan tidak kuat menampung curah hujan yang tinggi.

"Inilah fenomena perubahan iklim, supaya kita menyadari jangan kita mengganggu alam, nanti alam akan menguji kita," ujarnya.

Bencana yang ada juga menjadi peringatan kepada semua pemimpin di daerah dan juga para pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha yang memperhatikan keseimbangan alam.

"Jangan sampai kita mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar tetapi justru dampak kerugian jiwanya juga besar," tuturnya.

Baca juga: Indef sebut lima sektor ekonomi kena imbas banjir Jabodetabek

Baca juga: ACT terapkan total disaster management dalam penanganan bencana banjir

Baca juga: Kementerian PUPR targetkan Bendungan Ciawi dan Sukamahi rampung 2020


Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menuturkan banjir disebabkan dua faktor utama yakni curah hujan dan daya dukung lingkungan.

"Kalau terjadi curah hujan tinggi dan daya dukung lingkungan yang tidak memadai, apalagi rusak, maka terjadilah banjir," ujar Thomas kepada ANTARA.

Jadi, daerah potensi banjir yang perlu diwaspadai adalah daerah dengan curah hujan tinggi dan atau daya dukung lingkungannya tidak memadai atau rusak.

Langkah antisipasi yang harus dilakukan adalah waspadai curah hujan tinggi yang mana informasinya dapat diperoleh dari BMKG atau Sadewa LAPAN dan membenahi daya dukung lingkungan berupa resapan air dan saluran pembuangan air.