Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Kaukus untuk Kebebasan Akademik Indonesia (KKAI) menyampaikan refleksi akhir tahun yang menyebutkan bahwa represi terhadap kebebasan akademik masih terjadi di tahun 2019 karena kebebasan akademik masih belum sepenuhnya dilindungi dalam kehidupan kampus, meskipun kebebasan itu tercantum dalam UU Nomor 12 tahun 2002 tentang Pendidikan Tinggi.

"Kebebasan akademik itu tercantum dalam pasal 8 ayat 1 dan ayat 3, sehingga seharusnya wajib dilindungi dan difasilitasi oleh pimpinan perguruan tinggi, bukan sebaliknya," kata Koordinator Sekretariat KKAI Dr Herlambang P. Wiratraman di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Selasa.

Baca juga: Rektor IPB sampaikan kebebasan akademik modal cetak SDM unggul

Baca juga: KKAI minta Pemerintah hargai kebebasan berpendapat

Baca juga: Keterangan Prof. Bambang Hero bagian dari kebebasan akademik


Menurutnya sepanjang tahun 2019, terdapat enam model kasus dominan yang berulang dan penting dicatat dengan lokasi dan jumlah korban yang tersebar baik menimpa dosen maupun mahasiswa.

"Kasus tersebut meliputi terbunuhnya mahasiswa massa aksi, persekusi, ancaman pembunuhan, kriminalisasi, gugatan tidak wajar (SLAPP/Strategic Lawsuit Against Public Participation), pembubaran pers mahasiswa, skorsing terhadap mahasiswa," tuturnya.

Ia mengatakan contoh kasus represi terhadap kebebasan akademik di antaranya teror dan intimidasi terhadap para akademisi yang mendorong petisi penolakan revisi UU KPK, kemudian mendukung pergerakan mahasiswa dalam menolak revisi UU KPK, RKUHP, dan sejumlah undang-undang lainnya.

"Teror tersebut dalam bentuk peretasan handphone, email, dan media sosial, terutama terhadap para dosen yang mendorong terselenggaranya aksi September 2019," katanya.

Tidak hanya itu, kasus penembakan dan pembunuhan terhadap massa yang melakukan demonstrasi, baik yang terjadi terhadap mahasiswa maupun pelajar dalam aksi September 2019.

"Di sisi lain, dalam konteks kebijakan, pasal dalam Undang-undang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sisnas Iptek) rawan dipolitisasi oleh pihak berwenang dengan alasan ‘keamanan nasional’, sehingga mengancam kebebasan akademik," ucap dosen Fakultas Hukum Unair Surabaya itu.

Herlambang mengatakan pada masa Pemerintahan Joko Widodo terutama di periode pertama masih belum menunjukkan komitmen terbuka mendukung civitas akademika di kampus.

"Sekalipun kebebasan akademik belum diatur secara detil dalam sistem hukum Indonesia, namun pemerintah seharusnya bertindak melindungi setiap warga negara, termasuk para insan akademis karena mereka memiliki ruang dan kebebasan bicara," katanya.

Menurutnya serangan-serangan terhadap insan akademis yang seharusnya menempatkan kampus sebagai benteng kebebasan akademik, memperlihatkan cara-cara represif ala rezim otoritarian, membungkam kritisisme, melumpuhkan solidaritas suara publik melalui gugatan dan proses hukum yang intimidatif (SLAPP).

"Apabila dibiarkan, maka bukan saja melanggar hak-hak asasi manusia, melainkan pula akan merobohkan sendi-sendi negara hukum demokratis," ucap anggota majelis etik AJI Jember itu.

Berbasis pada pengalaman 2019, lanjut dia, ada empat poin yang menjadi catatan KKAI yakni pertama, upaya memajukan kebebasan akademik di tahun-tahun mendatang masih dirasakan tidak akan mudah, karena tantangan dari feodalisme kampus, tradisi kebebasan yang belum terlindungi, serta politisasi dalam kebijakan dan penegakan hukumnya.

Kedua yakni kekerasan, intimidasi, penggunaan instrumen hukum sebagai represi, penangkapan, dan pembungkaman kritik, masih jamak terjadi, oleh sebab itu Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik (2017) yang telah di-endorse oleh komunitas akademik hak asasi manusia Asia Tenggara ( SEAHRN/Southeast Asian Human Rights Studies Network) di Kota Kinabalu, Malaysia, Maret 2018 lalu, menjadi mendasar dan penting, sehingga kampus diharapkan mentradisikan kuat kebebasan akademik berikut perlindungannya.

Ketiga, mendorong Pemerintah beserta jajaran aparat penegak hukum tetap berpegang pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, serta menggunakan kerangka hukum yang ada untuk menangkal potensi ekstrimisme, terorisme, atau tindakan kriminal lainnya. Sekalipun demikian, pemerintah tidak boleh sekadar menggunakan instrumen hukum untuk menekan insan akademis, atau cara-cara politisasi penegakan hukum.

"Keempat, mendorong pihak-pihak yang memiliki otoritas, baik di pemerintahan, aparat penegakan hukum, termasuk manajemen pendidikan tinggi, bisa menghormati dan melindungi kebebasan akademik karena tidak ada ilmuwan mampu mengembangkan proses saintifikasi secara baik, termasuk kampus berkompetisi secara luas di level dunia tanpa jaminan kebebasan akademik," ujarnya.