Jakarta (ANTARA News) - Tak sedikit kalangan yang mencibir atau tersenyum sinis ketika sebagai partai politik baru Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) memasang target perolehan 18 persen suara pada Pemilu 2009. Tapi Choirul Anam, sang ketua umum, bergeming.

"Dulu juga tak sedikit yang menyangsikan partai ini bisa berdiri, apalagi ikut Pemilu. Tapi, dengan kesungguhan dan kerja keras, dengan izin Allah, kami bisa membuktikan kalau kami bisa," kata Anam, politisi yang mantan wartawan tersebut.

Melalui perjuangan panjang, PKNU yang kini memiliki kepengurusan tingkat wilayah di 33 provinsi dan tingkat cabang di lebih dari 400 kabupaten/kota berhasil menjadi parpol peserta Pemilu dengan nomor urut 34.

Oleh karena itu, lanjut dia, juga bukan asal-asalan ketika Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) II PKNU di Jakarta pada 26-28 Mei 2008 lalu mematok target perolehan 18 persen suara asional. "Ini bukan mengada-ada, ada hitungannya," katanya.

Menurut Anam, angka 18 persen merupakan perolehan suara Partai NU pada Pemilu 1955. Pihaknya yakin, potensi suara pemilih NU masih berkisar di angka itu hingga sekarang. Sebagai representasi baru partai kalangan nahdliyin, kata dia, PKNU berpeluang merealisasikan potensi itu.

"Kita akan garap seluruh kantong NU," kata Anam. Ia menyebut ada sekitar 12 kantong NU yang tersebar di Indonesia, termasuk di luar Jawa seperti Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Suara terbanyak

Untuk mengejar target tinggi itu, salah satu strategi yang dijalankan PKNU adalah "memaksa" para calon anggota legislatif (Caleg) partai itu bekerja keras jika ingin lolos sebagai wakil rakyat, baik di DPR RI, DPRD Propovinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dengan menerapkan sistem suara terbanyak.

"Siapa yang suaranya terbanyak itu yang berhak atas kursi, kemudian disusul siapa suara terbanyak kedua dan seterusnya," katanya.

Meski demikian, pada dasarnya penerapan suara terbanyak di PKNU masih tetap berpegang pada UU yang mengatur Caleg, yakni yang memperoleh 30 persen suara BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) akan ditetapkan menjadi Caleg jadi.

Soal kemungkinan terjadi persoalan terkait aturan nomor urut di UU, PKNU telah menyiapkan antisipasi di internal partai. Seluruh caleg diwajibkan menandatangani surat pernyataan yang isinya mencakup dua hal, yakni tentang suara terbanyak dan bersedia tidak mau dilantik sebagai calon terpilih anggota DPR-RI, DPRD Propinsi atau DPRD Kab/Kota apabila bukan peraih suara terbanyak.

"Bagi yang jadi tapi bukan peraih suara terbanyak, kursinya diserahkan partai, dan partai yang akan menghadap KPU menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak bersedia dan kita ganti dengan yang meraih suara terbanyak," katanya.

Menurut Anam, pola yang diterapkan PKNU juga sudah sesuai dengan UU yang menyatakan proses pergantian antar waktu (PAW) bisa dilakukan karena mengundurkan diri, meninggal dunia, atau tidak memenuhi syarat.

"Kalau nanti misalkan ada yang mau menggugat dan sebagainya, maka di dalam pernyataan itu dicabut keanggotaannya. Kalau keanggotaannya kita cabut berarti Caleg tersebut sudah tidak bisa memenuhi persyaratan," katanya.

Partai kiai

Secara resmi PKNU berdiri tanggal 21 Nopember 2006 di Pondok Pesantren Langitan, Widang, Tuban, Jawa Timur. Kelahiran PKNU disepakati melalui akad dan mufakat (ittifaq) sejumlah ulama atau kiai, yang oleh karenanya partai ini menyebut diri sebagai partai kiai.

Namun, embrio pendirian partai ini sudah ada beberapa bulan sebelumnya, tepatnya ketika para kiai/ulama dalam rapat di Surabaya tanggal 6 September 2006 memberikan mandat kepada KH Abdullah Faqih (Langitan, Widang, Tuban) dan KH Abdurrochman Chudlori (Tegalrejo, Magelang) mempersiapkan pendirian partai baru setelah tak sejalan lagi dengan tokoh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Selaku partai yang secara fakta politik berdirinya tak lepas dari konflik internal di PKB, sulit bagi partai ini untuk mencegah publik menyebutnya sebagai partai sempalan PKB. Tak sedikit pula kalangan, termasuk dari kalangan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), meragukan kemampuan bertahan partai ini.

Namun, sejumlah pengurus PKNU berupaya keras menampik pandangan itu. Mereka berupaya meyakinkan publik bahwa partai ini didirikan bukan karena kalah bersaing di internal PKB, tapi lebih dikarenakan tidak lagi sejalannya pandangan politik mereka dengan sebagian pengurus PKB, termasuk dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

"PKNU bukan sempalan. Para ulama NU mendirikan partai ini disebabkan penilaian bahwa PKB yang dulunya diharapkan dapat memperjuangkan 'fikrah nahdliyyah' (prinsip NU), sekarang telah menyimpang. Ini justru partai yang didasarkan pada prinsip ke-NU-an," kata Rois Dewan Mustasyar DPP PKNU KH Ma'ruf Amin.

Ma'ruf juga menjelaskan, pendirian PKNU juga bukan untuk memenuhi syahwat politik kiai, tapi sebagai wadah perjuangan kiai, melanjutkan perjuangan ulama-ulama sebelumnya yang telah terukir dalam sejarah negara ini.

Ketua Dewan Syura DPP PKNU KH Abdurrohman Chudlori menyebutkan, bergiat di politik merupakan bagian dari tanggungjawab kiai. Dikatakannya, ada tiga tanggungjawab besar yang melekat dalam diri kiai, yang ketiganya saling berkaitan, yakni keagamaan, kebangsaan, dan keumatan. Kiai-kiai pesantren meletakkan semua garis perjuangannya di atas tiga landasan tersebut.

"Keterlibatan para kiai dalam upaya menuntaskan persoalan-persoalan kebangsaan didorong adanya tanggung jawab keagamaan untuk kemaslahatan rakyat. Pada titik ini jelas bahwa kiprah kiai di bidang sosial politik tidak menjadikan kekuasaan sebagai daya penggerak dan tujuan akhirnya. Inilah yang menjadi landasan utama dari gerakan politik kiai," katanya. (*)

Kepengurusan
Rois Musytasyar : KH Ma'ruf Amin
Ketua Dewan Syura : KH Abdurrohman Chudlori
Ketua Umum : Choirul Anam
Sekjen : Idham Cholied
Bendahara : Ridwan Zai
Nomor Urut : 34

Alamat DPP
Jl Kramat VI No. 8 Jakarta Pusat 10430
Telp : (021) 31923717
Fax : (021) 3905686
Website: www.pknu.org