Jakarta (ANTARA) - "Bagi saya tidak cukup hanya sampai ke B30," kata Presiden Joko Widodo ketika meluncurkan implementasi Program B30 di SPBU Pertamina, Jalan MT Haryono, Jakarta, Senin (23/12).

Pernyataan Presiden Jokowi itu menandakan implementasi bahan bakar ramah lingkungan harus dipercepat bahkan hingga 100 persen atau B100.

Secara bertahap, Kepala Negara menginginkan percepatan implementasi BBM kandungan nabati dan solar B40 tahun 2020 dan menyusul B50 awal tahun 2021.

Realisasi bahan bakar minyak (BBM) campuran 30 persen kandungan minyak sawit dan 70 persen solar itu lebih cepat dari rencana awal yakni Januari 2020.

Peluncuran B30 dilakukan setelah sebelumnya biodiesel B20 dipasarkan Agustus 2018.

Baca juga: Pemerintah pastikan harga biosolar tidak naik

Serangkaian tes hingga uji jalan menggunakan B30 sudah dilakukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) ESDM.

Balitbang ESDM melalui lamannya di Jakarta, Kamis (28/11) menyebutkan uji jalan B30 untuk kendaraan diesel dilakukan 13 Juni 2019.

Hasilnya, persentase perubahan daya konsumsi bahan bakar, pelumas, dan emisi gas buang relatif sama antara B20 dan B30 terhadap jarak tempuh kendaraan.

Kemudian, opasitas gas buang kendaraan pada penggunaan bahan bakar B30 masih berada di bawah ambang batas ukur dan tidak menunjukkan kenaikan yang signifikan.

Kendaraan berbahan bakar solar (Bo), B30 (monogliserida biodiesel 0,4 persen) dan B30 (monogliserida biodiesel 0,55 persen) dengan waktu didiamkan selama tiga, tujuh, 14 dan 21 hari dapat dinyalakan normal dengan waktu penyalaan sekitar satu detik.

Selain itu, kendaraan baru atau yang sebelumnya tidak menggunakan biodiesel cenderung mengalami penggantian filter bahan bakar lebih cepat di awal penggunaan B30 karena efek blocking namun, sesudahnya kembali normal.

Dengan hasil akhir itu, Kementerian ESDM memberikan rekomendasi hingga akhirnya Presiden Jokowi meluncurkan mandatori B30 lebih cepat pada 23 Desember 2019.

Efek berlipat

Presiden Jokowi tahu betul, gesitnya implementasi BBM ramah lingkungan itu akan mendorong perekonomian Indonesia lebih optimal.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengungkapkan ada sejumlah alasan program tersebut harus digenjot yakni Indonesia harus bisa lepas dari ketergantungan bahan bakar fosil yang suatu saat akan habis.

Untuk itu, pemerintah gencar mencari sumber-sumber energi baru terbarukan salah satunya dari sawit, sekaligus menjaga bumi dengan energi bersih yang dapat menurunkan kadar emisi karbon.

Baca juga: Peneliti nilai implementasi B30 tunjukkan keseriusan pemerintah

Penerapan biodiesel juga memberikan efek positif yakni mengurangi ketergantungan Indonesia dengan impor BBM termasuk solar yang tinggi.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan selama November 2019, nilai impor migas mencapai 2,13 miliar dolar AS atau naik 21,6 persen jika dibandingkan Oktober 2019.

Sedangkan, selama periode Januari-November 2019, nilai impor migas mencapai 19,75 miliar dolar AS atau turun 29,06 persen jika dibandingkan periode sama tahun 2018 mencapai 27,84 miliar dolar AS.

Meski menurun, selama 11 bulan tahun ini, BPS mencatat defisit neraca dagang Indonesia dari sektor migas masih tergolong besar mencapai 8,3 miliar dolar AS.

Hal ini disebabkan nilai impor migas Januari-November 2019 yang masih lebih tinggi mencapai 19,75 miliar dolar AS dibandingkan ekspor mencapai 11,4 miliar dolar AS.

Di sisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sawit terbesar di dunia.

Gabungan Pengusaha Kepala Sawit Indonesia (Gapki) menyebutkan per September 2019, produksi minyak sawit mencapai 36 juta ton atau naik 13 persen dibandingkan periode sama tahun 2018 dengan luas lahan sawit di Tanah Air mencapai sekitar 14 juta hektare.

Potensi itu harus dimanfaatkan untuk mendukung ketahanan dan kemandirian energi nasional.

Untuk itu, jika penerapan B30 konsisten dilakukan, Presiden Jokowi menyebut potensi devisa negara bisa dihemat mencapai sekitar Rp63 triliun, angka yang tidak sedikit pastinya.

Program B30 juga membawa efek ekonomi yang besar karena permintaan dalam negeri yang meningkat sehingga dampak berlipat dirasakan 16,5 juta petani dan pekebun kepala sawit di Tanah Air.

Indonesia juga tahan banting dari tekanan negara asing khususnya terkait kampanye negatif ekspor sawit RI karena pasar di dalam negeri yang besar.

Sementara itu, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati menambahkan tahun 2019, penghematan devisa dengan biodiesel mencapai Rp43 triliun dan tahun 2020 meningkat menjadi Rp63 triliun.

Emisi gas rumah kaca, kata dia, bisa dikurangi 14,25 juta ton karbon dioksida dan menambah penyerapan tenaga kerja.

Secara total, industri sawit menyerap 16-18 juta orang tenaga kerja dan dengan program B30, menambah tenaga kerja mencapai 1,2-1,4 juta orang.

Harga sawit dan B30

Implementasi biodiesel B30 turut membawa angin segar bagi petani sawit di Indonesia, salah satunya di Palembang, Sumatera Selatan.

Ketua Gapki Sumatera Selatan Harry Hartanto mengatakan harga minyak sawit mentah (CPO) bergerak positif hingga naik mencapai Rp9.023 per kilogram pada minggu pertama Desember 2019.

Sedangkan harga di tingkat petani berupa tandan buah segar, kata dia, mencapai Rp1.678 per kilogram.

Baca juga: Kenaikan harga sawit petani dipicu mandatori biodiesel

Sumatera Selatan berkontribusi sebesar lima juta ton CPO dari total produksi nasional mencapai 36 juta ton per tahun.

Sementara itu, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) mencatat serapan biodiesel dalam negeri diprediksi melonjak sebesar 50 persen menjadi 9,6 juta kilo liter seiring kebijakan mandatori B30.

Ketua Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan dalam kebijakan B20 sebelumnya, kebutuhan biodiesel sebagai bahan bakar kendaraan mencapai 6,4 juta kilo liter dengan total penghematan devisa mencapai 3,5 miliar dolar AS atau setara Rp51,75 triliun.

Meski permintaan sawit di dalam negeri meningkat, Menteri ESDM Arifin Tasrif memastikan mandatori biodiesel B30 itu tidak mempengaruhi kebijakan harga jual di masyarakat.

Harga jual B30 yang dikenal masyarakat biosolar tetap dijual mengikuti ketetapan harga yakni sebesar Rp5.150 per liter.

Sementara itu, untuk penyaluran B30, Pertamina bekerja sama dengan 18 Badan Usaha Bahan Bakar Nabati.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan BUMN itu menyiapkan 28 titik percampuran kandungan minyak nabati dari kepala sawit atau fatty acid methyl ester (FAME).

Sebanyak 28 titik itu di antaranya di Medan, Dumai, Siak, Teluk Kabung, Plaju, Panjang, Tanjung Gerem, Bandung Group, Tanjung Uban, Jakarta Group.

Kemudian di Cikampek, Balongan, Tasikmalaya Group, Cilacap Group, Semarang Group, Tanjung Wangi, Surabaya, Tuban, Boyolali, Rewulu, Bitung, Balikpapan Group, Kasim, Kotabaru Group, Makassar, Manggis, Kupang dan STS Pontianak.

Ia optimistis tahun 2020, biodiesel B30 bisa tersalurkan di seluruh Indonesia.

Jika mencermati dampak ekonomi dan keseriusan pemerintah terkait program B30, maka diharapkan Indonesia bisa mengurangi ketergantungan impor minyak.

Penurunan impor migas harus terus digenjot sehingga neraca perdagangan tidak lagi menanggung beban defisit.

Apalagi impor migas memiliki porsi besar selama tahun 2018 yang menyumbang 15,8 persen dari total impor Indonesia berdasarkan data dari BPS.