Jakarta (ANTARA) - Setelah Afrika, kini giliran Amerika Latin dan Karibia yang menjadi sasaran Indonesia dalam visi pengembangan pasar nontradisionalnya.

Pemilihan kawasan Amerika Latin dan Karibia bukannya tanpa alasan. Kawasan ini memiliki potensi besar dengan populasi 647 juta jiwa dan produk domestik bruto (PDB) mencapai 4,22 triliun dolar AS pada 2018.

Namun, total perdagangan Indonesia dengan negara-negara Amerika Latin dan Karibia baru senilai 7,6 miliar dolar AS atau 0,37 persen dari total perdagangan kawasan itu dengan dunia.

Sama halnya dengan perdagangan, volume investasi negara-negara Amerika Latin dan Karibia ke Indonesia pun terbilang kecil, hanya sekitar 2,8 juta dolar AS selama semester pertama 2019. Jumlah tersebut hanya mencakup 0,02 persen dari total investasi asing ke Indonesia sebesar 14,2 miliar dolar AS.

Minimnya informasi mengenai potensi pasar di Amerika Latin dan Karibia dan jarak yang jauh disebut sebagai kendala utama bagi Indonesia untuk mengembangkan kerja sama ekonomi dengan kawasan tersebut.

Padahal, Indonesia memiliki daya tawar yang cukup kuat di mata negara-negara Amerika Latin dan Karibia, mengingat jumlah penduduknya yang besar dan perkembangan ekonomi yang positif dalam beberapa tahun terakhir.

Indonesia, yang merupakan negara berpenduduk terbesar keempat dunia, diproyeksikan akan menduduki peringkat keenam dunia dari sisi PDB berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity/PPP) pada 2023. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan PDB Indonesia akan meningkat dari 3,5 triliun dolar AS pada 2018 menjadi 4,97 triliun dolar AS.

“Mereka (Amerika Latin dan Karibia) melihat kita bisa menjadi hub untuk masuk ke pasar ASEAN. Itu yang ingin kita kejar, makanya kita berupaya untuk lebih agresif sekarang,” kata Direktur Amerika II Kementerian Luar Negeri RI Darianto Harsono.

Berangkat dari semangat itu, pemerintah menginisiasi Forum Bisnis Indonesia-Amerika Latin dan Karibia (Indonesia-Latin America and the Caribbean Business Forum/INA-LAC) pada 14-15 Oktober 2019 untuk memperkuat diplomasi ekonomi di kawasan tersebut melalui penciptaan kesepakatan bisnis dan infrastruktur perdagangan seperti perjanjian bilateral.

Forum yang diselenggarakan di Serpong, Banten, bersamaan dengan gelaran tahunan Trade Expo Indonesia itu, menghasilkan kesepakatan dagang senilai 33,12 juta dolar AS di sektor kecantikan, makanan dan minuman, suku cadang, produk karet, serta furnitur.

Selain itu, forum tersebut membuahkan komitmen investasi senilai 5 miliar dolar AS dalam jangka waktu lima tahun untuk pertambangan nikel di Sulawesi, oleh perusahaan tambang asal Brazil.

Melalui kegiatan company visit, diskusi, business matching, serta business consultation yang diselenggarakan dalam Forum INA-LAC, Indonesia berupaya memitigasi berbagai tantangan seperti letak geografis, konektivitas, serta hambatan tarif dan non-tarif dengan negara-negara Amerika Latin dan Karibia.




Khusus untuk menangani hambatan tarif, pemerintah Indonesia terus melakukan penjajakan untuk perundingan perjanjian perdagangan dalam mekanisme PTA, FTA, maupun CEPA.

Sejauh ini, Indonesia tercatat baru memiliki satu perjanjian perdagangan dengan negara di Amerika Latin yaitu Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Chile yang ditandatangani pada Desember 2017.

Melalui IC-CEPA yang mulai berlaku 10 Agustus 2019, sebanyak 80,3 persen pos tarif Chile dan 86,1 persen pos tarif Indonesia dihapus.

Saat ini, Indonesia sedang menjajaki negosiasi CEPA dengan Peru, negosiasi preferential trade agreement (PTA) dengan Ekuador, serta CEPA dengan blok perdagangan MERCOSUR yang beranggotakan Brazil, Argentina, Paraguay, dan Uruguay.

Indonesia juga tercatat sedang menginisiasi negosiasi perdagangan dengan Ekuador, Kolombia, Meksiko, dan Panama.

Menurut mantan Wakil Menteri Luar Negeri RI AM Fachir, perjanjian perdagangan tersebut akan membantu mengatasi tingginya tarif yang mencapai 35 persen, dan disebutnya sangat tidak menarik bagi pelaku usaha kedua pihak.

“Karena itu kita perlu memfasilitasi agar tarifnya lebih murah, berbagai hambatan dikurangi seminimal mungkin sehingga para pelaku bisnis memiliki daya saing yang cukup dan tertarik untuk melihat peluang besar yang dapat diwujudkan,” tutur Fachir.

Forum tersebut juga menghasilkan beberapa kesepakatan yaitu kerja sama fasilitasi ekspor-impor antara Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)/Eximbank Indonesia dengan Bancoldex Kolombia; dimulainya dialog menuju pembentukan perjanjian perdagangan RI-MERCOSUR; dimulainya pembahasan TOR perundingan Partial Trade Agreement RI-Kolombia; serta kerja sama teknik dan pembangunan kapasitas masyarakat dan UMKM di Belize, Panama, dan Suriname.

Ke depannya, berbagai inisiatif kerja sama yang dihasilkan melalui Forum INA-LAC akan ditindaklanjuti pada 2020 dan tahun-tahun berikutnya, sebagai program kegiatan Kemlu RI yang menetapkan diplomasi ekonomi sebagai salah satu prioritas kebijakan luar negerinya.

Pelaksanaan Forum INA-LAC 2019 sejalan dengan arahan Presiden RI Joko Widodo untuk meningkatkan perdagangan dan investasi dengan pasar nontradisional Indonesia.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani menyebut kerja sama dengan Amerika Latin dan Karibia sangat potensial untuk diversifikasi produk dan pasar ekspor Indonesia ke depannya.

“Kita perlu mengeksplorasi pasar-pasar non-tradisional. Negara-negara pesaing kita seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam sudah mulai merambah ke pasar-pasar tersebut,” kata Shinta.

Baca juga: Hubungan ekonomi Indonesia dan Amerika Latin perlu ditingkatkan

Baca juga: Indonesia jajaki perdagangan multisektor dengan Amerika Latin, Karibia


Selain itu, memperkuat hubungan dengan pasar non-tradisional akan mengurangi tingginya ketergantungan ekspor Indonesia terhadap pasar-pasar tradisional seperti AS, Uni Eropa, dan China dan dikhawatirkan berdampak negatif bagi Indonesia apabila ekonomi atau kebijakan perdagangan negara-negara itu kurang menguntungkan.

“Kita perlu sekali diversifikasi ke pasar-pasar ekspor baru dan mengembangkan produk-produk baru untuk diekspor ke negara-negara yang standar barangnya tidak seketat pasar-pasar tradisional,” Shinta menambahkan.

Upaya untuk mengenali pasar dan memanfaatkan peluang pasar yang ada, kata dia, menjadi kunci keberhasilan diplomasi ekonomi Indonesia di pasar nontradisional.

Untuk Amerika Latin, misalnya, produk ekspor Indonesia harus bernilai tinggi dan kompetitif untuk mengurangi kekurangan daya saing karena biaya logistik akibat jarak geografis yang jauh.

Selain itu, negara-negara Amerika Latin dan Karibia umumnya tidak memiliki basis industri yang kuat sehingga potensi utama ekspor Indonesia ke kawasan itu adalah produk manufaktur seperti otomotif dan alat elektronik rumah tangga.

“Untuk itu kami harap pemerintah melalui perwakilan-perwakilan RI di luar negeri bisa lebih aktif memberikan informasi market intelligence kepada pelaku usaha nasional terkait peluang pasar, ketentuan pasar, hingga informasi tentang praktik perdagangan yang efisien, yang bisa membuat kita berdaya saing di negara-negara tersebut,” tutur Shinta.

Baca juga: Forum Indonesia-Amerika Latin hasilkan kesepakatan 33,12 juta dolar AS

Baca juga: LPEI jajaki potensi ekspor Indonesia ke Amerika Latin, Karibia