Rafa Ganyang Mentalitas Serba Boleh
29 Oktober 2008 20:48 WIB
Oleh A.A. Ariwibowo
Jakarta (ANTARA News) - Ingin menyesap kopi sambil menonton laga bola? Itu biasa. Ingin menikmati sensasi aduhai lantaran tersentak aksi satu dua pemain berbuah gol? Itu luar biasa, karena gol sebagai momen berlangsung sekali saja, tanpa ada duanya. Yang sangat luar biasa, bila laga bola menyuguhkan tontonan dan tuntunan.
Caranya? Silakan mencermati sebungkah kejutan saat Liverpool memukul Chelsea 1-0 di Stamford Bridge pada Minggu (26/10). Pasukan pelatih Rafael Benitez kini bertengger di posisi teratas klasemen Liga Inggris (Premier League) dengan 23 angka, tiga poin lebih banyak daripada Chelsea dan Hull City, yang berada di urutan kedua dan ketiga.
Capaian Liverpool itu mencemaskan Chelsea, juara bertahan Manchester United (MU), dan Arsenal. Dan Rafa buru-buru menenangkan mata hati para pemain asuhannya dengan membisikkan tiga kata simsalabim untuk mengundang "malaikat maut" guna mengganyang mentalitas serba boleh (permisivisme).
"Malaikat" Rafael tidak ingin para pemainnya dibuai iming-iming istana serba gemerlap fasilitas karena lawan berikutnya Portsmouth dalam pertandingan yang digelar di Stadion Anfield pada Rabu (26/10).
Menang, seri atau kalah, bagi Rafa begitu bermakna karena memperlihatkan seberapa digdaya The Reds mampu menyabet gelar juara Premier League untuk kali pertama. Lebih bermakna lagi, pelatih asal Spanyol itu menyuntikkan serum anti-mentalitas serba boleh. Pasukan Liverpool menjauhi semboyan dari mereka yang mengusung permisivisme.
Orang permisivistis seolah-olah berkata, "Biarkanlah saya serba boleh, seperti halnya saya membiarkan orang lain serba boleh." Mereka mengakui bahwa ada hukum dan peraturan etis beserta sanksi-sanksinya, meski enggan mematuhinya. Gaya hidup dan perilaku seperti ini tampil seksi karena terkesan melawan arus.
Padahal, masyarakat tidak mungkin hidup tanpa adanya nilai-nilai yang disepakati bersama dan dilaksanakan secara bersama.
Bagi Rafa, setiap keping hasil pertandingan sama dan sebangun dengan nilai-nilai etis dari lintas sejarah perjuangan hidup. Bukankah laga bola mengungkap cara perilaku dan cara hidup baik perorangan maupun kelompok. Laga bola mengomunikasikan makna dari sepak terjang manusia.
Boleh saja hanyut dalam euphoria kemenangan, namun jangan lupa daratan karena Liverpool kini justru berada dalam tekanan. Ini amunisi yang diisi Rafa kepada pasukannya. Delapan belas tahun penantian Liverpool bagi gelar Liga Primer. Ini jelas harapan yang dihidupi untuk diperjuangkan demi kejayaan dengan mencampakkan perilaku tujuan menghalalkan cara.
Pemain veteran Jamie Carragher seakan memperingatkan kepada skuad Liverpool agar tidak memperlakukan Portsmouth sebagai domba yang memberikan dirinya siap disembelih.
Sementara itu, Xabi Alonso, yang mencetak gol kemenangan ketika meladeni Chelsea, menyatakan, "Ini kemenangan begitu berarti, apalagi lawannya Chelsea, meski hanya tiga poin. Tiga poin melawan Chelsea begitu penting. Sama halnya ketika menghadapi Portsmouth pada Rabu. Semua lawan berbobot nilai sama. Kami harus berpikir mengenai laga pada Rabu dan tetap tampil tenang."
Carragher yang kini berusia 30 tahun meyakini bahwa Liverpool masih harus bekerja keras sebelum mampu membangun kehendak kuat memboyong gelar Liga Primer.
"Menaklukkan Chelsea berarti menghembuskan kepercayaan diri bagi kami meski kami menghidupi kenyataan dari setiap hasil pertandingan. Kami kini berada di puncak klasemen meski jalan pajang masih membentang. Chelsea dan United bertahun-tahun menguasai Liga Primer. Arsenal kini terus berjuang dan terus bertarung," katanya seperti diwartakan Reuters.
Sementara para pendukung Liverpool kini bersimbah senyum dan berhiaskan tawa, karena tim kesayangannya berakrab kemenangan, pengamat sepakbola Alan Hansen mengatakan Liverpool beroleh kesempatan terbaik dalam musim kompetisi ini.
Mantan bek tengah Skotlandia itu mengemukakan, "makna kemenangan asali dari sebuah perjuangan". Pernyataan ini dilontarkan karena Portsmouth kini tidak didampingi oleh Harry Redknapp yang telah hengkang ke Tottenham Spurs.
Striker Pompey, Jermain Defoe tampil menyemangati rekan-rekannya agar tetap fokus dan tidak terlalu terpateri kepada ketiadaan manajer. "Anda harus tampil profesional. Meski normalnya memang diperlukan kehadiran manajer," katanya.
"Harry bukan manajer yang baru kali ini saja meninggalkan klub. Kenyataan ini mengagetkan, tetapi anda harus tetap tampil bertanding karena dunia terus berputar."
Seperti omongan Defoe, skuad Portsmouth memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai kehendak kuat untuk meraih kemenangan dan memberi perlawanan. Meski Hansen menyatakan Rafa punya kemampuan sebagai ahli meramu strategi di lapangan, siapun pun lawannya.
"Liverpool menghadapi serangkaian batu ujian. Penampilannya dari hari ke hari menunjukkan grafik meningkat. Para pemain tampil penuh semangat. Ini modal penting bagi sebuah tim," kata Hansen.
"Harry telah membulatkan tekad. Ia harus menunjukkan diri dengan hasil kerja di klubnya itu. Kami telah memulainya dan kami perlu mengakhirinya juga," kata pemain belakang Portsmouth Sylvain Distin, seperti diwartakan AFP.
Kalau saja Rafa mengenyahkan mentalitas serba boleh, tiga sosok masing-masing Jamie Carragher, Xabi Alonso dan Jermain Defoe hendak menekankan bahwa orang yang kehendaknya tidak kuat mudah jatuh ke dalam godaan untuk tidak melaksanakan apa yang dipahami dan diyakini sebagai benar.
Baik Rafa maupun ketiga pemain itu menyadari bahwa seseorang yang tahu akan apa yang baik dan benar belum dengan sendirinya menjamin dapat bertindak baik dan benar pula. Keempat orang ini seakan "memahami" akan apa yang dikemukakan oleh filsuf Aristoteles sebagai "akrasia" (kelemahan kehendak).
Apakah Liverpool beroleh kemenangan? Jawabannya ya, bila pasukan Rafa memiliki kepekaan dan ketepatan penilaian suara hati dibengkokkan oleh napsu dan dorongan perasaan tidak teratur. Caranya? Pasukan The Reds tidak membiarkan diri dikuasai atau ditentukan oleh dorongan-dorongan perasaan spontan saja, seperti suka tidak suka, enak tidak enak, marah, benci atau iri hati, tetapi mencoba untuk menguasai diri.
Dan, Rafa tampil sebagai sosok yang melafalkan abjad keutuhan kepribadian para pemainnya dengan mengedepankan kredo bahwa untuk menjadi orang baik, kecerdasan otak atau kecemerlangan pikiran saja ternyata belum cukup untuk memenangi laga bola. Laga bola adalah laga perjuangan merengkuh kepribadian utuh, tidak terbelah.
Ilustrasinya seperti kencan pertama di sebuah kedai kopi. "Kami duduk menyeruput kopi beraroma mocha. Tak satu pun kami bicara, kami saling menatap. Tanpa sengaja dirimu mendapati bahwa ada sisa whipped cream di bibir atasku. Aku tertawa dan wajahmu tiba-tiba berubah karena dirimu meghapusnya dengan menggunakan selembar tisu kertas. Kami saling bertemu dalam terima kasih pada malam itu."
Kalau Rafa mengganyang mentalitas serba boleh, itu artinya pengetahuan yang benar perlu ditunjang oleh kejernihan hati dan kebeningan nurani. (*)
Pewarta:
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008
Tags: