Jakarta (ANTARA) - Lahirnya lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tak dapat dilepaskan dari krisis ekonomi dan keuangan 1998. Nilai tukar rupiah kala itu tembus sekitar Rp16.600 per dolar AS.
Bank Indonesia (BI) tak mampu melakukan intervensi pasar valas, lantaran cadangan devisanya terbatas dan sibuk membantu bank-bank yang akan kolaps, karena kesulitan likuditasnya.
Tugas dan fungsi BI bukan hanya mengatur cadangan devisa. Tetapi juga penyalur kredit (Kredit Likuiditas BI), pengawas operasional perbankan dan termasuk juga melakukan due deligence (uji tuntas) terhadap seseorang yang akan menjadi atau diangkat sebagai direksi dalam usaha perbankan itu.
Itulah sebanya saat terjadi krisis keuangan, BI tak mempunyai fokus untuk mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada level wajar.
Baca juga: BI, OJK dan LPS integrasikan pelaporan perbankan melalui Pelaporan.id
Presiden RI ketiga BJ Habibie, mengingatkan agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa depan. Oleh karenanya, pemerintahnya dalam waktu singkat menggagas, melakukan koreksi terhadap UU Perbankan No 10 Tahun 1998 sebagai penyempurnaan UU No. 7 Tahun 1992 tentang BI.
Dengan mengundang konsultan dari Jerman, Prof. Dr. Helmut Schlesinger mantan Direktur Bundesbank, yang lahir 4 Sepetmber 1924 itu kemudian menyarankan agar tugas dan fungsi BI dipersempit yakni hanya fokus kepada nilai tukar saja. (Andini, 2016).
Guna mengurangi tugas dan fungsi BI, tentu tidak mudah, karena selain ada industri perbankan, juga terdapat lembaga keuangan non bank, seperti Dana Pensiun, Asuransi, Pegadaian, Leasing dan Bursa Efek Indonesia beserta turunnya yang saat itu dikendalikan, dan diawasi oleh Cq Departemen Keuangan.
Dengan demikian, baik BI maupun Depkeu, masing-masing punya "mainan" dalam mengawasi atau melakukan uji tuntas kepatutan terhadap seseorang yang akan menjadi pimpinan lembaga keuangan tersebut.
Oleh karenanya, pembuatan lembaga baru yang namanya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidak mudah, butuh waktu 12 tahun sejak RUU BI yang menjadi UU No 23 Tahun 1999 tentang BI diundangkan.
Lahirnya OJK itu tampak lebih mulus setelah lahir UU No 3 Tahun 2004 tentang Bank Sentral, sebagai penyempurnaan UU BI No 23 Tahun 1999. BI dan Depkeu melakukan kompromi di bawah kendali Prof. Dr. Budiono sebagai Menteri Keuangan.
Sayangnya, setelah UU No 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan lahir, lembaga itu belum mampu menjalankan misinya, melakukan tugas pengawasan kepada lembaga keuangan agar tidak mudah melakukan moral hazard, (tipu-tipu investasi menguntungkan diri dan kelompoknya) dan bersikap fair atau adil kepada sesama lembaga jasa keuangan agar adanya kepastian dan kepercayaan kepada investor.
Di akhir tahun ini (2019) diperkirakan banyak investor pribadi dan korporasi mengalami kerugian atau mengalami selisih penilaian investasi (SPI) yang cukup signifikan karena Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia (BEI) diperkirakan turun, terjerembab di level 6000 poin dari perkiraan sebesar 7.000 poin, lantaran sikap OJK dinilai kurang adil dengan sesama lembaga keuangan yang berada di bawahnya.
Sikap pembiaran terhadap industri asuransi Jiwasraya yang mengalami kerugian sekitar Rp15,89 triliun dan tidak mampu membayar polis yang jatuh temponya lebih dari Rp12,4 triliun (Wina Armada, 2019), Bumiputra dan para pimpinan Manajer Investasi (MI) di bawah pengawasan OJK yang dinilai merugikan banyak investor individu dan korporasi yang melakukan pembelian polis, reksadana dan saham, merupakan contoh nyata terjadinya pembiaran atau ketidak optimalan OJK sebagai lembaga pengawas dan pengatur lembaga jasa keuangan di Indonesia.
Tulisan ini akan membahas masalah itu, reaktualisasi kelembagaan OJK yang tampak belum optimal dalam menjalankan tugasnya, belum mampu melindungi investor utamanya investor kecil yang ingin mengais keuntungan lewat pasar modal atau jaminan asuransi.
Baca juga: MK putuskan kewenangan penyidikan OJK konstitusional
Mengkaji Kelembagaan OJK
Di antara pertimbangan lahirnya UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK, mewujudkan sistem ekonomi nasional yang berkelanjutan, bersikap adil, melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat terhadap sikap-sikap moral hazard dari para pimpinan lembaga keuangan di Indonesia, karena dalam globalisasi saat ini, banyak orang lihai dalam menawarkan bentuk investasi dengan keuntungan tinggi, seperti menawarkan produk unit link, dan reksadana saham atau reksadana dengan pendapatan tetap dengan memanfaatkan jaringan internasional dan menggunakan teknologi tinggi.
Guna mewujudkan itu, UU OJK memberikan kewenangan seluas-luasnya terhadap lembaga itu untuk melakukan pengawasan, pengaturan termasuk di dalamnya melakukan due diligence terhadap seseorang yang ingin menjadi komisaris, direksi atau pengurus dalam lembaga keuangan itu.
Pasal 6 UU OJK antara lain menyebutkan, OJK melaksanakan pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dana pensiun dan indusri jasa keuangan lainnya yang beroperasi di Indonesia.
Singkat kata, sesungguhnya UU OJK ini bentuk miniatur dari omnibus law, karena sudah menyederhanakan peraturan dalam satu isu tertentu agar tidak tumpang tidih, yang dulunya berada di bawah BI dan Depkeu.
Tugas dan kewenangan yang begitu besar kepada OJk, juga didukung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal legalitas Pasal 49,50 dan 51 UU OJK soal kewenangan lembaga itu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap kejahatan di lembaga keuangan di bawahnya.
Dengan demikian semestinya OJK lebih berani, lebih independen, lebih transparan dalam melaksanakan tugasnya karena sudah punya landasan hukum yang kuat dan akuntabel.
Masalahnya, apakah yang menjadi ganjalan OJK belum mampu bertindak secara optimal terhadap tugas utamanya mengawasi dan memberikan sanksi kepada para pemilik perusahaan atau jasa keuangan di Indonesia ? Dalam ketentuan umum Bab I Pasal 1 ditegaskan, OJK adalah lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain.
Mungkinkah OJK dapat independen dan bebas dari intervensi pihak lain ? Rasanya sulit jika yang melakukan moral hazard, penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan itu dilakukan oleh badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Jiwasraya, Garuda dan BUMN lainnya. OJK juga rasanya tidak mungkin akan melawan "perintah" dari orang kuat karena komisionernya saat direkrut dilaksanakan oleh Pemerintah Cq Presiden.
Itulah salah satu kesulitan OJK belum mampu mengoptimalkan tugasnya, karena masih ada kelemahan dalam UU No 21 Tahun 2011 tentang OJK khususnya soal rekrutmen, pembiayaan oleh pemerintah dan swasta dan kedududukannya sebagai lembaga.
Rekomendasi mantan Direktur Bundesbank, Helmut Schelesinger, untuk memisahkan tugas dan wewenang BI dan Departemen Keuangan terhadap indusri keuangan akan tepat jika hukum di Indonesia berjalan seperti di Jerman.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita (2012) mengutip pendapat Lawrence Friedman, bahwa sistem hukum itu dipengaruhi tiga hal, yakni struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
Struktur dimaksudkan Friedman, termasuk di dalamnya lembaga legislasi, lembaga pengadilan dan juga kepolisian, sementara substansinya, adalah materi dan proses dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, sementara budaya hukum merujuk perilaku masyarakat, budaya dan norma yang terjadi di Indonesia.
Helmut mungkin lupa, bahwa banyak hukum yang diproduk oleh legislasi dari negara-negara Eropa lebih bersifat "law for all", yakni hukum untuk semua orang atau kelompok, bukan sebagai "law of all", hukum dimaksudkan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Itulah pentingnya mereaktualisasi UU OJK jika dinilai masih berbau law of all, yang pada akhirya membuat investor kecil mengalami kerugian dalam berinvestasi.
*) Theo Yusuf MS SH adalah wartawan utama dan kandidat Doktor Hukum dari Univ Pasundan Bandung
Baca juga: OJK: Merger BPR dan BPRS diharapkan jadi ujung tombak pembiayaan UMKM
Telaah
Reaktualisasi OJK dalam melindungi investor
Oleh Theo Yusuf MS SH
22 Desember 2019 18:06 WIB
Logo - Otoritas Jasa Keuangan (OJK). ANTARA/ojk.go.id/pri.
Copyright © ANTARA 2019
Tags: