Jakarta (ANTARA News) - Partai yang mengusung ideologi Marhaenisme ini, pertama kali dibentuk oleh Soekarno dkk pada bulan Juli 1927 di Bandung. Inilah salah satu gerakan politik di era pra kemerdekaan Indonesia yang mengambil posisi `non koorporasi` dengan pihak kolonial Belanda. Tujuannya jelas cuma satu: Indonesia Merdeka sekarang juga!. Hanya setahun setelah pembentukannya, Soekarno yang kemudian lebih populer di mata rakyat jelata Indonesia dengan panggilan Bung Karno, menggerakkan kawan-kawan mudanya, untuk menghimpun kekuatan kebangsaan, sekaligus mengikrarkan "Sumpah Pemuda: Satu Bangsa, Satu Bahasa, Satu Tanah Air, Tumpah Darah Indonesia". Perjuangan kebangsaan ini terus mengalami pasang surut, termasuk partainya (Partai Nasional Indonesia = PNI) menghadapi banyak tekanan oleh penguasa Belanda, sehingga beberapa kali mesti berubah bentuk, wujud serta nama. Termasuk pernah jadi Partai Indonesia = Partindo, juga ada yang mengembangkan Pendidikan Nasional Indonesia = PNI bersama Moh Hatta atau Bung Hatta. Tantangan demi hambatan pun terus dihadapi dengan sabar serta tangguh. Lalu akhirnya atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Bung Karno berhasil memproklamasikan Kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945. Sayangnya, pasca Proklamasi Kemerdekaan RI itu, Bung Karno malah lebih condong membentuk Partai Pelopor, sebagaimana dinyatakannya di akhir Agustus 1945. Meskipun begitu, kader-kader dan simpatisan PNI yang telah menyebar ke berbagai pelosok, dari Papua hingga Sumatera, Talaud sampai Timor, terutama para loyalis Soekarno, atau Soekarnois, bergabung dengan para kader marhaenisme (Marhaenis), konsisten mengeksiskan partai perebut serta pencetus kemerdekaan RI ini. Kebesaran PNI terbukti pada era 1950-an, ketika dia menjadi nomor satu dalam perolehan suara pada Pemilihan Umum (Pemilu) pertama (1955). Dia pun memelopori kaum nasionalis Indonesia untuk konsisten kepada dasar negara Pancasila serta mendorong Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden, 5 Juli 1959 berisi: "Kembali ke Undang Undang Dasar (UUD) 1945!". Memasuki dekade 1960-an, hegemoni PNI terganggu oleh munculnya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang bertarung terbuka di panggung politik Indonesia berhadap-hadapan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Titik kulminasinya terjadi pada tahun 1965, Bung Karno dan juga termasuk PNI beserta jajarannya, terjebak pada posisi yang sulit bergerak. Mereka di`-fait a compli` oleh situasi yang dikatakan sendiri oleh Bung Karno sebagai masa `vivere peri coloso` (hidup `nyerempet-nyerempet` bahaya). Situasi politik nasional `chaos` oleh apa yang disebut sebagai Gerakan 30 September (G 30 S) atau ada pula menyebutnya dengan Gerakan Satu Oktober (Gestok). Yang pertama dianggap digerakkan oleh Politbiro (CC)-PKI. Sedang yang kedua, katanya oleh sekelompok kekuatan `anti Dewan Jenderal`. Sampai sekarang, dualisme ini dan misteri di seputar kejadian itu belum tuntas dalam berbagai arena perdebatan. PNI dan `De-Soekarnonisasi` Situasi internal bangsa sejak saat ini tidak kondusif bagi PNI untuk terus berkembang. Apalagi ada `pressure` dari rezim Soeharto yang mengambil alih kekuasaan dari Bung Karno (tanpa lewat Pemilu), untuk melakukan proses `de-Soekarnonisasi` secara tersistem. "Banyak tokoh PNI yang dituding kekiri-kirian, progresif dan ekstrim, ditangkap lalu dijebloskan ke penjara bersama kader-kader PKI. Lebih banyak yang tak mengalami proses pengadilan sah, ketimbang yang diadili resmi," ulas Yano Bolang, salah seorang kader PNI, dalam sebuah tulisannya (1995). PNI di era Orde Baru, praktis `mati syahid`. Apalagi kemudian ada kebijakaan amalgamasi partai-partai, lalu PNI dimasukkan ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) bersama-sama Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katolik, Partai Murba, dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indoensia (IPKI), di awal 1970-an. Situasi ini merupakan bagian strategis dari upaya `de-Soekarnonisasi` secara ideologi, di samping aksi bakar-bakaran kantor partai maupun buku-buku berbau Bung Karno di seantero Nusantara. Pak Harto kemudian tumbang oleh gerakan reformasi total di akhir dekade 1990-an, setelah pada medio 1980-an sempat menawarkan kepada salah satu anggota keluarga Bung Karno, yakni Rachmawati Soekarnoputri, untuk membentuk kembali PNI. (Yano Bolang, 1995). Kemudian, pada tahun 1998, PNI dihidupkan kembali dan mengikuti Pemilu tahun 1999 dengan nama PNI Soepeni. Tokoh perempuan nasionalis ini, dikenal sebagai salah satu orang dekat Bung Karno, dan pernah menjadi duta keliling di era kekuasaannya. Dengan modal apa adanya, PNI Soepeni yang mendapat nomor peserta Pemilu Legislatif (Pileg) di urutan satu (1), hanya mendapat 0,36 persen suara rakyat secara nasional. Sesuai dengan Undang Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2002, PNI Soepeni akhirnya terganjal untuk tidak diperbolehkan mengikuti Pemilu 2004. Namun, sebagaimana jadi `trend` di masa reformasi, yakni adanya kebebasan untuk mendirikan partai dan seterusnya, akhirnya partai ini ikut-ikutan mengubah wujud serta nama. "Nama baru pun dicanangkan dengan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNI Marhaenisme) dan mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2004 dan berhasil lolos dari verifikasi serta memenuhi persyaratan yang ditentukan," ungkap salah satu aktivis PNI Marhaenisme ketika itu, Dipa Riung. Bersama salah satu tokoh perempuannya waktu itu, Nino Bolang-Manoppo, dia menegaskan, partai ini berlandaskan perjuangan marhaenisme. "Yakni memberikan prioritas kepada perbaikan nasib buruh, petani dan nelayan dalam programnya," tandasnya. Selain itu, PNI Marhaenisme juga menekankan memperjuangkan terselenggaranya pemerintahan yang bebas dari KKN. "Juga mengembangkan nasionalisme Indonesia yang tidak chauvinistik," tegasnya lagi. Target Satu Fraksi Secara resmi, PNI Marhaenisme, atau dalam format di Komisi Pemilihan Umum (KPU) disingkat PNI-M ini, didirikan kembali pada tanggal 20 Mei 2002 di Jakarta. Pengesahan atas eksistensi PNI-M dilakukan melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Kehakiman dan HAM, Nomor M.UM.06.08 - 197, tertanggal 28 Agustus 2002, serta tercata dalam Berita Negara Nomor 80, Tanggal 3 Oktober 2002. Sesuai data di KPU, partai ini memiliki lambang kepala banteng sedang bergaya menandu, disertai dengusan yang mengilustrasikan kekuatan serta tenaga rakyat. PNI-M mendapat nomor urut 15, dan memiliki cabang di 24 provinsi. Sejak didirikan pada 2002 lalu, Ketua Umum DPP PNI-M tetap dijabat salah satu putri Bung Karno, yakni Sukmawati Soekarnoputri. Sedangkan sekretarisnya telah berpindah tangan dua kali, dan kini dijabat Ardy Muhammad. Azas PNI-M, sudah jelas, yakni "Marhaenisme ajaran Bung Karno". Karenanya, dengan menyandang misi "Kaum Marhaen Indonesia Bersatulah!", Ardy Muhammad, memasang target satu fraksi di DPR RI. "Target kami tidak muluk-muluk. Kami berusaha capai lolos ET dan PT, serta minimal dapat satu fraksi di Dewan," tandasnya. Ia menambahkan, di banyak daerah, dengan upaya yang masih biasa-biasa di Pemilu 2004 lalu, partainya telah berhasil mencapai satu fraksi DPRD. "Terutama di beberapa kabupaten, kota maupun provinsi di bahagian Timur Indonesia," ungkapnya. Ardy Muhammad mengakui, kantong-kantong PNI-M ada di Indonesia Timur, utamanya Papua, Maluku dan Bali. "Aura Soekarno ada di sana. Massa besar marhaen dan Soekarnois ada di sana. Belum lagi di Jawa tentunya Sulawesi," ujarnya lagi. Tentang adanya perpecahan yang berklimaks pada menjelang penentuan kepesertaan Pemilu Legislatif (Pileg) 2009, ia mengatakan, itu merupakan sebuah dinamika. "Rekonsiliasi diupayakan dengan kawan-kawan yang sempat berdiri sendiri itu. Tunggu saja tanggal mainnya. Kami menghendaki kita semua satu. Yah, Kaum Marhaein Indonesia, bersatulah," tandasnya setengah berteriak. (*) Visi dan Misi PNI-M berkantor di Jalan Gudang Peluru Raya B1 Nomor 7B, Tebet, Jakarta Selatan, telepon 83795157 ini mengusung lima visi dalam pergerakan politiknya. Pertama, membentuk citra partai yang konsisten dengan perjuangan rakyat Indonesia sesuai dengan cita-cita perjuangannya, dan sebagai partai alternatif abad ke-1 yang mampu menjawab tantangan dan permasalan bangsa. Kedua, menegakkan, membela dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Ketiga, memperjuangkan terlaksananya kesejahteraan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga terwujud suatu masyarakat yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yaitu Masyarakat Pancasila / Masyarakat Marhaenistis. Keempat, memperjuangkan tegaknya kedaulatan lembaga perwakilan, kedaulatan hukum dan hak azasi manusia serta penyelenggaraan negara bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme, manipulasi, orotiter, sehingga terwujud pemerintahan yang bersih, adil dan berwibawa. Kelima, memperjuangkan tata dunia baru yang aman, damai dan sejahtera berdasarkan kebangsaan, kemerdekaan, kedaulatan, demokrasi Pancasila, perikemanusiaan dan keadilan sosial. Partai yang pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2004 mengusung Ir Siswono Judo Husodo sebagai calon presiden (Capres) ini, belum menetapkan secara resmi siapa Capres menghadapi Pilpres 2009 mendatang. Namun, lanjut Ardy Muhammad, PNI-M yang didirikan Jakarta (20 Mei 2002) setelah kemudian dideklarasikan di Semarang (2 Maret 2003) itu, pada saat tepat, akan menentukan siapa Capresnya. "Tunggu saja. Yang penting, sekarang kita serukan dulu: wahai Kaum Marhaen Indonesia, Bersatulah. Inilah amanat agung dari junjungan kita, Bung Karno, Bapak Marhaen Indonesia, Penggali Pancasila, dan Proklamator Kemerdekaan RI," kata Ardy Muhammad lagi.(*)