Tol layang Japek bergelombang untuk akomodir batas kecepatan kendaraan
20 Desember 2019 16:17 WIB
Foto Udara Tol Layang (Elevated) Jakarta-Cikampek (Japek) II di Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (15/12/2019). Tol Layang Japek II mulai beroperasi untuk kendaraan golongan I tanpa tarif dengan minimum kecepatan 60 km dan Maksimum 80 km per jam. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/foc/aa.
Jakarta (ANTARA) - Jalan tol layang Jakarta-Cikampek (Japek Elevated) sepanjang 36,4 kilometer dipastikan aman dan nyaman digunakan meski kondisinya bergelombang karena didesain untuk mengakomodir batas kecepatan kendaraan yang ditetapkan 60-80 km per jam.
Direktur Operasi II PT Waskita Karya Tbk Bambang Rianto dalam wawancara dengan Antara di Jakarta, Jumat, menjelaskan jalan tol layang terpanjang di Indonesia itu dibangun sesuai aturan dan regulasi yang ada berdasarkan klasifikasinya.
"Jalan tol layang ini termasuk dalam kota yang kecepatannya 60-80 km per jam. Beda dengan tol luar kota yang bisa 100-120 km per jam. Atas dasar itulah maka harus dilihat turunan regulasinya guna mendukung kecepatan tersebut," jelasnya.
Baca juga: Jasa Marga lengkapi Tol Layang Japek II dengan empat "parking bay"
Bambang mengungkapkan pembangunan jalan tol layang sepanjang 36,4 meter itu memang rumit karena mau tidak mau harus dibangun di atas konstruksi lain seperti simpang susun, jembatan penyebrangan orang (JPO) dan jalan tol eksisting.
Masalahnya bertambah rumit karena sisi kanan maupun kiri jalan tol eksisting tak bisa digunakan karena sudah ada konstruksi LRT dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Sementara di bagian atas juga terdapat SUTET yang mengalirkan pasokan listrik untuk Jawa dan Bali.
Kendati diputuskan dibangun di atas, harus ada "clearance area" setinggi 5,1 meter sehingga total tinggi jalan tol layang itu akan setinggi 18 meter.
"Kalau membangun di situ, itu sama saja dengan berkendara di lantai lima gedung. Bayangkan menyetir di atas lantai lima, belum ada angin dan lainnya. Maka kemudian desain jalan tol dibuat seefisien mungkin tapi tetap aman," ungkapnya.
Baca juga: Meski agak naik turun, BPJT sebut Tol Layang Japek aman dilalui
Dengan perhitungan itulah maka geometrik jalan didesain sesuai dengan regulasi yang ada. Dari batas kecepatan yang ditetapkan, kelandaian maksimal mencapai 4 persen dengan jarak pandang henti tak kurang dari 110 meter.
"Jadi saat naik, pengemudi melihat lintasan yang paling atas itu jaraknya 110 meter ke depan, saat turun juga masih lihat yang jauh 110 meter. Sehingga kalau terjadi sesuatu dia bisa respon dengan jarak yang cukup. Itulah mengapa desainnya bergelombang, tapi masih dalam standar teknis," jelasnya.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan kontur jalan tol layang yang tak mulus disebabkan oleh expansion joint (sambungan) yang lebarnya mencapai 1-1,4 meter untuk meredam getaran gempa.
Expansion joint yang lebar itu dipilih untuk mengakomodir jarak tol yang panjang.
"Jadi di sinilah kami lebih mengusung yang namanya keamanan, kami desain yang efisien tapi aman. Masalah kenyamanan kami pilih yang optimal tapi untuk keamanan, keselamatan, kami pilih dengan skor tertinggi," pungkas Bambang.
Direktur Operasi II PT Waskita Karya Tbk Bambang Rianto dalam wawancara dengan Antara di Jakarta, Jumat, menjelaskan jalan tol layang terpanjang di Indonesia itu dibangun sesuai aturan dan regulasi yang ada berdasarkan klasifikasinya.
"Jalan tol layang ini termasuk dalam kota yang kecepatannya 60-80 km per jam. Beda dengan tol luar kota yang bisa 100-120 km per jam. Atas dasar itulah maka harus dilihat turunan regulasinya guna mendukung kecepatan tersebut," jelasnya.
Baca juga: Jasa Marga lengkapi Tol Layang Japek II dengan empat "parking bay"
Bambang mengungkapkan pembangunan jalan tol layang sepanjang 36,4 meter itu memang rumit karena mau tidak mau harus dibangun di atas konstruksi lain seperti simpang susun, jembatan penyebrangan orang (JPO) dan jalan tol eksisting.
Masalahnya bertambah rumit karena sisi kanan maupun kiri jalan tol eksisting tak bisa digunakan karena sudah ada konstruksi LRT dan kereta cepat Jakarta-Bandung. Sementara di bagian atas juga terdapat SUTET yang mengalirkan pasokan listrik untuk Jawa dan Bali.
Kendati diputuskan dibangun di atas, harus ada "clearance area" setinggi 5,1 meter sehingga total tinggi jalan tol layang itu akan setinggi 18 meter.
"Kalau membangun di situ, itu sama saja dengan berkendara di lantai lima gedung. Bayangkan menyetir di atas lantai lima, belum ada angin dan lainnya. Maka kemudian desain jalan tol dibuat seefisien mungkin tapi tetap aman," ungkapnya.
Baca juga: Meski agak naik turun, BPJT sebut Tol Layang Japek aman dilalui
Dengan perhitungan itulah maka geometrik jalan didesain sesuai dengan regulasi yang ada. Dari batas kecepatan yang ditetapkan, kelandaian maksimal mencapai 4 persen dengan jarak pandang henti tak kurang dari 110 meter.
"Jadi saat naik, pengemudi melihat lintasan yang paling atas itu jaraknya 110 meter ke depan, saat turun juga masih lihat yang jauh 110 meter. Sehingga kalau terjadi sesuatu dia bisa respon dengan jarak yang cukup. Itulah mengapa desainnya bergelombang, tapi masih dalam standar teknis," jelasnya.
Lebih lanjut, Bambang menjelaskan kontur jalan tol layang yang tak mulus disebabkan oleh expansion joint (sambungan) yang lebarnya mencapai 1-1,4 meter untuk meredam getaran gempa.
Expansion joint yang lebar itu dipilih untuk mengakomodir jarak tol yang panjang.
"Jadi di sinilah kami lebih mengusung yang namanya keamanan, kami desain yang efisien tapi aman. Masalah kenyamanan kami pilih yang optimal tapi untuk keamanan, keselamatan, kami pilih dengan skor tertinggi," pungkas Bambang.
Pewarta: Ade irma Junida
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: