Seruthur, India (ANTARA) - Saranya baru berusia sembilan tahun ketika gelombang dahsyat menghantam desa keluarganya di negara bagian Tamil Nadu, India selatan saat Boxing day 2004.
"Air merampas segalanya," kata Saranya, yang kehilangan empat saudara kandung dan rumah keluarganya akibat tsunami dahsyat, yang menelan lebih dari 230.000 orang diseluruh pantai di sejumlah negara Asia.
Di India, distrik Nagapattinam tempat desanya berada menjadi lokasi yang paling parah terkena bencana, dengan lebih dari 6.000 kematian, yang kebanyakan dari keluarga nelayan yang tinggal hanya hitungan meter dari bibir pantai.
Reuters mengikuti Saranya, yang hanya menggunakan satu nama, dan perjalanan keluarganya sejak bencana alam mengubah hidup mereka selamanya.
Ayahnya yang seorang nelayan mengalami kesulitan ekonomi. Sementara uang, makanan dan tempat tinggal yang diberikan oleh organisasi bantuan dan pemerintah membantu selama beberapa tahun, Saranya harus memutar otak untuk membantu menafkahi saudaranya yang baru lahir pasca tsunami. Ibunya meninggal pada 2017.
Ada pula tagihan medis untuk saudaranya Mohan, yang merupakan penyandang disabilitas.
"Pasca tsunami, kami mendapat sejumlah uang yang layak dan menjalani hidup dengan baik-baik saja. Namun begitu uang itu habis, kami mulai sengsara," kata Saranya, yang kini telah menikah dan mengandung anak pertamanya.
Menurutnya, kesedihan dan tantangan untuk memenuhi kebutuhan dapat menjadi lebih berat.
"Saya selalu khawatir dengan saudara kandung saya saat ayah kami tak memberikan uang untuk pendidikan atau makanan mereka," kata Saranya, menambahkan ia memahami bahwa sang ayah sangat terpukul atas bencana tersebut dan ia menerima keterbatasannya.
"Kini hidup benar-benar sulit."
Sumber: Reuters
Baca juga: Wartawan Aceh gelar doa untuk korban tsunami 2004
Baca juga: Ratusan WN Thailand korban tsunami dahsyat 2004 tidak teridentifikasi
Perjuangan perempuan India pascatsunami 15 tahun merampas segalanya
18 Desember 2019 18:56 WIB
Tanda bahaya zona tsunami. (Wikimedia Commons)
Penerjemah: Asri Mayang Sari
Editor: Maria D Andriana
Copyright © ANTARA 2019
Tags: