Bangun kemandirian keuangan, Jawa Tengah perlu berjuang tingkatkan PAD
Oleh *) Drs. Pudjo Rahayu Rizan, M.Si.
18 Desember 2019 09:23 WIB
Ilustrasi: Petugas parkir menunjukan alat transaksi parkir elektronik saat peluncuran E-Parkir berbasis Tunai dan Non Tunai di jalan Honggowongso, Solo, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/MOHAMMAD AYUDHA)
Semarang (ANTARA) - Desentralisasi fiskal bertujuan untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah dan mengurangi ketergantungan fiskal terhadap pemerintah pusat.
Namun pada pelaksanaannya masih banyak daerah yang bergantung pada bantuan dana pusat untuk pembangunan daerah. Bagaimana dengan Jawa Tengah?
Jawa Tengah dalam APBD tertera pendapatan asli daerah (PAD) dipatok Rp15.993.530.006.000, sementara pendapatan secara keseluruhan sebesar Rp28.301.075.368.000. Dengan demikian, besaran dana perimbangan mencapai Rp12.214.821.794.000.
PAD itu berasal dari pendapatan pajak daerah Rp13.440.249.764.000, hasil retribusi daerah Rp126.511.417.000, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp523.423.448.000, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah Rp1.903.345.377.000.
Dana perimbangan sebesar Rp12.214.821.794.000 bersumber dari bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak Rp776.824.622.000, Dana Alokasi Umum (DAU) Rp3.830.691.947.000, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp7.607.305.225.000. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp92.723.568.000, pendapatan hibah Rp24.300.000.000, dan dana insentif daerah Rp68.423.568.000.
Sementara itu, belanja pada APBD 2020 mencapai Rp29.026.574.743.000 terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung sebesar Rp19.940.294.048.000 terdiri atas belanja pegawai Rp6.071.250.541.000, belanja hibah Rp5.906.444.516.000, belanja bantuan sosial Rp48.292.000.000, belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa Rp5.664.019.038.000, belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintahan desa Rp2.230.287.953.000, dan belanja tidak terduga Rp20.000.000.000.
Belanja langsung sebesar Rp9.086.280.695.000 terdiri atas belanja pegawai Rp954.986.165.000, belanja barang dan jasa Rp5.451.859.602.000, dan belanja modal Rp2.679.434.928.000,.
Pembiayaan daerah Rp725.499.375.000, penerimaan pembiayaan daerah Rp805.499.375.000, sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya Rp805.499.375.000, pengeluaran pembiayaan daerah Rp80.000.000.000, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah Rp80.000.000.000, dan pembiayaan neto Rp725.499.375.000.
Dengan demikian, muncul defisit sebesar Rp725.499.375.000, yakni pendapatan sebesar Rp28.301.075.368.000, sedangkan belanja sebesar Rp29.026.574.743.000.
Mengapa memilih skema dengan struktur defisit?
Menurut Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Jawa Tengah Sumarno, dengan struktur anatomi APBD defisit tidak menyalahi aturan. Bahkan, mempunyai karakteristik lebih menguntungkan bagi publik karena program-program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat segera bisa dilaksanakan.
Ada beberapa skema dalam penyusunan APBD, yaitu sistem defisit, surplus, berimbang, dan dinamis. Semua bisa digunakan karena memiliki karakteristik masing-masing. Ada keuntungan sekaligus ada kelemahan.
Bagaimana posisi Jawa Tengah dikaitkan dengan desentralisasi fiskal, PAD, dan kemandirian keuangan daerah?
Secara sederhana bisa digambarkan bahwa PAD sebesar Rp15.993.530.006.000, pendapatan keseluruhan sebesar Rp28.301.075.368.000, dana perimbangan mencapai Rp12.214.821.794.000, belanja pada APBD 2020 mencapai Rp29.026.574.743.000, maka muncul defisit sebesar Rp725.499.375.000.
Kalau patokannya pada PAD sebesar Rp15.993.530.006.000, kemudian dibandingkan dengan belanja keseluruhan sebesar Rp29.026.574.743.000, berarti sudah mencapai angka 55,10 persen. Jika dibandingkan dengan dana perimbangan sebesar Rp12.214.821.794.000, mencapai 42,08 persen.
Desentralisasi fiskal sebesar 42,08 persen dan kontribusi PAD 55,10 persen apakah sudah berkategori mandiri di bidang keuangan daerah? Jawabannya relatif dikaitkan dengan kemandirian keuangan daerah. Kenapa relatif? Karena PAD masih lebih tinggi (55,10 persen) dibanding dengan dana perimbangan yang bersumber dari APBN (42,08 persen).
Kesimpulannya, Jawa Tengah masih perlu berjuang, menggenjot peningkatan PAD, terutama di luar pendapatan dari pajak kendaraan bermotor. Otonomi memberi dan membuka peluang lebar untuk berkreasi dan berinovasi.
Pemerintah daerah, khususnya Jawa Tengah, harus selalu berjuang keras meningkatkan PAD, dengan ketentuan tidak membebani masyarakat. Di sini diperlukan langkah-langkah yang strategis, komprehensif, tertata, kreatif, dan banyak inovasi serta gagasan untuk meningkatkan PAD.
Makin tinggi tingkat kemandirian keuangan daerah, menggambarkan bahwa pemerintah daerah telah mampu meningkatkan kemampuan keuangan yang berasal dari daerah lokal.
Problematika yang dihadapi daerah adalah bagaimana menambah PAD tanpa merugikan atau membebani masyarakat. Jangan sampai PAD naik tetapi menyengsarakan rakyat.
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola PAD. Makin tinggi kemampuan daerah untuk menghasilkan PAD maka makin besar pula kemampuan daerah dalam menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah.
Pada prinsipnya, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Pada satu sisi dituntut pula tata kelola pemerintahan yang akuntabel, profesional, transparan, dan partisipatif. Bila perlu organisasi perangkat daerah yang ditugasi untuk mengelola PAD diajak “berlari”, seperti perusahaan swasta yang harus hidup dengan meraih pendapatan yang optimal. Tidak memperoleh pendapatan sama dengan “mati”.
Spirit inilah yang dibutuhkan oleh birokrat manakala mengelola pendapatan untuk kemandirian daerahnya.
Jangan terlalu dan selalu mengandalkan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antarpemerintahan daerah. Dana perimbangan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal.
Makin tinggi kemandirian keuangan daerah maka ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah dan provinsi makin rendah. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, yakni makin tinggi kemandirian keuangan daerah menggambarkan, makin tingginya partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah.
*) Dosen tidak tetap di STIE BPD dan STIE Semarang.
Namun pada pelaksanaannya masih banyak daerah yang bergantung pada bantuan dana pusat untuk pembangunan daerah. Bagaimana dengan Jawa Tengah?
Jawa Tengah dalam APBD tertera pendapatan asli daerah (PAD) dipatok Rp15.993.530.006.000, sementara pendapatan secara keseluruhan sebesar Rp28.301.075.368.000. Dengan demikian, besaran dana perimbangan mencapai Rp12.214.821.794.000.
PAD itu berasal dari pendapatan pajak daerah Rp13.440.249.764.000, hasil retribusi daerah Rp126.511.417.000, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Rp523.423.448.000, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah Rp1.903.345.377.000.
Dana perimbangan sebesar Rp12.214.821.794.000 bersumber dari bagi hasil pajak/bagi hasil bukan pajak Rp776.824.622.000, Dana Alokasi Umum (DAU) Rp3.830.691.947.000, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp7.607.305.225.000. Lain-lain pendapatan daerah yang sah Rp92.723.568.000, pendapatan hibah Rp24.300.000.000, dan dana insentif daerah Rp68.423.568.000.
Sementara itu, belanja pada APBD 2020 mencapai Rp29.026.574.743.000 terdiri atas belanja tidak langsung dan belanja langsung. Belanja tidak langsung sebesar Rp19.940.294.048.000 terdiri atas belanja pegawai Rp6.071.250.541.000, belanja hibah Rp5.906.444.516.000, belanja bantuan sosial Rp48.292.000.000, belanja bagi hasil kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintah desa Rp5.664.019.038.000, belanja bantuan keuangan kepada provinsi/kabupaten/kota dan pemerintahan desa Rp2.230.287.953.000, dan belanja tidak terduga Rp20.000.000.000.
Belanja langsung sebesar Rp9.086.280.695.000 terdiri atas belanja pegawai Rp954.986.165.000, belanja barang dan jasa Rp5.451.859.602.000, dan belanja modal Rp2.679.434.928.000,.
Pembiayaan daerah Rp725.499.375.000, penerimaan pembiayaan daerah Rp805.499.375.000, sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya Rp805.499.375.000, pengeluaran pembiayaan daerah Rp80.000.000.000, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah Rp80.000.000.000, dan pembiayaan neto Rp725.499.375.000.
Dengan demikian, muncul defisit sebesar Rp725.499.375.000, yakni pendapatan sebesar Rp28.301.075.368.000, sedangkan belanja sebesar Rp29.026.574.743.000.
Mengapa memilih skema dengan struktur defisit?
Menurut Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Jawa Tengah Sumarno, dengan struktur anatomi APBD defisit tidak menyalahi aturan. Bahkan, mempunyai karakteristik lebih menguntungkan bagi publik karena program-program yang menyentuh langsung kepentingan masyarakat segera bisa dilaksanakan.
Ada beberapa skema dalam penyusunan APBD, yaitu sistem defisit, surplus, berimbang, dan dinamis. Semua bisa digunakan karena memiliki karakteristik masing-masing. Ada keuntungan sekaligus ada kelemahan.
Bagaimana posisi Jawa Tengah dikaitkan dengan desentralisasi fiskal, PAD, dan kemandirian keuangan daerah?
Secara sederhana bisa digambarkan bahwa PAD sebesar Rp15.993.530.006.000, pendapatan keseluruhan sebesar Rp28.301.075.368.000, dana perimbangan mencapai Rp12.214.821.794.000, belanja pada APBD 2020 mencapai Rp29.026.574.743.000, maka muncul defisit sebesar Rp725.499.375.000.
Kalau patokannya pada PAD sebesar Rp15.993.530.006.000, kemudian dibandingkan dengan belanja keseluruhan sebesar Rp29.026.574.743.000, berarti sudah mencapai angka 55,10 persen. Jika dibandingkan dengan dana perimbangan sebesar Rp12.214.821.794.000, mencapai 42,08 persen.
Desentralisasi fiskal sebesar 42,08 persen dan kontribusi PAD 55,10 persen apakah sudah berkategori mandiri di bidang keuangan daerah? Jawabannya relatif dikaitkan dengan kemandirian keuangan daerah. Kenapa relatif? Karena PAD masih lebih tinggi (55,10 persen) dibanding dengan dana perimbangan yang bersumber dari APBN (42,08 persen).
Kesimpulannya, Jawa Tengah masih perlu berjuang, menggenjot peningkatan PAD, terutama di luar pendapatan dari pajak kendaraan bermotor. Otonomi memberi dan membuka peluang lebar untuk berkreasi dan berinovasi.
Pemerintah daerah, khususnya Jawa Tengah, harus selalu berjuang keras meningkatkan PAD, dengan ketentuan tidak membebani masyarakat. Di sini diperlukan langkah-langkah yang strategis, komprehensif, tertata, kreatif, dan banyak inovasi serta gagasan untuk meningkatkan PAD.
Makin tinggi tingkat kemandirian keuangan daerah, menggambarkan bahwa pemerintah daerah telah mampu meningkatkan kemampuan keuangan yang berasal dari daerah lokal.
Problematika yang dihadapi daerah adalah bagaimana menambah PAD tanpa merugikan atau membebani masyarakat. Jangan sampai PAD naik tetapi menyengsarakan rakyat.
Peningkatan kemandirian daerah sangat erat kaitannya dengan kemampuan daerah dalam mengelola PAD. Makin tinggi kemampuan daerah untuk menghasilkan PAD maka makin besar pula kemampuan daerah dalam menggunakan PAD tersebut sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas pembangunan daerah.
Pada prinsipnya, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Pada satu sisi dituntut pula tata kelola pemerintahan yang akuntabel, profesional, transparan, dan partisipatif. Bila perlu organisasi perangkat daerah yang ditugasi untuk mengelola PAD diajak “berlari”, seperti perusahaan swasta yang harus hidup dengan meraih pendapatan yang optimal. Tidak memperoleh pendapatan sama dengan “mati”.
Spirit inilah yang dibutuhkan oleh birokrat manakala mengelola pendapatan untuk kemandirian daerahnya.
Jangan terlalu dan selalu mengandalkan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antarpemerintahan daerah. Dana perimbangan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas fiskal daerah dan mengurangi kesenjangan fiskal.
Makin tinggi kemandirian keuangan daerah maka ketergantungan daerah terhadap bantuan pemerintah dan provinsi makin rendah. Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, yakni makin tinggi kemandirian keuangan daerah menggambarkan, makin tingginya partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah.
*) Dosen tidak tetap di STIE BPD dan STIE Semarang.
Copyright © ANTARA 2019
Tags: