Jakarta (ANTARA) - "Sebagai redaktur pertama adalah toean Abdoel Hakim. Pembantoe tetap jang lama dan jang baroe ialah toean-toean Sanoesi Pane, Mr. Soemanang, Mr. Alwi, Sjahroezah, Sg. Djojopoespito, serta correspondenten dir tempat jang penting di seloeroeh Indonesia".

Demikian tulis Parni Hadi, mengutip pernyataan Pimpinan Pers-en Documrentatie Bureau "ANTARA" tertanggal Batavia-C, 15 Juli 1941 yang terdapat dalam buku "Sejarah Pers Indonesia", karya H. Soebagio IN tahun 1977 yang diterbitkan Dewan Pers.

Mantan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi ANTARA itu menukilkannya untuk kata pengantar buku berjudul "Abdul Hakim, Wartawan Antara; Dalam Kenangan Anak Cucu".

Buku itu menceritakan sosok Abdul Hakim di ingatan anak-anaknya, Chappy Hakim, Budiman Hakim, Bachrul Hakim, kemudian istri Chappy, hingga cucunya.

Baca juga: Tulis sosok ayah, Chappy: Beliau teladan luar biasa

Tanggal peluncurannya pun bertepatan dengan ulang tahun Chappy Hakim, putra kedua Abdul Hakim, yakni 15 Desember 2019.

"B-7722", nomor pelat Vespa yang dinaiki Abdul Hakim dalam foto yang dipilih sebagai sampul buku setebal 270 halaman itu, menegaskan kesederhanaan dan kesahajaan sang tokoh.

Tetapi, siapa sangka anak-anak didikan Abdul Hakim berhasil dan sukses. Siapa tak kenal Chappy Hakim? Mantan petinggi TNI AU, atau Bachrul Hakim yang pernah memegang posisi penting di PT Garuda Indonesia.

Chappy mengungkapkan latar belakang penulisan buku itu karena kebanggaan keluarga terhadap sosok Abdul Hakim sebagai ayah, sebagai pejuang, dan sebagai wartawan.

Abdul Hakim lahir di Palembang, 19 Maret 1915. Pada 1936 menjadi redaktur di beberapa harian di Bogor dan Jakarta, kemudian masuk ANTARA atas ajakan Johan Syahrusah, Adam Malik, AM Sipahoetar, dan Pandu Kartawiguna.

Buku itu lengkap menyajikan sejarah Abdul Hakim dari berbagai literatur, seperti "Ensiklopedia Indonesia" terbitan Ichtiar Baru-Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project terbitan 1980.

Baca juga: Bedah buku, Abdul Hakim termasuk pendiri Kantor Berita ANTARA

Kemudian, buku "Siapa-Siapa Wartawan Jakarta" yang diterbitkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jakarta, 2003, karya Ismet Rauf, H Saleh D, Adam, Riyanto D Wahyono dengan editor Marah Sakti Siregar, dan banyak literatur lain.

Semuanya menceritakan tentang sosok Abdul Hakim yang malang melintang di dunia pers, mulai surat kabar Pertja Selatan di Palembang hingga akhirnya berlabuh Kantor Berita Antara.

Ayah Wartawan Antara

Cerita belum selesai sampai di sini, tetapi justru baru dimulai. Anak-anak Abdul Hakim justru banyak mengenang memori ketika ayahanda bekerja di Kantor Berita Antara (kini Perum LKBN ANTARA).

Bachrul Hakim, sebagai anak tertua yang lahir ketika ayahanda berusia 31 tahun, merasakan kehadiran sang ayah lebih lama daripada adik-adiknya. Praktis, lebih banyak cerita tentang ayahanda yang dimilikinya.

Meski mengaku tak piawai menulis, toh Bachrul nyatanya mampu menuangkan kenangannya tentang sang ayah dalam 46 halaman buku, mulai halaman 19-65.

Kenangan kecilnya dibagikan Bachrul dalam beberapa babak, seperti "Ayah dan Saya", "Oh My Papa", "Ayah yang Heibat", "Belajar Menyanyi dan Main Ukulele", dan "Ayah-Wartawan Antara".

Baca juga: Abdul Hakim, redaktur pertama ANTARA "like father, like son"

Bachrul mengingat betul karier ayahnya di Kantor Berita Antara, sebagai pendiri, bersama Adam Malik, AM Sipahoetar, Pandu Kartawiguna, Soemanang, dan beberapa tokoh lainnya hingga disingkirkan karena politik.

Ya, tokoh-tokoh yang tidak sepaham dengan PKI disingkirkan dari ANTARA, diganti dengan pejabat-pejabat baru yang berafialiasi dengan paham komunis.

Kisah serupa diceritakan pula oleh Chappy Hakim, anak kedua pasangan Abdul Hakim dan Zubainar Hakim dalam tulisan yang diberinya judul "Abdul Hakim Wartawan Antara" mulai halaman 67-84.

Bahkan, Chappy mengistilahkannya "dipecat" dengan mekanisme "pensiun paksa" oleh oknum PKI. Pun ketika akan diangkat kembali sebagai karyawan, ayahnya justru menolak karena kesetiakawanannya terhadap kawan-kawannya.

Secara detail, Chappy menceritakan masa kecilnya hingga kesuksesannya menembus Akabri meski harus menganggur setahun selepas lulus SMA di Jakarta.

Diceritakan ayah dua anak dan lima cucu itu, kesuksesan yang diraihnya tak lepas dari pola pendidikan keras, disiplin, dan mandiri yang diterapkan sang ayah, Abdul Hakim.

Hanya saja, Chappy mengungkapkan kesedihannya karena ayahnya tak sempat melihat anak keduanya meraih pangkat "jenderal" atau Marsekal dalam terminologi TNI.

Abdul Hakim meninggal pada 16 Maret 1992, tepat ketika Chappy mendapatkan promosi jabatan dengan pangkat kolonel di TNI AU, sementara sang ibunda sempat menyaksikannya menjabat KSAU.

Chappy bangga dengan sang ayah yang telah mendidiknya, dan dianugerahi "Perintis Kemerdekaan" atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara yang sebagian besar dijalani sebagai wartawan ANTARA.

Teladan luar biasa

Rusman Hakim, sebagai anak ketiga pun tak ketinggalan mengisahkan kenangannya bersama sang ayah sebagai patriot, sangat perhatian, humoris, pemberani, visioner, dan jurnalis sejati.

Diceritakan pula ketika Rusman berkelahi, tepatnya dikeroyok tentara yang membuat ayahnya geram sampai harus melaporkan oknum tentara itu ke Pangdam Jaya.

Ternyata, Abdul Hakim sempat memuat peristiwa itu di surat kabar "Indonesia Raya". Rusman terkejut atas keberanian ayahnya mempertahankan kebenaran meski harus berurusan dengan militer.

Demikian juga dengan Alan Hakim, Budiman Hakim, Nurmayulis Hakim yang bergantian menceritakan kenangan tentang ayahandanya. Menantu dan cucu pun kebagian menuliskan kisahnya.

Di mata anak-anak dan cucunya, Abdul Hakim memberikan keteladanan yang luar biasa. Tak kurang tekanan hingga perlawanan didapatkannya dalam menjalani karier sebagai wartawan di Antara.

Keteguhannya memegang prinsip, terutama agama kerap membuatnya berseberangan dengan orang-orang komunis kala itu menguasai Antara dan menyingkirkannya.

Diceritakan juga sekilas tentang sosok Djawoto, mantan pimpinan Antara yang dikenal beraliran kiri (komunis). Artinya, Djawoto termasuk musuh politik Abdul Hakim.

Khusus soal Djawoto, Bachrul Hakim menceritakan kisah unik, yakni ketika Presiden Soekarno merencanakan naik haji pada 1955, dan nama Abdul Halim tercantum sebagai peserta mewakili Antara.

Namun, beberapa hari sebelum keberangkatan nama Abdul Hakim dicoret, diganti Djawoto yang sudah jelas orang komunis. Tetapi, toh tak membuat persahabatan keduanya mengendur, apalagi sampai putus.

Demikian pula dengan "musuh-musuh politiknya" yang lain, Abdul Hakim tetap menjalin persahabatan meski berbeda paham, bahkan sekali pun pernah disakiti.

Dibenarkan Chappy, ayahandanya mencontohkan keteladanan luar biasa dengan tetap menjaga persahabatan dan persaudaraan hingga masa tuanya meski berbeda pandangan.

Kontras dengan kondisi masyarakat sekarang ini di tengah hiruk pikuk penuh kebencian, mudahnya menebar permusuhan, dan saling mencaci cuma karena beda pendapat.

"Abdul Hakim memberikan contoh bagaimana berbeda ideologi, aliran, visi, tetapi namanya persahabatan tetap persahabatan," ujar Chappy mengenang.