Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengatakan masih tingginya angka perkawinan anak di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat.

"Salah satu faktor utama tingginya angka perkawinan anak ialah budaya. Sebagai contoh budaya merarik di Nusa Tenggara Barat," kata Deputi Tumbuh Kembang Anak KPPPA Lenny N Rosalin di Jakarta, Selasa.

Sebagaimana diketahui, merarik merupakan sistem adat pernikahan yang masih diterapkan di Lombok di mana hal ini disebut juga dengan kawin lari.

Meskipun demikian, kata dia, secara menyeluruh perkawinan anak tidak hanya disebabkan oleh faktor budaya, namun juga didukung berbagai hal lain yang sudah kompleks.

Baca juga: Peta jalan pencegahan perkawinan anak di Sulsel disusun DPPPA
Baca juga: MA sedang siapkan peraturan untuk pencegahan perkawinan anak


Terkait kondisi tersebut, ia menjelaskan terdapat sejumlah strategi dalam mencegah perkawinan anak di antaranya mengintervensi anak itu sendiri dengan menyosialisasikan serta melatih mereka sebagai pelopor dan pelapor dalam mencegah perkawinan anak, baik secara kelompok maupun tergabung di forum anak.

Kedua, melalui keluarga dengan menyiapkan dan membangun pusat pembelajaran keluarga yang dibentuk di provinsi, kabupaten dan kota dengan dilengkapi tenaga psikolog sebagai pendampingan keluarga.

Kemudian, upaya pencegahan perkawinan pada anak juga dapat dilakukan melalui sekolah. Tentunya melalui berbagai sosialisasi yang disampaikan dengan bahasa mudah dipahami oleh anak.

Baca juga: KPPPA akan susun kebijakan nasional pencegahan perkawinan anak
Baca juga: Revisi UU Perkawinan tekan kekerasan perempuan dan anak


Selain itu juga dibutuhkan peran dari para pemuka adat serta agama di setiap daerah agar dapat memberikan pendidikan dan pengetahuan terkait perkawinan anak sehingga hal itu tidak terjadi.

Upaya-upaya tersebut, kata dia, sejalan dengan strategi yang dilakukan dalam Undang-Undang nomor 16 tahun 2019 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yakni tentang Pernikahan. Khususnya pada pasal 7 di mana laki-laki dan perempuan minimal harus berusia 19 tahun untuk dapat menikah.

"Kalau mau menikah di bawah 19 tahun mereka harus punya dispensasi kawin yang dilakukan hakim di pengadilan agama atau pengadilan negeri. Ini sudah diatur berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung nomor 5 tahun 2019," kata dia.

Baca juga: MUI: KUA jalankan UU Pernikahan tanpa sampingkan aspek agama
Baca juga: Kemensos: Batas usia perkawinan 19 tahun untuk perlindungan anak