Jakarta (ANTARA) - Ketua Komisi XI DPR Dito Ganinduto mengatakan parlemen meminta pemerintah hanya menggunakan skema antarbisnis (business to business) dan tidak menggunakan dana APBN untuk menyelesaikan kewajiban tunggakan premi nasabah tertanggung PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Usia rapat tertutup di Jakarta, Senin malam, Dito menyebutkan pemerintah sebagai pemegang saham pengendali Jiwasraya sudah memiliki tiga opsi sementara untuk menangani masalah kekurangan permodalan dan tekanan likuiditas Jiwasraya.

Jika opsi tersebut tidak mencukupi, maka pemerintah diminta mencari sumber pendanaan lain.

"Tapi, bukan (dari) APBN. Dalam hal ini business to business," kata Dito.

Baca juga: Sri Mulyani libatkan aparat penegak hukum selidiki kasus Jiwasraya

Adapun pada tiga bulan terakhir tahun ini, Jiwasraya memiliki kewajiban pembayaran polis yang jatuh tempo sebesar Rp12,4 triliun.

Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko pada Senin siang di Komisi VI DPR sudah mengakui perseroan akan sulit membayar polis tersebut karena tekanan likuiditas.

"Tentu (kami) tidak bisa, saya minta maaf kepada nasabah karena tidak bisa memastikan kapan dibayar kepada nasabah. Saat ini masih dalam proses," katanya.

Dito Ganinduto mengungkapkan tiga opsi yang dimiliki pemerintah untuk menyelamatkan Jiwasraya, adalah pertama Jiwasraya akan mendapat suntikan modal dari investasi yang diperoleh anak usaha PT Jiwasraya Putra sebesar Rp5 triliun.

Setelah itu, Jiwasraya akan mendapat tambahan modal dari induk usaha asuransi yang akan dibentuk sebesar Rp7 triliun, dan dari perusahaan reasuransi sebesar Rp1 triliun.

Namun, Dito tidak bisa memastikan kapan tambahan modal itu bisa mengalir ke kantong Jiwasraya.

Di samping untuk membayar polis jatuh tempo, salah satu perusahaan asuransi jiwa tertua ini tetap harus mencari tambahan permodalan untuk mencukupi permodalan agar sesuai ketentuan kecukupan modal berbasis risiko (risk based capital/RBC) dari Otoritas Jasa Keuangan.

"Ini cuma masalah waktu. Tapi, tidak ada (dana) dari APBN," ujar politisi Partai Golkar itu.

Dito mengatakan Komisi XI DPR dan Komisi VI DPR akan menggelar rapat gabungan pada awal Januari 2020 untuk mengawasi sekaligus meminta rencana tindak lanjut pemerintah untuk menyelamatkan Jiwasraya.

Dito juga meminta pemerintah untuk tidak ragu dalam menggandeng penegak hukum untuk menyelidiki akar permasalahan keuangan di Jiwasraya.

DPR juga akan memanggil kepolisian, Kejaksaan Agung dan KPK untuk berkonsultasi menyelesaikan permasalahan Jiwasraya.

Pada Senin siang, di Komisi VI DPR, Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko mengungkapkan terjadi tata kelola yang kurang baik di Jiwasraya sebelum dirinya menjabat pada pertengahan 2019.

Ia mencontohkan adanya produk dengan kebutuhan likuiditas tinggi yang menjanjikan imbal hasil (return) cukup besar kepada nasabah, namun kenyataannya, Jiwasraya tidak mampu mengembalikan dana investasi tersebur.

Menurut Hexana, manajemen Jiwasraya tidak hati-hati dalam menginvestasikan premi.

Berdasarkan aturan Otoritas Jasa Keungan (OJK), 30 persen premi harus diinvestasikan ke surat utang negara.

Namun, Jiwasraya malah menempatkan sebagian besar investasi pada reksa dana dan saham yang berisiko tinggi.

Data perseroan menunjukkan ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp23,92 triliun per September 2019. Pasalnya, liabilitas perseroan mencapai Rp49,6 triliun sedangkan asetnya hanya Rp25,68 triliun. Jiwasraya membutuhkan tambahan modal Rp32,89 triliun untuk memenuhi ketentuan RBC sebesar 120 persen.

Baca juga: Bongkar dugaan korupsi di Jiwasraya, DPR desak direksi lama dicekal
Baca juga: Komisi VI DPR rekomendasikan bentuk Pansus Jiwasraya