Gapki Sumatera Selatan memprediksi harga sawit membaik 2020
12 Desember 2019 15:30 WIB
Pekerja memasukkan Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit ke dalam truk di salah satu tempat penampungan di Desa Seumantok, Kecamatan Pante Ceureumen, Aceh Barat, Sabtu (7/12/2019). (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/wsj.)
Palembang (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Provinsi Sumatera Selatan memprediksi harga komoditas tersebut akan membaik pada 2020 karena menunjukkan tren positif sepanjang 2019.
Ketua Gapki Sumsel Harry Hartanto di Palembang, Kamis, mengatakan harga crude palm oil (CPO) terus menunjukkan pergerakan positif sejak April 2019.
“Harga CPO Sumsel pada minggu pertama Desember 2019 sudah beranjak ke Rp9.023 per kg. Kami harapkan harga terus membaik hingga 2020,” kata dia.
Sementara itu untuk harga di tingkat petani berupa tandan buah segar (TBS) saat ini sudah menyentuh Rp1.678 per kg.
Baca juga: Dubes Uni Eropa: Tidak ada larangan impor minyak sawit Indonesia
Harry mengatakan Sumatera Selatan berkontribusi sebanyak 5 juta ton CPO dari total produksi CPO nasional yang mencapai 36 juta ton per tahun.
“Sebetulnya kelapa sawit yang dihasilkan di Sumsel sudah menjadi produk olahan. Apalagi sudah dipakai untuk penerapan B30,” kata dia.
Menurut Harry, kenaikan harga sawit ini patut disyukuri di tengah gencarnya kampanye hitam dari negara-negara Uni Eropa terhadap produk ekspor utama Indonesia, minyak kelapa sawit (CPO).
Jika kampanye hitam itu terus menerus terjadi, lambat laun dipastikan akan mempengaruhi harga di tingkat petani.
Tujuan dari kampanye ini tak lain agar produk sawit Indonesia tidak masuk ke negara mereka (negara di Eropa) karena mereka ingin menjual produk sendiri yakni minyak biji matahari dan minyak kedelai. Jika ini berhasil, akan terjadi pengurangan serapan di pasar internasional, dan bakal berdampak ke petani Indonesia, kata Harry.
Data Kemendag menunjukkan bahwa Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO ke Eropa. Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton. Sedangkan, Malaysia di tempat kedua dengan nilai ekspor mencapai 1,5 juta ton.
Baca juga: HIPMI dukung perkuat pasar domestik minyak sawit
Menurut Harry, jika pengurangan serapan bakal terjadi maka dapat mengancam ketahanan ekonomi nasional karena sebagian besar perkebunan sawit Indonesia dimiliki rakyat . Selain itu ekspor minyak sawit terbukti telah memberikan sumbangan terbesar pada devisa negara.
Oleh karena itu, Harry mengajak semua pihak untuk melawan kampanye hitam negara-negara Eropa yang dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat (NGO).
“Pemerintah harus mengambil langkah strategis terkait persoalan ini, tidak boleh diam saja karena kampanye hitam ini terus saja berlanjut,” kata dia.
Harry menjelaskan potensi Indonesia dalam menghasilkan minyak nabati ini menjadi ancaman sendiri negara-negara di Eropa karena mampu menjadi penyuplai utama kebutuhan.
Eropa sendiri tidak bisa berbuat banyak karena perkebunan sawit jauh memiliki keungulan dibandingkan biji matahari dan kedelai. Dalam satu hektare perkebunan sawit bisa menghasilkan 8 ton minyak sawit per tahun, sementara untuk biji matahari hanya 0,3 ton per tahun.
Oleh karena itu, tak heran jika dimunculkan isu-isu berbau kampanye hitam seperti produk yang tidak aman untuk kesehatan, merusak lingkungan, hingga pengeksploitasian tenaga kerja anak-anak.
Ini semua tidak benar, coba bayangkan jika menanam biji matahari, artinya lebih banyak lagi hutan yang mereka babat. Soal standarisasi, Indonesia juga sudah menerapkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah diakui secara internasional, ujar dia.
Baca juga: GAPKI optimistis pengembangan industri sawit di Aceh
Ketua Gapki Sumsel Harry Hartanto di Palembang, Kamis, mengatakan harga crude palm oil (CPO) terus menunjukkan pergerakan positif sejak April 2019.
“Harga CPO Sumsel pada minggu pertama Desember 2019 sudah beranjak ke Rp9.023 per kg. Kami harapkan harga terus membaik hingga 2020,” kata dia.
Sementara itu untuk harga di tingkat petani berupa tandan buah segar (TBS) saat ini sudah menyentuh Rp1.678 per kg.
Baca juga: Dubes Uni Eropa: Tidak ada larangan impor minyak sawit Indonesia
Harry mengatakan Sumatera Selatan berkontribusi sebanyak 5 juta ton CPO dari total produksi CPO nasional yang mencapai 36 juta ton per tahun.
“Sebetulnya kelapa sawit yang dihasilkan di Sumsel sudah menjadi produk olahan. Apalagi sudah dipakai untuk penerapan B30,” kata dia.
Menurut Harry, kenaikan harga sawit ini patut disyukuri di tengah gencarnya kampanye hitam dari negara-negara Uni Eropa terhadap produk ekspor utama Indonesia, minyak kelapa sawit (CPO).
Jika kampanye hitam itu terus menerus terjadi, lambat laun dipastikan akan mempengaruhi harga di tingkat petani.
Tujuan dari kampanye ini tak lain agar produk sawit Indonesia tidak masuk ke negara mereka (negara di Eropa) karena mereka ingin menjual produk sendiri yakni minyak biji matahari dan minyak kedelai. Jika ini berhasil, akan terjadi pengurangan serapan di pasar internasional, dan bakal berdampak ke petani Indonesia, kata Harry.
Data Kemendag menunjukkan bahwa Indonesia adalah pemasok utama kebutuhan CPO ke Eropa. Setiap tahun rata-rata ekspor CPO Indonesia ke Eropa mencapai 3,5 juta ton sedangkan kebutuhan CPO Eropa mencapai 6,3 juta ton. Sedangkan, Malaysia di tempat kedua dengan nilai ekspor mencapai 1,5 juta ton.
Baca juga: HIPMI dukung perkuat pasar domestik minyak sawit
Menurut Harry, jika pengurangan serapan bakal terjadi maka dapat mengancam ketahanan ekonomi nasional karena sebagian besar perkebunan sawit Indonesia dimiliki rakyat . Selain itu ekspor minyak sawit terbukti telah memberikan sumbangan terbesar pada devisa negara.
Oleh karena itu, Harry mengajak semua pihak untuk melawan kampanye hitam negara-negara Eropa yang dilakukan melalui lembaga swadaya masyarakat (NGO).
“Pemerintah harus mengambil langkah strategis terkait persoalan ini, tidak boleh diam saja karena kampanye hitam ini terus saja berlanjut,” kata dia.
Harry menjelaskan potensi Indonesia dalam menghasilkan minyak nabati ini menjadi ancaman sendiri negara-negara di Eropa karena mampu menjadi penyuplai utama kebutuhan.
Eropa sendiri tidak bisa berbuat banyak karena perkebunan sawit jauh memiliki keungulan dibandingkan biji matahari dan kedelai. Dalam satu hektare perkebunan sawit bisa menghasilkan 8 ton minyak sawit per tahun, sementara untuk biji matahari hanya 0,3 ton per tahun.
Oleh karena itu, tak heran jika dimunculkan isu-isu berbau kampanye hitam seperti produk yang tidak aman untuk kesehatan, merusak lingkungan, hingga pengeksploitasian tenaga kerja anak-anak.
Ini semua tidak benar, coba bayangkan jika menanam biji matahari, artinya lebih banyak lagi hutan yang mereka babat. Soal standarisasi, Indonesia juga sudah menerapkan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) yang sudah diakui secara internasional, ujar dia.
Baca juga: GAPKI optimistis pengembangan industri sawit di Aceh
Pewarta: Dolly Rosana
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019
Tags: