Jakarta (ANTARA) - Persoalan terkait pembatasan ekspor nikel dan bahan baku lainnya yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia tidak akan mempengaruhi proses perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni Eropa (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement/IEU-CEPA).

Hal itu disampaikan oleh Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket dalam sambutannya pada acara "European Union End of Year Media Gathering" di Jakarta, Rabu malam (11/12).

"Jika ditanya apakah hal ini mempengaruhi IEU-CEPA? menurut saya tidak, karena nilai dari kesepakatan I-EU CEPA lebih besar daripada hanya beberapa persoalan tentang nikel, minyak sawit, dan biodiesel," kata Dubes Vincent Piket.

Baca juga: DPR minta pemerintah masukkan sawit dalam Perjanjian IEU-CEPA

Menurut Vincent, hubungan perdagangan antara Uni Eropa telah berada pada titik yang jauh lebih penting daripada persoalan pembatasan ekspor nikel.

"Kita memiliki kepentingan yang jauh lebih besar dalam menjaga kerja sama. Oleh karena itu, kami (Uni Eropa) sangat ingin untuk terus mengejar kesepakatan dengan Indonesia," ujar dia.

Vincent menyebutkan nilai perdagangan antara Indonesia dan Uni Eropa yang mencapai 26 miliar Euro pada 2018, dan dia berharap ke depannya nilai tersebut akan semakin meningkat.

Baca juga: Dubes Polandia berharap isu sawit tidak ganggu negosiasi IEU-CEPA

Dia pun berpendapat bahwa kesepakatan IEU-CEPA bisa semakin mendekatkan hubungan Indonesia dan Uni Eropa sehingga dapat memperkecil kemungkinan terjadinya perselisihan antara kedua pihak.

Namun, Dubes Uni Eropa itu juga menyayangkan keputusan pemerintah Indonesia untuk menerapkan pembatasan ekspor nikel dan beberapa bahan baku lainnya.

"Pembatasan ekspor nikel Indonesia ke pasar Uni Eropa akan merugikan kami. Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia. Industri Eropa membutuhkan nikel dari Indonesia," ucap Vincent.

Dia menambahkan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia untuk membatasi ekspor nikel akan mempengaruhi dan bahkan meningkatkan harga nikel dunia.

"Dan hal itu secara harfiah berarti masalah bagi industri di Eropa," katanya.

Pada akhir November, Wakil Tetap/Duta Besar Uni Eropa di Jenewa telah mengirimkan surat kepada Wakil Tetap/Dubes RI di Jenewa yang secara resmi menyampaikan bahwa Uni Eropa akan mengajukan sengketa terkait produksi besi Indonesia, termasuk pembatasan ekspor bijih nikel, ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Vincent menjelaskan bahwa Komisi Eropa memutuskan untuk mengambil langkah tersebut karena aturan WTO dengan jelas menyatakan bahwa menghentikan ekspor bahan baku tidak diperbolehkan.

"Dalam pertemuan kami dengan WTO, kami sepakat bahwa penghentian ekspor bahan baku tidak diperbolehkan karena kami percaya pada sistem multilateral, dan kami ingin sistem multilateral itu diterapkan," ujarnya.

Dalam surat yang dikirimkan pada 22 November 2019 itu, pihak Uni Eropa juga menyampaikan permintaan melakukan konsultasi. Konsultasi merupakan langkah awal dalam suatu proses penyelesaian sengketa WTO.

Merespons surat tersebut, Dubes RI untuk PBB, WTO, dan Organisasi Internasional lainnya di Jenewa Hasan Kleib menjelaskan bahwa Indonesia akan menerima tawaran Uni Eropa (EU) untuk konsultasi sebagai langkah awal proses penyelesaian sengketa yang akan EU ajukan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel.

Konsultasi tersebut akan dilakukan dengan waktu, format, dan tempat yang disepakati bersama oleh Indonesia dan Uni Eropa.

Kebijakan Indonesia yang disengketakan oleh EU mencakup pembatasan ekspor untuk produk mineral (khususnya nikel, bijih besi, kromium) yang digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel EU; insentif fiskal terhadap beberapa perusahaan baru atau yang melakukan pembaruan pabrik; serta skema bebas pajak terhadap perusahaan yang memenuhi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Uni Eropa mengklaim kebijakan tersebut melanggar Pasal XI.1 GATT mengenai larangan pembatasan ekspor dan impor; Pasal 3.1(b) Agreement on Subsidy and Countervailing Measures mengenai subsidi yang dilarang; dan Pasal X.1 GATT mengenai pelanggaran kewajiban transparansi peraturan.

Komisi Eropa, yang mengoordinasikan kebijakan perdagangan di Uni Eropa yang beranggotakan 28 negara, mengatakan pembatasan itu secara tidak adil membatasi akses produsen Uni Eropa terhadap bijih nikel khususnya, serta untuk batu bara, bijih besi, dan kromium.