Jakarta (ANTARA) - Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Tsamara Amany menilai ditolaknya gugatan permohonan uji materi terkait syarat usia kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang pemilihan gubernur, bupati dan wali kota oleh Mahkamah Konstitusi sebagai kekalahan anak-anak muda Indonesia.

"Tentu kami sedih, jujur saja karena Kami menganggap ini adalah kekalahan bagi anak-anak muda Indonesia," ujar Tsamara di Gedung MK, Jakarta, Rabu.

Menurut dia, putusan tersebut telah memupuskan harapan anak-anak muda potensial yang ingin membangun daerahnya melalui jabatan sebagai wali kota atau pun gubernur.

Baca juga: MK tolak gugatan politisi PSI soal syarat usia kepala daerah

Putusan MK ini, kata Tsamara, tidak mencerminkan semangat regenerasi kepemimpinan nasional.

"Padahal kita tahu akan segera menghadapi bonus demografi yang sebenarnya meskipun kami hormati putusan tersebut tetapi kami harus akui bahwa putusan ini tidak mencerminkan semangat regenerasi," ujar dia.

Tsamara mengaku belum bisa mendapatkan rasionalisasi tentang penentuan batasan usia yang dianggap lebih layak mengisi pos jabatan tertentu. Dia kemudian membandingkan dengan aturan pencalonan legislatif, di mana usia minimal untuk maju sebagai caleg dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yaitu 21 tahun.

"Tugas wakil rakyat itu juga bukan sesuatu yang mudah, tetapi kita membolehkan orang yang dalam usia dewasa yaitu usia 21 tahun untuk maju," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Politisi PSI Dara Adinda Kesuma Nasution berharap anggota DPR mau mempertimbangkan untuk merevisi aturan perundang-undangan tersebut, agar tidak menimbulkan diskriminasi terhadap anak-anak muda yang ingin maju dalam kontestasi pilkada.

Baca juga: Hakim MK pertanyakan usia dewasa dalam gugatan Faldo Maldini

Sebelumnya, dalam pembacaan pertimbangan, Hakim MK I Dewa Gede Palguna mengatakan perihal aturan mengenai batas usia kepala daerah sepenuhnya merupakan wewenang atau kebijakan hukum pembentuk undang-undang, yakni DPR RI.

Demikian pula halnya jika pembentuk undang-undang berpendapat bahwa untuk jabatan atau perbuatan hukum tertentu pembentuk undang-undang menentukan batas usia yang berbeda-beda dikarenakan perbedaan sifat jabatan atau perbuatan hukum itu, hal itu pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

Bahkan, kata dia, Mahkamah telah menegaskan pula, andai perihal batas usia itu tidak diatur dalam undang-undang, melainkan diserahkan kepada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang untuk mengaturnya, hal itu tidak bertentangan dengan UUD 1945.

"Dalam kaitannya dengan permohonan a quo, pertanyaannya kemudian, apakah terdapat kebutuhan bagi Mahkamah untuk mengubah pendiriannya. Dalam hal ini Mahkamah berpendapat tidak terdapat alasan fundamental dalam perkembangan ketatanegaraan yang menyebabkan Mahkamah tak terhindarkan harus mengubah pendirian," ucap Gede Palguna.