SBMI: Segera terbitkan turunan UU No.18/2017 terkait ABK
9 Desember 2019 17:22 WIB
Ilustrasi - Sejumlah ABK yang ditangkap terkait dengan aktivitas penangkapan ikan ilegal oleh kapal perikanan asing di kawasan perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia. ANTARA/HO Dokumentasi Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Jakarta (ANTARA) - Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berharap pemerintah segera mengeluarkan aturan turunan dari UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia khususnya terkait profesi sebagai anak buah kapal (ABK).
Hal itu disampaikan Koordinator Sosialisasi dan Pendidikan SBMI Maizidah Salas terkait banyaknya ABK yang bekerja di kapal ikan dilakukan secara tidak manusiawi.
"Tahun ini kami sudah mendapat 55 laporan dari ABK terkait perlakuan yang mereka dapat selama bekerja di kapal ikan. Ada yang gajinya tidak sesuai, pemotongan gaji, pembatasan gerak, dan ada yang mendapatkan kekerasan," kata perempuan yang disapa Salas di Jakarta, Senin.
Perlakuan-perlakuan yang diterima oleh para ABK dapat dikatakan perbudakan, karena mereka juga harus bekerja melebihi waktu tanpa istirahat. Bahkan ada juga ABK yang harus bekerja hingga 22 jam sehari.
Sejak Januari 2019, SBMI telah melaporkan kasus-kasus dari 55 orang tersebut ke Bareskrim, namun hingga penghujung 2019, tak ada satu pun laporan mereka yang ditanggapi.
Baca juga: LSM temukan masih ada awak kapal ikan digaji di bawah upah minimum
Baca juga: Pemerintah diminta atasi potensi praktik kerja paksa perikanan
Baca juga: Pengamat: selaraskan berbagai UU terkait perlindungan ABK kapal ikan
Dia mengatakan persoalan ABK di Indonesia masih sangat abu-abu, bahkan pemerintah, juga saling lempar tanggung jawab mengenai permasalahan ABK.
"Saat mendatangi Kementerian Ketenagakerjaan, mereka bilang itu ranahnya BNP2TKI. Ketika di BNP2TKI, mereka bilang itu ranahnya Kementerian Perikanan dan Kelautan dan Kementerian Luar Negeri. Jadi saling lempar. Akhirnya kita mentok karena tidak tahu siapa leading sector-nya," kata dia.
Untuk itu dia meminta kepada pemerintah segera membuat aturan turunan dari UU 18/2017 terkait ABK. Tak hanya itu dia pun meminta pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO C188 tentang bekerja di perikanan.
Selain berharap adanya peraturan tersebut, SBMI juga meminta pemerintah untuk sinergikan layanan satu pintu yang dimiliki masing-masing kementerian, agar Indonesia memiliki data akurat mengenai berapa banyak jumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing.
Saat ini, menurut Salas, tak satu pun lembaga pemerintah mempunyai data valid mengenai jumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing.
"Pengiriman ABK saat ini harus diberhentikan, sebelum ada sistem yang benar untuk melindungi para ABK," kata dia.*
Baca juga: Kemlu pulangkan 14 ABK Bintang Jasa dari Myanmar
Baca juga: Permintaan Menlu pada Korsel: Cari terus ABK Indonesia yang hilang
Hal itu disampaikan Koordinator Sosialisasi dan Pendidikan SBMI Maizidah Salas terkait banyaknya ABK yang bekerja di kapal ikan dilakukan secara tidak manusiawi.
"Tahun ini kami sudah mendapat 55 laporan dari ABK terkait perlakuan yang mereka dapat selama bekerja di kapal ikan. Ada yang gajinya tidak sesuai, pemotongan gaji, pembatasan gerak, dan ada yang mendapatkan kekerasan," kata perempuan yang disapa Salas di Jakarta, Senin.
Perlakuan-perlakuan yang diterima oleh para ABK dapat dikatakan perbudakan, karena mereka juga harus bekerja melebihi waktu tanpa istirahat. Bahkan ada juga ABK yang harus bekerja hingga 22 jam sehari.
Sejak Januari 2019, SBMI telah melaporkan kasus-kasus dari 55 orang tersebut ke Bareskrim, namun hingga penghujung 2019, tak ada satu pun laporan mereka yang ditanggapi.
Baca juga: LSM temukan masih ada awak kapal ikan digaji di bawah upah minimum
Baca juga: Pemerintah diminta atasi potensi praktik kerja paksa perikanan
Baca juga: Pengamat: selaraskan berbagai UU terkait perlindungan ABK kapal ikan
Dia mengatakan persoalan ABK di Indonesia masih sangat abu-abu, bahkan pemerintah, juga saling lempar tanggung jawab mengenai permasalahan ABK.
"Saat mendatangi Kementerian Ketenagakerjaan, mereka bilang itu ranahnya BNP2TKI. Ketika di BNP2TKI, mereka bilang itu ranahnya Kementerian Perikanan dan Kelautan dan Kementerian Luar Negeri. Jadi saling lempar. Akhirnya kita mentok karena tidak tahu siapa leading sector-nya," kata dia.
Untuk itu dia meminta kepada pemerintah segera membuat aturan turunan dari UU 18/2017 terkait ABK. Tak hanya itu dia pun meminta pemerintah untuk meratifikasi konvensi ILO C188 tentang bekerja di perikanan.
Selain berharap adanya peraturan tersebut, SBMI juga meminta pemerintah untuk sinergikan layanan satu pintu yang dimiliki masing-masing kementerian, agar Indonesia memiliki data akurat mengenai berapa banyak jumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing.
Saat ini, menurut Salas, tak satu pun lembaga pemerintah mempunyai data valid mengenai jumlah ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing.
"Pengiriman ABK saat ini harus diberhentikan, sebelum ada sistem yang benar untuk melindungi para ABK," kata dia.*
Baca juga: Kemlu pulangkan 14 ABK Bintang Jasa dari Myanmar
Baca juga: Permintaan Menlu pada Korsel: Cari terus ABK Indonesia yang hilang
Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: