Lembaga HAM minta pemerintah penuhi hak penyandang disabilitas mental
4 Desember 2019 17:46 WIB
Sejumlah perwakilan lembaga HAM hadir dalam Konferensi Pers yang digelar dalam rangka memeringati Hari Disabilitas Internasional di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu (4/12/2019). (ANTARA/Katriana)
Jakarta (ANTARA) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI) dan Human Right Working Group (HRWG) meminta pemerintah untuk memenuhi hak-hak penyandang disabilitas mental yang masih kerap diabaikan di panti-panti rehabilitasi psikososial.
"Meski saya katakan sudah (ada) dua langkah besar, ratifikasi dan membuat undang-undang, tapi cara pandang dan beberapa hal lain masih harus perlu diubah," kata Ketua Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam Konferensi Pers yang digelar dalam rangka memeringati Hari Disabilitas Internasional di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan Hari Disabilitas Internasional diperingati setiap 3 Desember di seluruh dunia, termasuk oleh pemerintah Indonesia.
Baca juga: Pemerintah dorong potensi penyandang disabilitas
Tahun ini Hari Disabilitas Internasional bahkan dirayakan secara besar-besaran oleh pemerintah Indonesia dengan mengusung tema "Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul."
Namun, sayangnya kemeriahan perayaan dan hebatnya tema yang diusung sangat berlawanan dengan realita yang dialami oleh ribuan penyandang disabilitas mental yang dirampas kebebasannya, terkurung di panti-panti sosial di berbagai pelosok Indonesia.
Data pemerintah bahkan menunjukkan ada 18.000 penyandang disabilitas mental yang dipasung di Indonesia.
"Yang tak banyak diketahui orang adalah bahwa pemasungan tersebut tidak hanya terjadi di rumah-rumah, namun juga dilakukan di panti-panti sosial yang mendapat izin dari pemerintah," katanya.
Komnas HAM dalam laporan berjudul "HAM penyandang disabilitas mental di Panti Rehabilitasi Sosial" juga turut menunjukkan fakta tentang pembiaran oleh negara terhadap pelanggaran HAM yang dialami oleh penyandang disabilitas mental di panti-panti tersebut.
"Di dalam panti-panti sosial itu, praktik pemasungan dan pengurungan dilakukan kepada penyandang disabilitas mental, baik laki-laki, perempuan, lansia dan anak-anak," katanya.
"Merantai kaki atau tangan, mengikat seseorang di tiang atau mengurungnya di sel isolasi yang kotor dan dipaksa makan maupun buang hajat di dalamnya. Perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat manusia juga dianggap sebagai hal wajar yang legal dilakukan oleh panti," katanya lebih lanjut.
Para penyandang disabilitas mental perempuan juga sangat rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual tanpa ada perlindungan apapun terhadap mereka di dalam panti tersebut.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan banyak pelanggaran yang terjadi terhadap penyandang disabilitas mental, Komnas HAM, PJSI dan HRWG meminta pemerintah untuk segera melakukan harmonisasi semua produk hukum agar sesuai dengan mandat konvensi PBB tentang hak-hak penyandang disabilitas yang telah diratifikasi pemerintah menjadi Undang-Undang No.19 tahun 2011.
Pemerintah juga diminta untuk menyusun peta jalan bagi Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan pengawasan secara berkala terhadap panti-panti di seluruh Indonesia untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas mental di panti-panti terpenuhi.
Selanjutnya, mereka juga meminta pemerintah untuk menyediakan perumahan yang dapat dijangkau penyandang disabilitas mental dan memastikan semua kebutuhan medis, termasuk obat-obatan jiwa, dapat diakses oleh penyandang disabilitas mental di seluruh Indonesia secara cuma-cuma.
"(Pemerintah juga perlu) mengakui kapasitas legal penyandang disabilitas mental yang memiliki posisi setara di depan hukum," katanya.
Selain itu, pemerintah juga perlu menghapus surat pernyataan sehat jasmani dan rohani sebagai persyaratan kerja di lingkungan pemerintah karena dapat menghalangi penyandang disabilitas untuk bekerja.
Pemerintah juga dituntut untuk memberi kesadaran publik secara masif terkait pentingnya kesehatan mental serta hak-hak penyandang disabilitas mental yang tidak boleh dilanggar.
Baca juga: Masyarakat masing memandang rendah penyandang disabilitas mental
"Meski saya katakan sudah (ada) dua langkah besar, ratifikasi dan membuat undang-undang, tapi cara pandang dan beberapa hal lain masih harus perlu diubah," kata Ketua Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam Konferensi Pers yang digelar dalam rangka memeringati Hari Disabilitas Internasional di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan Hari Disabilitas Internasional diperingati setiap 3 Desember di seluruh dunia, termasuk oleh pemerintah Indonesia.
Baca juga: Pemerintah dorong potensi penyandang disabilitas
Tahun ini Hari Disabilitas Internasional bahkan dirayakan secara besar-besaran oleh pemerintah Indonesia dengan mengusung tema "Indonesia Inklusi, Disabilitas Unggul."
Namun, sayangnya kemeriahan perayaan dan hebatnya tema yang diusung sangat berlawanan dengan realita yang dialami oleh ribuan penyandang disabilitas mental yang dirampas kebebasannya, terkurung di panti-panti sosial di berbagai pelosok Indonesia.
Data pemerintah bahkan menunjukkan ada 18.000 penyandang disabilitas mental yang dipasung di Indonesia.
"Yang tak banyak diketahui orang adalah bahwa pemasungan tersebut tidak hanya terjadi di rumah-rumah, namun juga dilakukan di panti-panti sosial yang mendapat izin dari pemerintah," katanya.
Komnas HAM dalam laporan berjudul "HAM penyandang disabilitas mental di Panti Rehabilitasi Sosial" juga turut menunjukkan fakta tentang pembiaran oleh negara terhadap pelanggaran HAM yang dialami oleh penyandang disabilitas mental di panti-panti tersebut.
"Di dalam panti-panti sosial itu, praktik pemasungan dan pengurungan dilakukan kepada penyandang disabilitas mental, baik laki-laki, perempuan, lansia dan anak-anak," katanya.
"Merantai kaki atau tangan, mengikat seseorang di tiang atau mengurungnya di sel isolasi yang kotor dan dipaksa makan maupun buang hajat di dalamnya. Perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat manusia juga dianggap sebagai hal wajar yang legal dilakukan oleh panti," katanya lebih lanjut.
Para penyandang disabilitas mental perempuan juga sangat rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual tanpa ada perlindungan apapun terhadap mereka di dalam panti tersebut.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan banyak pelanggaran yang terjadi terhadap penyandang disabilitas mental, Komnas HAM, PJSI dan HRWG meminta pemerintah untuk segera melakukan harmonisasi semua produk hukum agar sesuai dengan mandat konvensi PBB tentang hak-hak penyandang disabilitas yang telah diratifikasi pemerintah menjadi Undang-Undang No.19 tahun 2011.
Pemerintah juga diminta untuk menyusun peta jalan bagi Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan pengawasan secara berkala terhadap panti-panti di seluruh Indonesia untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas mental di panti-panti terpenuhi.
Selanjutnya, mereka juga meminta pemerintah untuk menyediakan perumahan yang dapat dijangkau penyandang disabilitas mental dan memastikan semua kebutuhan medis, termasuk obat-obatan jiwa, dapat diakses oleh penyandang disabilitas mental di seluruh Indonesia secara cuma-cuma.
"(Pemerintah juga perlu) mengakui kapasitas legal penyandang disabilitas mental yang memiliki posisi setara di depan hukum," katanya.
Selain itu, pemerintah juga perlu menghapus surat pernyataan sehat jasmani dan rohani sebagai persyaratan kerja di lingkungan pemerintah karena dapat menghalangi penyandang disabilitas untuk bekerja.
Pemerintah juga dituntut untuk memberi kesadaran publik secara masif terkait pentingnya kesehatan mental serta hak-hak penyandang disabilitas mental yang tidak boleh dilanggar.
Baca juga: Masyarakat masing memandang rendah penyandang disabilitas mental
Pewarta: Katriana
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: