Jakarta (ANTARA) - Menjelang Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengingatkan agar petugas pencocokan dan penelitian (coklit) pemutakhiran data kependudukan bekerja dengan baik atau akan terkena sanksi.

"Pada petugas itu kami ingatkan betul dia. Kamu kerjakan yang baik ya. Kalau enggak, ya ada sanksinya. Karena itu kalau kamu mutakhirkan, ditata pengelompokkannya," ujar Ketua KPU Arief Budiman usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi II DPR RI, Senin.

Arief mengatakan, sanksi yang diberikan banyak macamnya. Di dalam Rancangan Peraturan KPU Pasal 177 b menjelaskan soal sanksi pidana maupun dendanya.

Baca juga: Soal kawin sengit di RDP Komisi II DPR, Kemendagri, KPU, dan Bawaslu

"Jadi kalau mereka tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap data atau daftar pemilih, itu ada sanksinya," ujar Arief.

Di dalam pasal tersebut disebutkan jika petugas Panitia Pemungutan Suara (PPS), anggota Panitia Pemungutan Kecamatan (PPK), anggota KPU kabupaten/kota, dan anggota KPU provinsi yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum tidak melakukan verifikasi dan rekapitulasi terhadap data dan daftar pemilih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 UU 10 tahun 2016, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan dan paling lama 72 (tujuh puluh dua) bulan dan denda paling sedikit Rp24 juta dan paling banyak Rp72 juta.

Baca juga: Kesimpulan RDP Komisi II DPR RI dengan Kemendagri, KPU dan Bawaslu

Arief mengatakan, jika semua yang memiliki hak pilih harus masuk ke dalam data pemilih dan terdata dengan baik karena berhubungan dengan efisiensi penyediaan logistik.

"Belajar dari pengalaman selama ini, mudah-mudahan tidak ada ya kekurangan logistik. Kalau ada pun sedikit sekali," ujar Arief.​​

Baca juga: KPU gelar uji publik PKPU Pilkada 2020